Kehadiran virtual police jangan sampai memberangus kelompok kritis, hingga mengkriminalisasi pengkritik melalui delik UU ITE. Padahal, rakyat sejatinya hanya memberikan aspirasi dalam bentuk kritik terhadap berbagai kebijakan yang ada melalui jagad maya.
Oleh. Miladiah Al-Qibthiyah
(Pegiat Literasi dan Media)
NarasiPost.Com-Setelah polisi siber terbitlah virtual police. Dua istilah yang berbeda namun secara kontekstual memiliki makna yang sama, yakni membatasi rakyat dalam menyampaikan kritiknya terhadap penguasa. Jaminan kebebasan berpendapat yang dipilari oleh sistem demokrasi rupanya hanya isapan jempol semata.
Menurut Ketua YLBHI, Asfinawati, keberadaan unit baru Polri, virtual police, akan mempersulit warga untuk membela diri ketika dianggap melanggar UU ITE. Asfi melontarkan pernyataan ini setelah polisi resmi memberlakukan VP sebagai unit baru yang akan memantau potensi pelanggaran UU ITE di internet. Cara kerja unit tersebut memberikan peringatan atau teguran kepada warganet yang dianggap melanggar UU ITE.
Siapapun yang merasa bagian dari masyarakat di dalam sebuah negara, tentu menginginkan perubahan demi sebuah kemajuan. Adapun perubahan ini dapat terjadi karena keberadaan masyarakat sebagai kontrol sosial agar negara tidak salah dalam menetapkan kebijakan yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Namun, apakah mungkin perubahan itu akan terwujud jika negara justru membatasi ruang aspirasi masyarakat?
Ironi Demokrasi, Kritik Dibatasi Bahkan Diancam Sanksi
Sistem demokrasi mengklaim memberikan jaminan kebebasan terhadap tiap-tiap individu. Tetapi, pada praktiknya, menimbulkan kontradiksi. Adanya virtual police ini sama saja membungkam sifat kritis rakyat. Jagad persosmedan yang tidak pernah sepi dari pengunjung, bahkan kebanyakan masyarakat menghabiskan waktunya untuk menjelajah di dunia maya ketimbang di dunia nyata, maka lumrah bagi warganet menjadikan media sosial sebagai ruang aspirasi.
Kehadiran virtual police jangan sampai memberangus kelompok kritis, hingga mengkriminalisasi pengkritik melalui delik UU ITE. Padahal, rakyat sejatinya hanya memberikan aspirasi dalam bentuk kritik terhadap berbagai kebijakan yang ada melalui jagad maya.
Sistem demokrasi yany tegak di atas empat pilar kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berpendapat, nyatanya menunjukkan kelemahan. Kelemahan ini berawal dari asas yang membangun sistem demokrasi itu sendiri, yakni sekularisme. Sekularisme adalah sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, dimana asas ini menjadikan hak membuat hukum berada di tangan rakyat. Negara yang menganut paham ini dipastikan akan selalu membuat kebijakan yang berubah-ubah. Bahkan, tidak segan memberi sanksi bagi yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim yang berkuasa.
Melalui virtual police ini, maka warganet patut waspada dari tindakan keji pembungkaman terhadap suata kritis rakyat. Sebab, tindakan ini justru membuat masyarakat akan takut mengkritik penguasa, bahkan sekadar berpendapat di media sosial. Selain itu, kontrol sosial di masyarakat akan terhenti. Yang ada, justru semakin memasifkan tindakan semena-mena penguasa dan kelompoknya terhadap warga negaranya sendiri.
Jika hal ini terjadi, aktivitas amar makruf nahi mungkar akan berhenti dan kezaliman akan semakin merajalela sebab penguasa akan bebas sekehendak hati menetapkan kebijakan, yang bisa saja kebijakan itu tidak memberi keadilan, bahkan merugikan rakyatnya
Islam Memberi Ruang Muhasabah lil Hukkam
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu memfasilitasi kritik dari rakyat ke penguasa. Daulah Islam memberikan ruang kepada rakyat, baik ormas, parpol Islam, ulama, atau kalangan rakyat biasa untuk melakukan koreksi atau muhasabah kepada penguasa.
Islam menjadikan aktivitas mengkritik sebagai sebuah kewajiban yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam dan Islam menempatkannya berada pada derajat yang tinggi, sebab aktivitas ini mendapat pujian langsung dari Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
Mekanisme melakukan muhasabah lil hukkam, antara lain:
Pertama, dilakukan secara individual oleh setiap muslim.
Kedua, kritik juga bisa dilakukan oleh wakil rakyat (Majelis Umat). Mereka berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan urusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.
Ketiga, rakyat yang tidak puas dengan kebijakan khalifah, bisa mengadukannya ke mahkamah mazhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa. Tentu saja, penguasa harus tunduk kepada keputusan mahkamah mazhalim
Dalam kondisi-kondisi tertentu, bahkan seorang muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan, dengan pedang jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan bahwa seorang muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Maka, menasihati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata.
Selain itu, keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa juga dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw. yang lain:
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuh dirinya. (HR al-Hakim dan ath-Thabarani)
Dengan demikian, suasana yang terbentuk dalam daulah Islam adalah suasana amar makruf nahi mungkar. Masyarakatnya melakukan muhasabah kepada penguasa mereka karena dorongan keimanan, bukan yang lain.
Oleh karena itu, melihat kondisi yang terjadi hari ini, masyarakat tetap wajib melakukan kontrol sosial untuk memastikan tanggung jawab penguasa agar terhindar dari perilaku menyimpang dalam menjalankan kepemimpinannya.
Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]