Diskriminasi Hingga Genosida Minoritas Uighur


Hari ini, permasalahan muslim minoritas bukan sebatas permasalahan kelaparan dan pengungsian, tapi lebih dari itu. Bahwa diskriminasi dengan kekuatan militer harus dilawan dengan kekuatan militer, negara dihadapi oleh negara. Permasalahan ini menjadi tanggung jawab kita muslim sedunia, betapa besar kebutuhan kita terhadap persatuan umat secara global di bawah institusi politik Islam, Khilafah Islamiyah.


Oleh. Muthi Nidaul Fitriyah

NarasiPost.Com-Kehidupan adalah dinamika, bermigrasinya manusia dari satu wilayah satu ke wilayah lainnya adalah bagian dari dinamika sosial yang takan pernah bisa dikebiri. Dari dinamika itulah muncul istilah minoritas yang biasa disematkan kepada komunitas etnis, ras, agama, budaya yang jumlahnya lebih kecil di antara komunitas yang besar.

Namun, dinamika yang natural itu terpaksa harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemegang kekuasaan di setiap wilayahnya. Setiap negara memang punya cara sendiri menyikapi keberadaan minoritas, namun secara ideologis kita akan mampu mengindera bahwa ada kesamaan sikap para penguasa terhadap kaum minoritas, yaitu diskriminasi bahkan hingga genosida. Itulah yang nampak, khusus untuk minoritas muslim di berbagai belahan dunia.

Minoritas muslim di bawah rezim represif dan sistem anti-Islam, membuat mereka terus-menerus dihadapkan dengan berbagai diskriminasi baik berupa fisik maupun nonfisik, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya. Seperti kasus minoritas muslim Uighur di Xinjiang, Cina, terjadi penahanan masal secara sistematis dan terencana. Meski menjadi sorotan dunia, namun kasusnya belum bisa terselesaikan. Justru rezim Cina mengklaim bahwa kamp penahanan tersebut untuk pelatihan kejuruan warga Uighur, sekaligus mencegah radikalisme.

Konflik-konflik yang dialami oleh muslim Uighur sudah terjadi sejak tahun 1884, yakni saat Cina mulai merebut kekuasaan di wilayah mereka di Xinjiang. Kemudian tahun 1933-1944 Uighur mengambil momen memisahkan diri dari Cina dan mendirikan republik independen yang disebut Turkistan Timur, saat Cina dihadapkan dengan peperangan. Namun itu hanya sebentar dan kembali dikuasai Cina. Tahun 1950-1990 etnis Han sebagai komunitas terbesar negara didorong tinggal di Xinjiang, mereka pun terus tumbuh dan menyaingi komunitas Uighur. Kebencian dan diskriminasi kaum mayoritas terhadap minoritas pun terjadi.

Sejak tahun 1990 hingga beberapa tahun berikutnya, komunitas Uighur melakukan aksi protes atas ketidakadilan yang mereka hadapi, namun rezim Cina melakukan aksi polisionil yang keras terhadap demonstran Uighur dan menewaskan puluhan jiwa serta menahan ratusan sisanya. Konflik antara Uighur dan Han terus terjadi namun dibalas oleh rezim dengan diskriminasi ketidakadilan berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan kepada ribuan warga komunitas Uighur bahkan hingga hari ini.

Otoritas Cina menyebut tindakan yang dilakukan sebagai gerakan melawan terosisme khususnya sejak peristiwa 11 September 2021, digunakan sebagai dalih pembenaran atas kejahatannya. Hingga lahir lah Undang-undang antiterorisme-ekstremisme. Pada tahun 2017, melalui UU tersebut, pemerintah dapat melarang orang untuk menumbuhkan jenggot panjang, mengenakan kerudung di tempat umum, dan menyebut Kamp pelatihan untuk memerangi ekstrimisme. (tempo.co, 24/12/2019)

Sikap tertutup dari pemerintah Cina atas kasus yang menimpa minoritas Uighur membuat dunia bertanya-tanya tentang fakta yang sebenarnya, bahkan diantaranya tidak memercayai apa yang diyatakan oleh pihak pemerintah. Bahkan Cina murka dan menentang apa yang telah parlemen Belanda keluarkan berupa pengesahan mosi yang berisi pernyataan membenarkan terjadinya genosida terhadap etnis minoritas Uighur. Belanda menjadi negara Eropa pertama setelah sebelumnya parlemen Kanada dan Amerika membuat pernyataan serupa. (cnnindonesia.com, 27/02/2021)

Kebijakan yang dilakukan rezim represif Cina di atas merupakan bagian dari proses asimilasi, genosida etnis, ras, agama, budaya dan bahasa untuk disatukan dan dimurnikan menjadi satu etnis saja, mejadi mayoritas yang berpihak kepada setiap kepentingan pemilik kekuasaan. Suku bangsa yang kecil yang hidup dalam suku bangsa yang besar dan hidup dalam suatu bangsa yang besar adalah hal yang alamiah kita temui sepanjang sejarah kehidupan manusia hingga era kontemporer saat ini. Pada masa awal negara Islam berdiri di Madinah, terdapat etnis kecil Yahudi dan Nasrani yang hidup dalam pemerintahan Islam yang adil sehingga tidak kita temui kasus-kasus diskriminasi apalagi genosida.

Priode berlanjut kepada masa kekhalifahan Umayah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah begitu banyak etnis minoritas yang bernaung di bawah pemerintahannya, hidup aman dan sejahtera di bawah naungan politik Islam. Mereka hidup dengan agama, budaya, bahasa dan adat-istiadat mereka masing-masing. Bahkan di antara mereka boleh duduk menjadi anggota Majelis Umat.

Jika kita tarik benang merahnya, maka sebenarnya diskriminasi umat Islam hari ini bukan hanya terjadi pada minoritas akan tetapi kita sebagai mayoritas muslim terbesar di dunia pun hidup dalam keterbatasan menjalankan ajaran agama kita. Melihat keadilan hidup di masa pemerintahan Islam, maka permasalahan kita hari ini adalah karena kita hidup di bawah kepemimpinan sistem sekuler kapitalis, selain anti-Islam juga landasan sistemnya bertumpu pada kemanfaatan materi, keuntungan ekonomi, nyaris tanpa asas kemanusiaan dan keberadaban.

Dalam buku ‘Pemikiran Politik Islam”karya Syekh Abdul Qadim Zalum disebutkan bahwa politik Islam mengatur seluruh umatnya dalam satu kesatuan umat, tanpa memandang latar belakang, ras dan kesukuan kecuali sebagai warga negara yang loyal kepada negara dan sistem. Islam tidak mengenal minoritas, semua manusia adalah tanggungjawab negara Islam selama mereka menjadi warga negara Islam.

Hari ini, permasalahan muslim minoritas bukan sebatas permasalahan kelaparan dan pengungsian, tapi lebih dari itu. Bahwa diskriminasi dengan kekuatan militer harus dilawan dengan kekuatan militer, negara dihadapi oleh negara. Permasalahan ini menjadi tanggung jawab kita muslim sedunia, betapa besar kebutuhan kita terhadap persatuan umat secara global di bawah institusi politik Islam, Khilafah Islamiyah. Mari tegakan kembali! Wallahualam bi shwab.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Berbaik Sangka
Next
Kegagalan Sistem Kapitalis Melahirkan Good Government
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram