Sovereign Wealth Fund Tarik Investor, Akankah Kedaulatan Negara Terancam?

Untuk mewujudkan negara yang berdikari, berdaulat, bahkan menjadi mercusuar, tak bisa tetap berpijak pada sistem politik liberal – kapitalis yang meniscayakan tergadainya sebuah negara. Sudah cukup jelas, bagaimana Islam menawarkan solusi tuntas untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur secara mandiri yang mampu membawa sebuah negara memiliki bargaining power di kancah internasional. Bahkan menjadi mercusuar dunia sebagaimana kejayaan Islam di masa lampau.


Oleh. Rismayanti Nurjannah

NarasiPost.com - Akhir-akhir ini Sovereign Wealth Fund (SWF) jadi perbincangan, terutama di kalangan investor. Bahkan berita di salah satu media nasional dengan bangganya mengangkat headline, "Indonesia Bisa Kaya dengan SWF”. SWF pun digadang-gadang menjadi salah satu kunci sumber pembiayaan pembangunan yang diyakini akan mendatangkan pendanaan hingga puluhan miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Dalam pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, Jokowi mengungkapkan bahwasanya begitu SWF keluar, akan ada inflow minimal 20 miliar dolar AS. (cnbcindonesia.com, 23/01/20)

SWF atau yang dikenal lembaga pengelola investasi (LPI) merupakan kolam dana (people fund) milik pemerintah yang digunakan untuk berbagai kepentingan negara. Sumber dananya bermacam-macam, bergantung pada karakteristik negara yang bersangkutan. Salah satu alasan dibentuknya SWF, karena dana yang ada tidak cukup untuk membiayai seluruh infrastruktur yang ada di Indonesia. Sehingga butuh suntikan dana, salah satunya dengan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

SWF Indonesia resmi dibentuk pada tanggal 15 Desember 2020 lalu dengan nama Indonesia Investment Authority (INA). INA merupakan perpanjangan tangan dari Omnibus Law Ciptaker yang tercantum dalam pasal 165 (versi 812 halaman). Keberadaan INA dinilai akan dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Seperti Uni Emirat Arab (UEA), Singapura, Norwegia, dsb. Namun ada yang berbeda SWF INA dengan negara-negara lain, yakni sumber dana yang dikelola lembaga tersebut.

Dana SWF di negara-negara lain berasal dari penjualan komoditas juga nonkomoditas. Seperti Arab Saudi, Norwegia yang sumber pendanaanya dari penjualan komoditas. Sebut saja Norwegia yang memiliki SWF Norges Bank Investment Management/NBM atau lebih familiar dikenal dengan Norwegian Oil Fund, dengan dana kelolaan sebesar NOK 10,97 triliun. Sumber dana NBM berasal dari surplusnya ekspor minyak dan gas bumi. (www.nbim.no)

Sementara yang berasal dari nonkomoditas biasanya di Kawasan Asia, contohnya Singapura, Cina, Korea Selatan. Sebut saja SWF Singapura yang memiliki SWF GIC Private Limited, dengan dana kelolaan lebih dari US$ 453 miliar. Sumber dana SWF Singapura berasal dari pengelolaan cadangan devisa Singapura. (www.swfinstitute.org)

Dari sedikit gambaran di atas, setidaknya kita tahu bahwa SWF dari berbagai negara tersebut lebih mengandalkan dana yang berasal dari kekuatan negara sendiri. Berbeda dengan skema SWF INA yang justru mengandalkan sumber dana yang berasal dari luar negeri, dengan membuka peluang bagi para investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Waspada Risiko Mengintai

Menggaet investor asing dalam menggerakkan ekonomi suatu negara, tentu risikonya sangat besar. Saat mereka berinvestasi, tidak dinafikkan orientasinya profit. Bagaimana caranya dengan modal seefesien mungkin, bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Artinya, skema yang dijalankan dalam menggerakkan perekonomian negara seperti skema dalam menggerakkan perusahaan. Sehingga keuntungan yang didapat tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pun dengan berbagai dampak yang akan dirasakan masyarakat sekitar. Seperti praktik eksploitasi berlebihan dalam pengelolaan sumber daya alam; product sharing tidak sebanding dengan kerusakan yang didapat dan tentunya kerusakan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat sekitar. Produk dalam negeri pun perlahan mati jika tak mampu bersaing dengan produk luar negeri. Lebih mengerikan, banyak aset strategis diakuisisi perusahaan asing.

Sovereign Wealth Fund Sektor Tambang

Hakikatnya, potensi sumber daya alam Indonesia melimpah ruah. Tercatat sektor mineral dan batu bara (minerba) menjadi salah satu sektor yang cukup besar. Sayangnya, pendapatan negara dari sektor minerba sangat tidak signifikan. Bahkan, sangat rendah dibandingkan total pendapatan negara. Rasio pendapatan minerba terhadap total pendapatan negara hanya sekitar 1 - 1,5% saja.

Seharusnya dari sektor tambang-lah, dana SWF itu didapat. Bukan dari investasi asing yang justru mengundang risiko yang amat besar. Namun, sayangnya sektor yang mencakup hajat hidup orang banyak ini telah dikuasai oleh korporasi-korporasi asing maupun swasta yang berhasil meraup triliunan rupiah melalui pasar modal. Tercatat, akhir tahun 2018 nilai perusahaan korporasi penguasa tambang minerba mencapai Rp363,8 triliun. (pajakonline.com, 2020)

Korporasi-korporasi pertambangan minerba diberi hak pengelolaan sesuai undang-undang. Baik melalui kerja sama pengusahaan pertambangan, izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. Namun, pada praktiknya dalam pengelolaannya sangat bebas (liberal), sehingga terjadi pemindahan kepemilikan (sementara) SDA dari negara ke pihak pengelola (swasta dan asing). Hal ini tampak jelas, ketika perusahaan melakukan go public atau juga melakukan divestasi. Sebut saja, PT. Freeport Indonesia, dimana untuk mengambil alih sekian persen dari sumber tambang tersebut harus diambil dengan nilai komersial, termasuk nilai kandungan mineral di dalamnya yang seharusnya itu dikelola negara.

Potret buram penguasaan sumber daya alam seperti saat ini, sangat lumrah terjadi dalam wajah sistem kapitalisme. Sesuai dengan karakteristik dari kapitalisme itu sendiri, yang bermodal yang mampu mengakuisisi berbagai potensi yang mendatangkan pundi-pundi rupiah. Alhasil, amanat dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, hanya jadi pajangan semata karena tidak sesuai dengan karakteristik sistem Kapitalisme itu sendiri. Alhasil, hanya akan jadi payung hukum yang tak memayungi hukum-hukum turunannya. Bahkan hukum-hukum turunannya menunggangi (bertentangan) dengan payung hukumnya itu sendiri.

Indonesia Kaya dengan Penerapan Sistem Politik Islam

Dalam meraih predikat “Negara Kaya” seharusnya tidak sulit bagi Indonesia dengan berbagai potensi SDA yang dimilikinya. Dalam sistem politik Islam, solusi untuk pembangunan negara dan mengentaskan kemiskinan bukan dengan jalan investasi yang konsekuensinya akan mengancam kedaulatan negeri. Melainkan, penetapan sumber daya alam yang tidak boleh di privatisasi oleh segelintir orang saja.

Islam menetapkan, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Baik melalui mekanisme secara langsung maupun tidak langsung. Sesuai sabda Rasulullah Saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, api.” (HR. Ibnu Majah)

Mekanisme secara langsung bisa didapatkan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan pokok yang terjangkau, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dsb. Kalaupun tidak gratis, kebutuhan primer (sandang, papan, pangan, kesehatan, keamanan, pendidikan) didapat dengan harga yang sangat terjangkau oleh seluruh rakyat.

Terkait kepemilikan umum, Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72 -73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Dengan demikian, untuk mewujudkan negara yang berdikari, berdaulat, bahkan menjadi mercusuar, tak bisa tetap berpijak pada sistem politik liberal – kapitalis yang meniscayakan tergadainya sebuah negara. Sudah cukup jelas, bagaimana Islam menawarkan solusi tuntas untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur secara mandiri yang mampu membawa sebuah negara memiliki bargaining power di kancah internasional. Bahkan menjadi mercusuar dunia sebagaimana kejayaan Islam di masa lampau. []
Wallahu a’lam bi ash-shawab

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Menyongsong Kemenangan yang Telah Dijanjikan
Next
Basa-Basi Pinokio
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram