Produk Luar NO, Tapi Impor YES, Dagelan Kapitalisme?

Selama ini impor beras adalah momok yang memilukan bagi petani, namun hal itu terus berulang tiap tahunnya bahkan saat panen raya. Pemerintah “seolah dipaksa” harus membeli beras dari luar, maka ketika ada wacana untuk membenci produk luar, itu setidaknya sedikit menjadi angin segar.


Oleh. Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)

NarasiPost.com - Sepekan lalu, ramai pemberitaan tentang pernyatan presiden terkait membeli produk luar negeri. Bukan hanya melarang membeli tapi membenci produk-produk dari luar negeri, bahkan jika produk luar sudah terlanjur ada, maka harus ditempatkan di di area yang sepi pembeli. Semua itu agar masyarakat Indonesia mencintai dan membeli produk dalam negeri. Ya, pernyataan tegas dari seorang kepala negara tersebut disampaikan dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual pada Kamis, 4/3/2021 (kumparan.com, 6/3/2021)

Sementara itu dilansir dari cnnindonesia.com (5/3/2021), Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai bahwa ajakan Presiden untuk membenci produk luar adalah wujud kegalauan pemerintah, sebab hampir di semua sektor kita melakukan impor. Menurutnya seruan tersebut harusnya diikuti oleh kebijakan menutup keran impor dan kebijakan terkait.

Pasalnya pemerintah masih membuka keran impor di tengah wacana untuk membenci produk luar. Buktinya Indonesia berencana mengimpor 1 juta ton beras lewat perum Bulog pada tahun 2021. Ini adalah hal yang sangat mengagetkan banyak pihak karena kebijakan ini diambil saat panen raya yang baru saja dimulai. Bahkan tanda-tanda yang mengharuskan ada cadangan stok juga belum tampak.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyatakan bahwa tidak ada hal yang harus membuat kita impor beras, karena produksi Januari-April tahun ini sebanyak 23,78 juta ton gabah kering giling, dan ini lebih banyak dibanding tahun lalu di periode yang sama yaitu hanya 19,99 juta ton (kompas.com 6/3/2021).

Jelas saja kabar rencana impor beras ini direspon negatif oleh banyak pihak, terutama para petani. Ada paradoks yang terjadi, di satu sisi ada anjuran membenci produk luar tapi di sisi lain juga masih mengambil produk luar. Yang menjadi pertanyaan adalah produk luar apa yang dimaksud?

Terlihat maksud pernyataan presiden bahwa membenci bukan berarti melarang, artinya keran impor masih saja terbuka, meski ada anjuran untuk membenci produknya. Ini adalah sebuah dagelan, buat apa menerima barang luar kalau diharapkan tidak laku terjual. Tapi sekali lagi kenyataan berbicara lain, karena pemerintah akan impor beras. Sebuah produk yang menjadi makanan pokok masyarakat dan ironisnya impor tersebut dilakukan di tengah panen raya.

Inilah kegalauan pemerintah, bagaimana bisa membuat statement tanpa menyiapkan perangkat kebijakannya? Sebagai pejabat pemerintah level manapun, harusnya menyadari bahwa setiap ucapan akan menjadi sorotan bagi semua kalangan, baik masyarakat umum, politisi ataupun kalangan akademisi. Dari statement itu bisa saja keluar kebijakan. Dan kebijakan yang diambil, harusnya juga melibatkan instansi terkait agar tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat. Apalagi jika sampai di kemudian hari terjadi hal yang kontradiktif.

Selama ini impor beras adalah momok yang memilukan bagi petani, namun hal itu terus berulang tiap tahunnya bahkan saat panen raya. Pemerintah “seolah dipaksa” harus membeli beras dari luar, maka ketika ada wacana untuk membenci produk luar, itu setidaknya sedikit menjadi angin segar.

Sebagai negara dengan sistem ekonomi kapitalis, maka tidak bisa dihindari adanya pengaruh dari para pemilik modal terkait kebijakan yang diambil. Tidak melihat apakah masyarakat butuh atau tidak, ada maslahat atau tidak tetapi melihat bagaimana peluang untuk bisa meraup sebanyak mungkin keuntungan, termasuk dengan membuka keran impor ini. Di samping itu adanya kerjasama perdagangan internasional menjadikan negeri ini terikat dengan berbagai peraturannya.

Dalam sistem ekonomi Islam, semua hal berlandaskan kepada kemaslahatan umat dan kebutuhan tiap individunya. Untuk itu ada aktivitas tijaroh atau perdagangan, baik antar individu, masyarakat ataupun antar negara. Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya alam dan teknologi tiap negara itu berbeda, dan ini sangat memungkinkan sebuah produk negara lain sangat diperlukan oleh negara lainnya lagi, begitupun sebaliknya. Jadi pertukaran barang serta jasa antar negara adalah hal yang tidak bisa dihindari, karena sama-sama saling membutuhkan. Untuk itu diperlukan regulasi yang benar. Islam sebagai sebuah ajaran yang sempurna jelas mempunyai pengaturan akan hal ini.

Hal ini pernah dicontohkan di masa Khalifah Umar bin Khaththab, karena semakin meluasnya wilayah negara Islam saat itu membuat semakin besar juga peluang untuk bertransaksi ekonomi dengan negara-negara di luar wilayah negara Islam. Ketetapan yang di ambil Khalifah Umar telah menjadi ijma di kalangan para Sahabat. Dan Khalifah Umar adalah yang kali pertama menarik bea masuk untuk barang impor. Di mana barang yang masuk akan dikenakan sejumlah biaya yang sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan pedagang muslim ketika memasukkan barang ke negara tersebut. Hal ini saja menunjukkan adanya kebolehan untuk impor barang.

Negara dalam sistem Islam akan menolak tekanan global perdagangan bebas, karena seharusnya perdagangan luar negeri atau impor dilakukan karena adanya kebutuhan yang tidak bisa atau belum bisa dipenuhi oleh negara, dan bukan karena adanya kesepakatan antar negara. Maka jika berpijak kepada sistem ekonomi Islam, pengendalian perdagangan akan dilakukan dan diawasi oleh negara dengan mengutamakan kemaslahatan bagi umat dan berpatokan pada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan semua ini juga terkait dengan bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum dan diurus oleh negara.

Inilah saatnya kaum muslim bukan hanya membaca sejarah Islam saja tetapi juga melihat bahwa semua itu adalah contoh dan saksi nyata bagaimana Islam pernah diterapkan secara sempurna selama 1400 tahun dan menguasai 2/3 dunia, menjadi peradaban mulia yang ada di dunia. Maka kembali Islam adalah kembali menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahua'lam

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Di Batas Kebimbangan
Next
Ketika Anak Terbiasa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram