Minimnya lapangan kerja mendorong masyarakat menjadi pekerja migran di luar negeri. Namun, Islam memiliki mekanisme khas untuk mengatasinya.
Oleh. Dyah Pitaloka
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding mengungkapkan bahwa jumlah warga negara Indonesia yang bekerja sebagai migran ilegal di luar negeri telah melebihi lima juta orang. (cnnindonesia.com, 16-11-2024)
Dilansir dari regional.kompas.com yang tayang pada 7 Maret 2024, lima pekerja migran ilegal Indonesia, yakni Wilhelmus Matius (58), Pirmansa Paleon (42), Servasius Lule (44), Tamex Steven Emanuel (19), dan Fransiska Toji (40), melarikan diri dari sebuah perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Mereka menempuh perjalanan melalui hutan Ba’kelalan di Malaysia dan tiba di dataran tinggi Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, pada 5 Maret 2024. Para pekerja tersebut mengeluhkan beban kerja yang berat serta gaji yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Mereka membawa dokumen berupa KTP dan paspor.
Sementara itu, I Gusti Ayu Vira Wijayantari, pekerja migran ilegal asal Bali, terlantar dan sakit parah di Turki. Vira telah bekerja tanpa izin resmi sejak 2001 melalui agen di Indonesia. Ia sempat membuat surat terbuka kepada mantan Presiden Joko Widodo untuk meminta bantuan. Selama bekerja, ia menghadapi jam kerja panjang hingga 15 jam sehari dengan istirahat yang minim serta gaji jauh di bawah perjanjian awal, yakni hanya Rp4,2 juta hingga Rp7,1 juta dari yang dijanjikan Rp12 juta per bulan. (cnnindonesia.com, 16-08-2022)
Motivasi PMI ke Luar Negeri
Dikutip dari hasil penelitian Suparno, Darosy Endah H., dan Harlina Nurtjahjanti yang berjudul Persepsi Tenaga Kerja Indonesia terhadap Pilihan Kerja di Luar Negeri Studi Deskriptif Calon Tenaga Kerja Indonesia di BLKLN Provinsi Jawa Tengah ditemukan bahwa terdapat fenomena peningkatan jumlah pengangguran yang disebabkan oleh keterbatasan modal, keterampilan, dan akses pasar yang menghambat masyarakat untuk memulai usaha. Di sisi lain, peluang kerja juga terbatas. Akibatnya, banyak orang memilih menjadi pekerja migran sebagai solusi praktis untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan.
Penelitian ini bertujuan memahami persepsi calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) di BLKLN Disnakertrans Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan bahwa CTKI memilih bekerja di luar negeri karena ingin mencari pengalaman baru, mendukung keluarga, dan memperoleh gaji lebih tinggi. Namun, mereka menghadapi dilema emosional, seperti berat meninggalkan keluarga, takut mengalami kekerasan atau pelecehan, kurangnya keterampilan, dan ketidakpastian terkait pekerjaan di luar negeri.
Meski demikian, sebagian besar CTKI merasa bahagia dan tenang karena pekerjaan ini memungkinkan mereka melupakan masalah keluarga, mencari nafkah, menyelesaikan konflik rumah tangga, dan membiayai pendidikan anak.
Nasib Pekerja Migran di Luar Negeri
Kasus perselisihan antara tenaga kerja wanita (TKW) dan suami yang berujung pada pembongkaran rumah masih terjadi. Di Madiun, seorang TKW bernama Siti Fatimah (38), warga Desa Pucanganom, Kebonsari, berencana membongkar rumah yang ia bangun dari hasil kerjanya di luar negeri. Hal ini dilakukan karena suaminya, Mutahtohirin (35), berselingkuh dengan wanita lain hingga akhirnya menceraikannya. (detik.com, 21-4-2024)
Banyak anak pekerja migran mengalami kesulitan akademik setelah diasuh oleh kakek-nenek mereka. Hal ini terlihat di SMAN Wanasaba, Lombok Timur di mana 52% dari 470 siswa merupakan anak pekerja migran. Menurut kepala sekolah, Rus'an Hayyi, banyak orang tua TKI tidak bisa mengirim uang secara rutin. Selain itu, kurangnya pengawasan di rumah menyebabkan prestasi belajar sebagian besar siswa menurun, meskipun ada beberapa yang tetap berprestasi.
Selain itu, motivasi belajar yang rendah di sekolah diperparah dengan dampak psikologis. Anak-anak pekerja migran sering merasa minder dan tidak percaya diri sehingga kehadiran mereka di sekolah menjadi tidak teratur dan hanya masuk pada hari-hari tertentu. (news.detik.com, 9-3-2017)
Pekerja Migran Korban Kapitalisme
Dikutip dari emedia.dpr.go.id yang tayang pada 4 Juni 2024, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa pada 2023, pekerja migran Indonesia (PMI) menyumbang Rp230,81 triliun atau sekitar 10% dari total cadangan devisa negara. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyatakan bahwa kontribusi PMI terhadap perekonomian nasional makin signifikan. Sebutan "pahlawan devisa" menempatkan PMI sebagai penggerak ekonomi, baik daerah maupun nasional. Namun, pemerintah dinilai belum memenuhi tanggung jawabnya untuk memastikan kesejahteraan rakyat secara layak.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat dan menciptakan sistem ekonomi yang kondusif memaksa rakyat mencari penghasilan hingga ke luar negeri. Ketimpangan distribusi kekayaan akibat sistem kapitalisme membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan hanya dengan mengandalkan pendapatan kepala keluarga. Akibatnya, wanita yang idealnya fokus pada keluarga, terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian rumah tangga, bahkan hingga menjadi PMI.
Kondisi ekonomi yang buruk, minimnya lapangan kerja, dan ancaman PHK makin memperburuk situasi. Bekerja ke luar negeri sering dianggap sebagai solusi, meski banyak yang melakukannya secara ilegal demi mendapatkan penghasilan yang cukup.
Solusi Islam terhadap Pekerja Migran
Minimnya lapangan kerja dalam negeri mendorong masyarakat menjadi pekerja migran di luar negeri. Namun, Islam memiliki mekanisme khas untuk mengatasi masalah ini, salah satunya dengan menjadikan negara sebagai pihak utama yang bertanggung jawab atas masalah pengangguran.
Ini berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw., “Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR Bukhari, 844)
Dalam riwayat lainnya, Rasulullah saw. pernah memberi dua dirham kepada seorang ansar, lalu bersabda, "Belilah makanan seharga satu dirham dengan uang itu dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham dan bawa kapak itu kepadaku." Lalu Rasulullah membelah kayu dengan kapak tersebut, kemudian berkata, "Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku, kecuali setelah 15 hari." Lelaki ansar itu pun mencari kayu bakar lalu menjualnya. Setelah itu ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa 10 dirham. Sebagian ia belikan baju dan sebagiannya lagi makanan. (HR. Ibnu Majah, 2189).
Selain itu, Islam melarang swasta dan asing menguasai sumber daya alam (SDA) yang jumlahnya tidak terbatas. Islam menjadikannya sebagai milik negara. Pendapatan dari SDA yang dikelola negara dapat menciptakan lapangan kerja melimpah karena pengelolaan SDA membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan pengelolaan mandiri, negara juga tidak perlu bergantung pada utang atau investasi asing.
Islam juga mewajibkan negara menyediakan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua kalangan, baik di desa maupun kota. Pendidikan yang merata akan mengatasi masalah kurangnya keterampilan atau ijazah rendah sehingga rakyat lebih siap memasuki dunia kerja.
Selain itu, Islam memastikan kesejahteraan rakyat melalui lapangan kerja, tetapi bagi kepala keluarga yang tidak mampu bekerja karena sakit atau cacat, Islam menyediakan bantuan seperti santunan dari baitulmal. Dengan mekanisme ini, Islam memberikan solusi menyeluruh untuk mengatasi pengangguran dan memastikan rakyat hidup sejahtera, tanpa perlu mengadu nasib menjadi PMI. (muslimahnews.net, 18-08-2024)
Islam Menjaga Kehormatan Wanita
Dalam Islam, wanita adalah mitra hidup pria. Al-Qur'an menyerukan keimanan dan pelaksanaan hukum Allah secara adil kepada pria dan wanita tanpa diskriminasi. Wanita tidak dianggap sebagai warga kelas dua yang dapat ditindas, termasuk oleh suami mereka.
Islam juga mengajarkan perlindungan menyeluruh bagi wanita, serta mewajibkan pria untuk menanggung nafkah mereka. Wanita tidak dibebani kewajiban mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu sering terlibat di ruang publik yang berpotensi meningkatkan risiko kejahatan seksual. Dengan demikian, perempuan dalam sistem Islam tidak perlu menjadi pekerja migran.
Baca juga: Pahlawan Devisa yang Terlupakan
Negara dalam Islam bertanggung jawab untuk memastikan tidak ada warga, termasuk wanita dan anak-anak, yang terlantar karena ketiadaan pencari nafkah. Jika tidak ada pria atau kerabat yang dapat menanggung kebutuhan mereka, negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut melalui kas negara.
Dengan sistem ini, Islam secara efektif menutup peluang terjadinya kejahatan terhadap wanita, seperti eksploitasi, kekerasan seksual, atau perdagangan manusia. Jika kejahatan tersebut tetap terjadi, Islam memberlakukan hukuman berat untuk memberikan efek jera dan mencegah pelaku lainnya.
Penutup
Sistem kapitalisme yang dianut negeri ini akan secara alami menjerat rakyat dengan ekonomi yang sulit. Dengan begitu, rakyat akan mencari jalan keluar meski harus bertaruh nyawa, keluarga, kehormatan, dan keamanan demi mendapatkan rupiah. Pahlawan devisa ini bahkan harus berani menantang kontrak ilegal, ekploitasi, dan perdagangan orang ketika hendak bekerja sebagai PMI.
Untuk itu, hanya Islam yang mampu mengelola kekayaan sumber daya alam dan manusia sehingga tidak terjadi kezaliman bagi para pekerja. Hanya Islam yang memiliki sistem khas berdasarkan Al-Qur'an dan hadis yang senantiasa melindungi pekerja, khususnya wanita, untuk mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang layak. []
Disebut pahlawan devisa, tetapi negara abai terhadap nasib para TKI. Uangnya dikejar, nasib mereka tidak dipedulikan. Kasihan sekali
Lapangan pekerjaan hanya akan aman dan tersedia dengan nyaman dan aman hanya ada pada sistem pemerintahan negara yang menerapkan Islam secara totalitas
Keren mba Pita semoga banyak yang tercerahkan