Adanya penolakan terhadap UU Cipta Kerja dimana para pemuda juga turut menyuarakan, harusnya diapresiasi sebagai bentuk kepedulian pemuda terhadap kondisi bangsa, sekaligus mengasah empati dan jiwa kepemimpinannya.
Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)
NarasiPost.com -- Penolakan terhadap UU Cipta Kerja masih saja terus bergulir, berbagai elemen masyarakat turut ikut ke jalan, menyuarakan aspirasinya. Meski Pemerintah dan DPR mengklaim bahwa UU Cipta Kerja ini untuk kebaikan para pekerja/buruh, tetap saja tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk berdemo. Tidak terkecuali para pelajar. Sebenarnya ini bukanlah kali pertama para pelajar ini turun kejalan, bahwa yang tadinya 'biasa' tawuran, bisa seiring sejalan, meski terjadi bentrokan dengan aparat keamanan, dan tidak sedikit menimbulkan luka-luka, tapi tetap saja semangat menyuarakan rasa ketidakadilan ini.
Balikpapan bukanlah satu-satunya kota yang Dinas Pendidikannya melarang para pelajar untuk ikut dalam aksi unjuk rasa ini. Ada juga dari Depok, Palembang, Tangerang dan lainnya. Selain Dinas Pendidikan Kota, Dinas Pendidikan Provinsi juga mengeluarkan larangan ini. Hanya saja ada daerah, dimana pelarangannya dengan disertai pemberian sanksi kepada pelajar yang ikut aksi ini.
Dan hal ini ternyata ditanggapi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang menyatakan agar Dinas Pendidikan di daerah tidak menghilangkan hak pendidikan anak yang ikut demo penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hal ini terkait adanya aduan dari Depok dan Palembang terkait pemberian sanksi oleh Dinas Pendidikan Kota setempat terhadap anak-anak yang melakukan aksi demo UU Cipta Kerja, seperti akan di Drop-Out(DO), dikeluarkan, mutasi ke pendidikan paket C atau mutasi ke sekolah di pinggiran kota. Sebenarnya mengimbau agar anak-anak untuk tidak ikut demo atas nama keamanan dan kesehatan, itu bisa dilakukan sebagai pencegahan, namun melarang dengan menyertakan hukuman jika dilanggar akan diberi sanksi, bukanlah kebijakan yang tepat dan berpotensi melanggar peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, jelas Retno Listiyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan dalam keterangan tertulisnya (kompas.com, 14/10/2020).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan dimaksudkan untk memperkuat posisi dan kesempatan kepada setiap warga negara yang berusia 16 tahun sampai 30 tahun untuk mengembangkan potensi, kapasitas, aktualisasi diri dan cita-citanya.(jogloabang.com, 27/10/2019). Dari definisi ini maka para pelajar dan Mahasiswa adalah terkategori pemuda. Dan para pemuda memiliki peranan yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia dan masyarakat secara umum.
Adanya pelarangan dalam rangka menyampaikan pendapat yang dilakukan pemuda dalam unjuk rasa UU Cipta Kerja kemarin adalah pengebirian terhadap pendidikan kepemimpinan para pemuda ini dan aktualisasi diri mereka. Dan sebagai negara dengan sistem pendidikan kapitalisme, maka kita dapat lihat bahwasanya nilai manusia hanya dilihat atau ditentukan dari nilai ujian bukan pada nilai kualitas diri manusia sebagai makhluk sosial dan hamba Tuhan.
Bahkan mindset belajar itu dibatasi oleh ruangan saja. Potensi merekapun hanya untuk kemaslahatan diri sendiri, fokus mereka hanyalah belajar, ujian, lulus, dapat ijazah dan bekerja. Sukses itu ketika bergelimang harta dan mempunyai jabatan. Dan sistem ini juga mengikis empati, seolah masalah di luar kehidupan mereka bukanlah masalah mereka tapi masalah orang lain. Bagaimana bisa untuk memberikan solusi jika ada masalah saja tidak dirasakan?
Hal ini tentu bertolak belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam dan bagaimana Islam memandang pemuda itu sendiri. Islam memandang bahwa pemuda adalah pemeran utama di masa yang akan datang dan pemuda adalah manusia yang masuk dalam usia produktif, banyak potensi untuk melakukan suatu perubahan.
Potensi ini hendaknya di arahkan sebagai motor penggerak, yang mampu menggerakkan dirinya, keluarganya bahkan masyarakat. Maka menjadikan mereka sebagai motor penggerak tentunya dengan sebuah ideologi yang shahih. Bahkan kurikulumnya pun disesuaikan dengan tujuan pendidikan, yaitu berakhlakul karimah. Dimana lingkungan tempatnya tinggal serta seluruh permasalahan yang ada adalah ruang pembelajaran baginya, untuk nantinya dapat mengaplikasikan keilmuannya, ilmu untuk di amalkan. Dimana negara akan mengawasinya.
Adanya penolakan terhadap UU Cipta Kerja dimana para pemuda juga turut menyuarakan, harusnya diapresiasi sebagai bentuk kepedulian pemuda terhadap kondisi bangsa, sekaligus mengasah empati dan jiwa kepemimpinannya. Artinya mereka mulai paham ada hal yang tidak biasa pada UU Cipta Kerja ini dan tentunya merugikan bagi para pekerja/buruh. Ketika mereka direspons dengan positif oleh negara, dengan mendengarkan apa yang mereka pahami dan solusi apa yang bisa mereka berikan maka ini akan menimbulkan kepercayaan diri, kalaupun mungkin saja solusi itu ditolak, tetapi setidaknya merekap di anggap ada dan ikut berkontribusi bagi pembangunan ini, ini semua akan menimbulkan kepercayaan diri dan memudahkan bagi mereka untuk belajar memimpin dirinya dan itulah modal dasar baginya untuk dapat memimpin masyarakat nantinya.
Sistem pemerintahan Islam telah membuktikannya, dengan tujuan membentuk akhlakul karimah maka satuan pembelajarannya pun akan di dasarkan pada aqidah Islam. Keberhasilan negara pada saat itu jelas terlihat, di antaranya Usamah bin Zaid yang dipercaya untuk menjadi komandan pasukan perang di usianya yang ke 18 tahun dalam menaklukan Syam, Zaid bin Tsabit berjihad di usia 13 tahun dan pada usia 21 tahun diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an. Imam Syafi’i telah hafal Alquran di usia 9 tahun, Ibnu Sina hafal di usia 5 tahun dan kemudian dikenal sebagai bapak kedokteran dunia, Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukan Konstantinopel dan menjadi Sultan pada saat berusia 21 tahun, dan masih banyak lagi catatan sejarah peradaban emas masa Kekhilafahan, yang ditulis oleh jejak langkah para pemuda.
Islam memandang para pemuda ini sebagai penerus bagi keberlangsungan bagi sebuah negara, maka penjagaannya harus dilakukan oleh negara, termasuk juga mengatur batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Juga bagaimana potensi yang ada pada para pemuda ini dapat terarahkan dan tersalurkan serta sejalan dengan proses pembelajaran. Mengasah empati dan pendidikan kepemimpinan sejak awal, baik kepada diri sendiri, keluarga hingga nanti ke masyarakat.
Semua itu dapat terlaksana jika menerapkan Islam sebagai pondasi dalam bernegara. Negara tanpa Islam akan hancur, Islam tanpa Negara akan hilang, karena fungsi negara adalah menjaga Islam. Maka sudah saatnya kaum muslim untuk melihat bagaimana Islam pun mempunyai cara atau ada solusi bagi permasalahan bangsa yang semakin lama semakin menumpuk. Dan bagaimana Islam dalam mendorong dan mengolah serta menjaga para pemuda ini menjadi pemuda berkualitas dan harapan bangsa.[]
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].