Negara sedang membutuhkan banyak pasokan susu tetapi malah tidak memaksimalkan penyerapan dalam negeri. Akhirnya, kesejahteraan peternak sapi perah pun menurun.
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tahun ini adalah tahun kelam bagi peternak sapi perah di Jawa, salah satunya adalah Pasuruan. Setelah banyak aksi buang hasil pertanian di berbagai daerah, kini giliran susu sapi yang harus terbuang sia-sia.
Melansir dari cnnindonesia.com, 08-11-2024, para peternak sapi perah ramai-ramai membuang ribuan liter susu. Hal ini adalah imbas dari pengurangan kuota susu yang dibutuhkan oleh industri. Sebelumnya, para peternak akan mengumpulkan susu mereka di pengepul yang akan diteruskan pada pabrik. Akan tetapi, dua bulan terakhir terjadi kemacetan distribusi susu segar ke pabrik yang bersangkutan dengan berbagai alasan.
Nyatanya, macetnya distribusi susu tersebut disebabkan industri pengolahan susu lebih memilih susu impor dibanding susu lokal, padahal telah terjadi kontrak hingga 10 tahun dengan perusahaan susu kemasan di Jakarta. Susu lokal hanya diberi kuota sebesar 20% untuk diserap oleh industri.
Lantas, bukankah sebuah ironi ketika pemerintah tengah menggodok program makan bergizi gratis dengan menu susu di dalamnya, tetapi tidak memaksimalkan penyerapan susu dalam negeri?
Impor Susu Jadi Alasan
Berbagai jawaban telah dilontarkan pabrik sebagai dalih penolakan, mulai dari mesin rusak hingga penyerapan pasar yang mulai berkurang. Hal ini menurut Bayu Aji Handayanto –peternak sekaligus pengepul susu di Pasuruan– hanyalah alasan belaka.
Ketika ditelusuri lebih dalam, nyatanya pabrik tetap berproduksi dengan kuota normal sebagaimana biasanya. Selain itu adanya program makan bergizi gratis harusnya malah menyerap banyak susu.
Negeri ini sebenarnya telah lama mengimpor susu dari luar. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir cnbcindonesia.com, mencatat bahwa impor susu pada Agustus 2024 mencapai 94,49 juta dolar AS. Angka ini melonjak naik, baik secara bulanan atau tahunan, dari bulan Juli yang mencapai 77,97 juta dolar AS.
Impor dilakukan karena pemerintah menganggap pasokan susu lokal tidak bisa mencukupi kebutuhan nasional yang makin bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023 saja, kebutuhan susu dalam negeri telah mencapai 4,4 juta ton, sedangkan pasokan dalam negeri hanya mencapai 19% saja. Oleh karena itu, kekurangannya diperoleh dari impor.
Jamak diketahui bahwa negara ini sudah kecanduan impor, mulai dari barang remeh-temeh seperti jarum hingga barang krusial seperti beras dll. Sementara itu, sebenarnya industri dalam negeri tak kalah dalam produksi.
Pada kasus impor susu ini, nyatanya data yang ada bertolak belakang dengan kenyataan. Negara sedang membutuhkan banyak pasokan susu tetapi malah tidak memaksimalkan penyerapan dalam negeri. Akhirnya, kesejahteraan peternak sapi perah pun menurun. Imbas lainnya, angka kemiskinan pun akan semakin naik dan menjadi PR bagi pemerintah untuk menyelesaikannya.
Buang Susu, Ironi Swasembada Pangan
Setiap pergantian rezim, swasembada pangan akan menjadi program unggulan, sebab janji swasembada selalu menggiurkan. Janji ini jika terealisasi, realitasnya akan berdampak sangat baik bagi produsen maupun konsumen.
Tak terkecuali pada rezim Prabowo yang menginginkan swasembada pangan pada tiga hingga empat tahun mendatang. Swasembada adalah usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Salah satu komoditi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia adalah susu. Meski susu sudah tidak menjadi prioritas dalam program isi piringku, tetapi keberadaannya tetap dicari dan dibutuhkan masyarakat.
Apalagi dengan program terbaru Prabowo makan bergizi gratis, harusnya pemerintah gencar membimbing dan mengarahkan peternak agar bisa memproduksi susu dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Bukan malah mengganti susu sapi dengan susu ikan atau bahkan berencana impor sapi perah, padahal dalam negeri banyak rakyat yang berprofesi sebagai peternak sapi perah. Sungguh ironis.
Dari sini, terlihat jika pemerintah tak sungguh-sungguh dalam meriayah rakyatnya. Satu sisi mendorong rakyat untuk berwirausaha hingga diberi pinjaman lunak dari bank. Sisi lain, negara secara langsung maupun tidak langsung mematikan usaha-usaha rakyatnya.
Gagalnya pemerintah dalam meriayah, bukan hanya dalam masalah hilirisasi produksi. Akan tetapi, juga dari pungutan pajak besar yang mengancam pelaku usaha. Banyak usaha bangkrut tersebab tagihan pajak yang di luar nalar. Maka, ironi ini makin menjadi ketika pemerintah masih tanpa malu mengatakan swasembada dan menciptakan lapangan kerja, padahal di saat yang sama banyak petani dan peternak dijegal berakhir gulung tikar.
Ekonomi Kapitalisme Tidak Berpihak pada Rakyat
Negeri ini menganut sistem ekonomi kapitalisme yang condong pada modal besar. Dalam artian, pemodal atau kapitalis akan selalu memiliki privilege, dalam hal apa pun, termasuk ekonomi.
Pada kasus susu dalam program makan bergizi gratis, pemerintah telah memudahkan pengimporan susu, sebab penerima manfaat akan bertambah jika program ini telah berjalan. Walhasil, yang paling diuntungkan dalam program ini adalah para pemilik perusahaan pengolahan susu, bukan para peternak lokal.
Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan itulah yang mampu memproses susu, baik untuk UHT (Ultra High Temperature) maupun pasteurisasi. Para peternak hanyalah memperoleh bagiannya dengan memasok puluhan liter susu sehari. Para peternak tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan besar dengan kecanggihan alat-alatnya untuk memproduksi susu kemasan.
Walhasil, peternak tetap tidak akan bisa mengubah drastis keadaannya, meski berbagai program membutuhkan komoditinya selama kapitalisme masih ditanam di negeri ini. Maka benarlah firman Allah taala pada surah Al-Maidah ayat 50 yang berbunyi,
”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Baca: Susu Ikan Atas Stunting?
Islam dan Swasembada Pangan
Dalam pemerintahan berdasarkan syariat Islam, swasembada pangan adalah keniscayaan. Sebuah negara akan kuat dan berdaulat jika ditopang oleh kemandirian. Salah satunya adalah tidak bergantung pangan pada negara lain.
Dalam Islam, pangan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi negara. Untuk itu, dibutuhkan seorang khalifah dan jajarannya yang amanah dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya dengan dorongan keimanan.
Dalam memenuhi tanggung jawab swasembada, negara akan memastikan kesediaan pangan tetap terjaga. Untuk itu, khalifah akan mengatur dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
Negara akan mengatur tata kota agar jelas mana lahan yang akan digunakan untuk lahan pertanian dan peternakan juga lahan perumahan dan fasilitas umum. Pun, negara akan berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dengan penyediaan bibit, pupuk, dan mencari metode paling pas untuk hasil maksimal.
Selain itu, negara juga akan mengatur sedemikian rupa masalah produksi dan distribusi dan memastikan setiap individu rakyat mendapat haknya. Negara jika tidak menafikan impor jika dirasa bahwa kebutuhan dalam negeri kekurangan karena masalah paceklik atau musibah. Akan tetapi, negara tidak akan melakukan perdagangan dengan negara kafir harbi fi’lan yang jelas-jelas memusuhi kaum muslim.
Dengan metode tersebut, negara akan bisa meminimalisasi biaya sehingga harga barang bisa dijangkau oleh khalayak. Pun, dengan swasembada pangan, negara akan mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Khatimah
Aksi buang susu yang dilakukan peternak tidak akan pernah terjadi ketika negara ini diatur dengan sistem Islam kaffah. Aksi buang susu atau hasil pertanian hanya terjadi di sistem kapitalisme yang tidak memanusiakan manusia. Untuk itu, sudah selayaknya kaum muslimin sadar dan ikut berjuang dalam penegakan Khilafah Islamiah yang kedua. Allahu a’lam bish-shawaab. []
Sampai ada teman yang koment, Ya Allah anakku ga pernah minum susu, tahu gitu tak jaluke ae timbang dibuang. Ga tahu aja kalo yang buang itu juga dengan dada sesak, hati teriris. Ya Allah… Bener2 mesakne
Kebijakan yang tak berpihak pada rayat
Sungguh sangat disayangkan. Ribuan liter susu sapi terbuang sia-sia. Terutama di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit dan banyak kemiskinan.
Barakallah untuk mbak Dia
Saya pernah baca berita bahwa pengolah susu lokal juga ada yang gulung tikar karena besarnya pajak yang dibebankan kepadanya. Bagaimana rakyat mau sejahtera jika begini caranya?
Barakallah Mbak Dia. Susu oh Susu, oleh penguasa peternak/petani selalu saja tdk dihargai. Ujung-ujungnya impor. Ah.. hidup di sistem kapitalis-sekuler gak ada enaknya kecuali pakai aturan Islam.
Entah bagaimana nasib bangsa ini ke depannya.. beban hidup makin tinggi, tp usaha rakyat tak didorong maju.
Jadi heran dengan motivasi penguasa negeri ini. Satu sisi ingin menjaga kesehatan masyarakat (MSG), di sisi yang lain justru “membunuh” sebagian rakyat lainnya.
Harusnya dgn program makan bergizi gratis ini juga jadi kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak lokal, UMKM, pengusaha2 kecil. Pemerintah harusnya mengajak mereka menyukseskan program tersebut sehingga banyak rakyat yg merasakan manfaatnya.
Tahun yang betul-betul kelam bagi peternak. Ini akibat negara salah urus. yang jadi korban akhirnya rakyat.
Gak hanya peternak, petani, dan masyarakat menengah ke bawah benar2 kelam
Sedih banget membayangkan literan susu dibuang gara-gara susu import. Belum satu bulan pelantikan, bibir masih basah dengan janji-janji manis, faktanya kayak gini.. Cukup sudah rakyat terus dimanfaatkan.
Zalim ya Bunda