Dana utang sejatinya bukanlah dana sehat, sebab negara debitur akan cenderung mengikuti segala arahan dari negara kreditur tanpa memikirkan dampak buruk yang akan menimpanya.
Oleh. Ummi Fatih
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Banyak kalangan menilai bahwa dana program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk peningkatan kualitas pendidikan dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul, produktif, inovatif, dan berdaya saing tinggi akan sangat memberatkan. Hal ini karena fasilitas pendidikan yang masih rendah dan membutuhkan tambahan pengalokasian dana. Oleh karena itu, rencana program MBG ini akan semakin menyulut aliran dana yang menyulitkan masyarakat.
Akan tetapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa program MBG tersebut tidak akan mengganggu dana pendidikan. Hal ini karena dalam RAPBN 2025, pemerintah telah memberikan tambahan anggaran dana sebesar 71 triliun rupiah pada kategori anggaran dana pendidikan. Itu semua dilakukan agar program MBG dapat berjalan.
Perlu dipahami bahwa adanya program MBG tak dimungkiri akan membuat tekanan ekonomi di tengah kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak? Sumber dana pemasukan RAPBN dalam sistem kapitalisme yang negara jalankan lebih banyak berasal dari tagihan pajak pada masyarakat.
Meskipun para peserta didik akan mendapatkan menu gratis dalam program MBG, tetapi ancaman putus sekolah akan semakin meningkat. Orang tua mereka akan tertekan dengan tagihan pajak dari negara untuk mengisi kantong dana RAPBN.
Bukan hanya itu, dari aspek politik pun ada kalangan yang memandang bahwa pencairan dana untuk program MBG ini dapat menjadi ancaman berbahaya bagi kedaulatan negara. Sebagaimana pernyataan seorang pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Peni Hanggarini yang menilai adanya unsur ancaman politik dalam bantuan dana utang dari Cina untuk program MBG Indonesia yang baru saja didapatkan oleh presiden Parabowo Subianto saat melakukan lawatan ke negeri Panda tersebut pada tanggal 8-10 November 2024 lalu. (Tempo.com, 16-11-2024)
Paradigma Kapitalisme
Negara yang menganut sistem kapitalisme memandang bahwa bantuan dana dari negara lain adalah dana sehat. Padahal, jika di telisik lebih dalam, dana itu adalah utang luar negeri yang diberikan oleh negara bersangkutan dan itu sangatlah merugikan. Negara debitur yang merasa berutang budi pada negara krediturnya akan cenderung mengikuti segala macam arahan dari sang pemberi pinjaman tanpa berpikir jernih mengenai dampak buruk yang akan menimpanya.
Seperti banyaknya kasus yang terjadi selama ini bahwa negara debitur kesulitan membayar utang luar negerinya. Hal itu membuat negara-negara kreditur menjadi giat memerintahkan negara debitur menyerahkan sumber daya yang dimilikinya sebagai pelunasan utang. Maka, negara debitur pun tidak bisa menolaknya. Akibatnya, banyak harta negara debitur hilang, krisis ekonomi dalam negerinya meluas, dan masalah kemiskinan rakyat pun makin suram. Akhirnya, masyarakat pun menjadi ramai berdemonstrasi, merusak kedamaian dalam negeri.
https://narasipost.com/opini/11/2024/program-mbg-utang-ancaman-nyata/
Di lihat dari sisi manapun, utang dalam sistem kapitalisme akan memberikan dampak buruk bagi negara debitur. Maka, sudah selayaknya negeri ini keluar dan terbebas dari jeratan utang dengan cara memperbaiki sistem ekonominya. Ketika negara menganut syariat Islam, negara tidak akan pernah terjebak (dana) utang luar negeri. Hal ini karena negara yang bernaung di bawah payung hukum syariat memiliki sistem perekonomian yang unggul dan mandiri, sehingga negara terlindungi dari utang. Mewujudkan sistem perekonomian yang unggul hanya dijumpai di dalam negara Khilafah Islamiah yang pernah memimpin selama 14 abad dan tersebar di dua per tiga dunia. Saat itu, keadaan rakyat menjadi sejahtera dan kedamaian hidup pun terwujud nyata.
Sumber Pemasukan APBN ala Khilafah Islamiah
Dalam sistem keuangan misalnya, pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara, apalagi berutang kepada negara lain. Pajak hanya diberlakukan ketika negara sedang mengalami masalah besar yang mengakibatkan kas dalam baitulmal kosong.
Dalam Islam, utang tidak dilarang selama tidak mengandung unsur ribawi. Namun, ketika negara penganut sistem kapitalisme yang notabene menerapkan sistem ekonomi ribawi dan menawarkan perjanjian melalui mekanisme utang, maka itu harus ditolak demi menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri.
Dalam Islam, ketika dana di dalam baitulmal kosong, barulah negara menerapkan kebijakan (pungutan) pajak. Namun, itu tidak berlaku bagi setiap individu, sebagaimana saat ini. Pajak hanya dikenakan bagi para aghniya' (kaum kaya) yang memang memiliki kelebihan harta.
Ada 3 pos pemasukan dana dalam negara Khilafah Islamiah:
Pertama, kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, dsb.
Kedua, kepemilikan umum seperti pertambangan, kehutanan, dsb.
Ketiga, kepemilikan individu seperti sedekah, zakat, hibah, dll., di mana zakat lebih khusus diberikan pada golongan tertentu yang telah Allah Swt. tetapkan.
Semua pos pemasukan negara dikelola secara mandiri tanpa ada campur tangan dari pihak swasta maupun asing. Hasil pengelolaan sepenuhnya digunakan untuk melayani rakyatnya, baik kaya maupun miskin. Mereka akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang maksimal dalam berbagai aspek kehidupan.
Bahkan dalam segi pendidikan pun telah terbukti Daulah Khilafah tidak hanya pernah memberikan layanan makan gratis bagi para peserta didiknya. Namun, biaya pendidikan gratis yang utuh tanpa adanya tagihan pembayaran apa pun pada rakyatnya pernah juga diberlakukan oleh Daulah Khilafah. Alhasil, konsentrasi dalam menuntut ilmu oleh para generasi muda saat itu tidak terganggu. Bahkan berhasil menciptakan peradaban cemerlang dalam kacamata dunia.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa sistem kapitalisme sangat jauh berbeda dengan sistem Khilafah Islamiah. Jika ingin hidup tenang tanpa tekanan ekonomi, maka saatnya kita bangkit menerapkan syariat Islam yang akan membawa kesejahteraan di dunia dan mengantarkan kita menuju pintu surga.
Wallahu a'lam bishawab.[]