UU Pesantren yang lahir dari paradigma sekularisme ini tidak akan mampu menjamin adanya kesetaraan lulusan.
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com–Kesetaraan lulusan pesantren dengan lulusan pendidikan formal lainnya ternyata masih belum terwujud. Lulusan pesantren sering kali mengalami kesulitan dalam meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri ataupun mencari pekerjaan. Regulasi untuk menjamin kesetaraan tersebut pun dikeluarkan.
Pemerintah menerbitkan UU No. 18 Tahun 2019 yang digadang-gadang bisa membuat lulusan pesantren memiliki hak yang sama dengan lulusan pendidikan formal lainnya. Sosialisasi terkait aturan ini pun dilakukan sebagaimana yang terjadi Pondok Pesantren Al Ihya ‘Ulumaddin Cilacap, Jawa Tengah. Majelis Masyayikh menekankan pentingnya perlindungan dan kesetaraan untuk semua lulusan pondok pesantren. Majelis juga menekankan bahwa negara mengakui ijazah dari seluruh pesantren sehingga tidak boleh ditolak. Ketika terjadi penolakan saat melamar pekerjaan karena ia merupakan lulusan pesantren, maka yang bersangkutan berhak melaporkannya dan negara berkewajiban memberi perlindungan. (sindonews.com, 3-11-2024)
Tentang UU Pesantren
Munculnya UU Pesantren berangkat dari wacana tentang perlunya undang-undang yang mengatur pesantren sebagai bagian dari pendidikan nasional. Wacana ini sudah mencuat sebelum lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada 2003. Undang-undang ini memang telah mengakui pesantren sebagai bagian dari penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, tetapi belum secara utuh.
Pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang juga dianggap belum cukup mengakui posisi pesantren. Aturan ini rupanya masih menempatkan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam jalur pendidikan nonformal. Penyelenggaraan pendidikan pesantren yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang dan dengan beban belajar yang sama dengan pendidikan umum jalur pendidikan formal belum sepenuhnya diakui.
Maka dari itu, lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 atau dikenal dengan UU Pesantren bisa menjadi pengakuan tegas atas peran pesantren sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Regulasi ini mengatur penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
UU Pesantren ini menjadi landasan hukum untuk memberikan afirmasi atas jaminan kesetingkatan mutu, kesetaraan akses pendidikan bagi lulusan, dan kesetaraan dalam kesempatan kerja. UU ini memberikan pengakuan atas kualifikasi, kompetensi, dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan pesantren. UU ini juga menjadi landasan hukum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan fasilitasi pengembangan pesantren.
Adanya UU Pesantren juga sekaligus sebagai pengakuan atas peran pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga negeri ini. Tak bisa dinafikan bahwa keberadaan dan peran penting pesantren turut menghiasi sejarah perjalanan bangsa ini, khususnya dalam perkembangan Islam. Di sisi lain, UU Pesantren ini menyisakan masalah besar karena bernuansa moderasi beragama. UU No. 18 Tahun 2003 ini mendorong pesantren untuk mengusung Islam moderat. Hal ini tentunya bertentangan dengan akidah Islam dan tidak boleh diamini.
Sekelumit tentang Pesantren
Indonesia punya banyak pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Kementerian Agama (Kemenag) mencatat setidaknya terdapat 39.551 pesantren di seluruh Indonesia per semester ganjil 2023/2024. Total santrinya mencapai 4,9 juta. Bahkan, bisa jadi jumlah santri lebih dari itu karena masih ada yang belum tercatat di Kemenag. (theconversation.com)
Pesantren telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak lama, bahkan jauh sebelum republik ini berdiri. Keberadaannya sebagai wadah mendidik masyarakat telah mengakar dalam sejarah negeri ini. Pesantren juga turut memberikan sumbangsihnya dalam perjuangan melawan penjajah.
Pondok pesantren atau pesantren adalah bentuk khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren menjadi tempat para ulama mendidik masyarakat terkait ilmu agama. Santri-santri dari berbagai pelosok mondok di pesantren untuk menimba ilmu agama yang kemudian dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pesantren mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Pesantren memiliki tujuan untuk mencetak individu unggul yang paham agamanya dan mampu mengamalkan nilai-nilai agamanya tersebut. Pesantren diharapkan dapat melahirkan ahli agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, dan dapat memberi manfaat untuk sesama.
Lulusan Pesantren
Pesantren sebagai institusi pendidikan agama tentunya lebih berfokus mengajarkan ilmu agama Islam. Materi seperti ilmu tauhid, tasawuf, akhlak, fikih, tafsir Al-Qur’an, dan bahasa Arab menjadi fokus pengajaran di pesantren. Pelajaran umum dan keterampilan memang diajarkan, tetapi porsinya sedikit. Karena itulah, lulusan pesantren umumnya meneruskan pendidikan ke universitas atau perguruan tinggi Islam. Tak heran pula jika lulusan pesantren biasanya menjadi pendidik agama, ustaz, penceramah, staf pesantren, konsultan keagamaan, dan bidang kerja lain yang masih ada kaitannya dengan agama.
Ada pandangan di masyarakat bahwa lulusan pesantren hanya menguasai tsaqofah Islam dan kurang memiliki ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Lulusan pesantren sering kali dipandang tidak cakap dalam ilmu umum sehingga kesulitan ketika hendak meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Lulusan pesantren ini juga sering kalah bersaing dengan lulusan lain dalam dunia kerja karena dianggap kurang memiliki keterampilan.
Memang tidak semua lulusan pesantren dipandang demikian. Banyak lulusan pesantren yang menguasai ilmu agama dan juga cakap dalam ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Mereka pun bisa meneruskan studinya di perguruan tinggi negeri. Lulusan pesantren ini juga mampu bekerja di berbagai bidang pekerjaan dengan keilmuan dan keterampilan yang dikuasai.
Sulitnya Mencari Pekerjaan
Sulitnya mencari pekerjaan bukan hanya dialami lulusan pesantren, tetapi juga bisa dialami oleh lulusan pendidikan formal lainnya. Banyak lulusan pendidikan negeri, dari berbagai tingkatan yang ternyata juga mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Jangankan yang lulusan sekolah menengah, mereka yang telah sarjana pun banyak yang menganggur. Tingginya tingkat pendidikan ternyata tidak serta merta menjamin seseorang bisa langsung dapat pekerjaan.
Bukan lapangan pekerjaannya yang terbatas atau pencari kerjanya yang terlampau banyak, tata kelola yang keliru menjadi penyebabnya. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Ini bisa memberikan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat. Namun, pengelolaan yang tidak tepat menyebabkan sumber daya alam ini dikuasai oleh segelintir orang yang notabene pemilik modal. Akibatnya, rakyat tidak memiliki akses terhadap sumber daya alam tersebut.
Tata kelola kekayaan alam yang buruk tersebut merupakan buah dari sistem kapitalisme sekularisme. Sistem ini memberikan privilege kepada mereka yang memiliki kapital untuk berkuasa atas sumber daya alam. Dengan itulah, kaum kapitalis leluasa mengeruk sumber daya alam untuk kepentingan mereka sendiri. Akibatnya, sumber daya alam yang melimpah pun seperti tak cukup memberi manfaat kepada masyarakat secara luas.
Sulitnya lulusan pesantren mendapat pekerjaan bukan hanya terkait kesetaraan, tetapi karena memang sistemnya membuat demikian. Ini adalah masalah sistemis buah dari penerapan kapitalisme sekularisme dalam kehidupan manusia.
Dikotomi Penyelenggaraan Pendidikan
Penerapan sistem sekularisme kapitalisme juga memunculkan masalah lain. Pemisahan agama dari kehidupan sebagai konsekuensi penerapan sekularisme telah menghasilkan dikotomi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan terbagi menjadi pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler).
Pendidikan agama di pesantren atau sekolah agama fokus mengajarkan tsaqofah Islam. Sementara di sekolah negeri, tsaqofah Islam tidak diajarkan karena dianggap tidak penting. Kalau pun ada pelajaran agama, biasanya hanya dalam porsi yang sangat sedikit, bahkan ala kadarnya.
Pendidikan agama ditujukan agar siswa paham agama dan menjadi hamba yang taat pada Sang Pencipta. Sebaliknya, pendidikan umum (sekuler) berfokus pada nilai-nilai materi dan duniawi. Pendidikan umum ini ditujukan agar lulusan dapat mencari pekerjaan.
Baca juga: Kampus Kurikulum Industri, Untungkan Korporasi dan Hancurkan Impian Negeri
Dikotomi ini menyebabkan lulusan dari pesantren dan sekolah umum menjadi tidak setara. Lulusan pesantren yang berbekal tsaqofah Islam kesulitan mendapatkan pekerjaan di dunia yang materialistis ini. Di sisi lain, lulusan pendidikan umum lebih memiliki bekal yang sesuai untuk terjun ke dunia kerja.
Inilah rusaknya sistem pendidikan sekularisme. Sistem ini menghasilkan ketidaksetaraan lulusan yang memicu ketidakadilan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Sistem pendidikan sekuler ini juga menghasilkan pribadi yang jauh dari agama yang membawanya pada ragam permasalahan.
Karena itu, UU Pesantren yang lahir dari paradigma sekularisme ini tidak akan mampu menjamin adanya kesetaraan lulusan. Selama masih dalam kerangka berpikir sekularisme, peraturan atau undang-undang yang dilahirkan juga akan bermasalah.
Sistem Pendidikan Islam Menjamin Kesetaraan Lulusan
Sistem pendidikan Islam merupakan yang terbaik. Tidak ada dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler) karena pendidikan diselenggarakan berbasis akidah Islam. Materi pengajaran terdiri dari ilmu pengetahuan untuk pengembangan akal dan ilmu pengetahuan tentang hukum syarak.
Tujuan pendidikan adalah untuk membangun kepribadian Islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Pendidikan juga ditujukan untuk mendidik siswa dengan keterampilan dan pengetahuan sehingga menguasai teknologi dan mampu bertahan dalam kehidupan. Selain itu, pendidikan ini mempersiapkan siswa untuk memasuki jenjang perguruan tinggi dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar yang diperlukan.
Ada tiga jenjang sekolah dalam sistem pendidikan Islam. Pertama, sekolah jenjang pertama (ibtidaiyah) yang diikuti siswa dari umur 6 tahun – 10 tahun. Kedua, sekolah jenjang kedua (mutawasithah) yang diikuti siswa dari umum 10 tahun – 14 tahun. Ketiga, sekolah jenjang ketiga (tsanawiyah) yang diikuti siswa dari umur 14 tahun – berakhirnya jenjang sekolah.
Ketiga jenjang sekolah tersebut mengajarkan bahasa Arab, tsaqofah Islam, dan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Bahasa Arab meliputi bacaan, tulisan, nahwu, sharaf, ilmu balaghah, dll. Tsaqofah Islam meliputi akidah, fikih, sirah, tafsir Al-Quran, akidah, pemikiran dakwah, dll. Ilmu pengetahuan dan keterampilan meliputi fisika, kimia, matematika, komputer, pertanian, pelatihan militer, olahraga, menggambar, dll.
Tsaqofah Islam wajib diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Adapun ilmu pengetahuan dan keterampilan diberikan sesuai dengan kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu. Dengan cara inilah, sistem pendidikan Islam menjamin kesetaraan lulusan. Setiap lulusan mendapat bekal yang sama meskipun penguasaan ilmunya tergantung pada kekuatan masing-masing.
Negara Menjamin Kebutuhan Setiap Individu
Islam menetapkan pendidikan menjadi hak dasar bagi setiap insan. Pemenuhan hak dasar ini dilaksanakan negara secara langsung. Negara menyelenggarakan pendidikan untuk rakyatnya tanpa memungut biaya sepeser pun alias gratis. Bahkan, negara akan memberikan fasilitas tambahan seperti uang saku dan asrama.
Negara menjamin setiap anak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan sampai tingkat pendidikan tinggi. Anak bisa bersekolah di mana saja karena semua sekolah merata kualitasnya. Materi yang diajarkan pun sama dan sesuai dengan jenjang pendidikannya.
Begitu pula dengan kesempatan bekerja dijamin oleh negara sehingga setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan. Negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Para ayah yang bertugas mencari nafkah dapat bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Para pencari nafkah akan mampu menghidupi keluarganya secara makruf.
Setiap bidang pekerjaan akan diisi oleh orang-orang yang tepat. Lulusan pesantren atau bukan, selama ia mampu dan memenuhi syarat yang dibutuhkan, maka ia dapat bekerja. Semua itu bisa terlaksana karena ada negara yang me-riayah rakyatnya dengan baik. Negara hadir sebagai pengatur urusan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah: “Pemerintah adalah raa’in (pelayan) dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Khatimah
Sistem pendidikan Islam menjamin kesetaraan lulusan. Dalam sistem ini, tidak ada dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum. Semua sekolah mengajarkan materi tentang bahasa Arab, tsaqofah Islam, dan ilmu pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Dengan begitu, setiap siswa mendapatkan ilmu dan keterampilan yang bisa menjadi bekal dalam menjalani kehidupan termasuk mencari nafkah.
Wallahu a’lam bishawwab []
Betapa kompleksnya persoalan pendidikan di negeri ini. Mau lulusan sekolah negeri atau pesantren, sama-sama susah cari kerja, kecuali punya “orang dalam”. Astaghfirullah
Barakallah Mba Deena
Betul mbak.. masalahnya sangat kompleks..
wa fiik barakallah
Yang sulit cari kerja di negeri ini sebenernya bukan cuma lulusan pesantren. Jadi memang betul bukan soalan di kesetaraan saja, tapi lebih ke sistem kehidupan yg berlaku di negeri yg tak sanggup memberi kesejahteraan dan keadilan.
Barakallah Mbak
Betul mbak Yuli.. jadi, ya solusinya harus sistemis
Wa fiik barakallah..
Barakallah, naskahnya keren
Wa fiik barakallah..
Terima kasih sudah mampir mbak Tami..
Barakallah untuk Mbak Deena
Wa fiik barakallah..
Di sistem kapitalisme, tidak hanya lulusan pondok yang sulit mencari kerja. Secara umum, masyarakat memang kesulitan. Hanya dalam sistem Islam, rakyat mendapatkan kemudahan dan jaminan untuk mencari nafkah.
Sepakat
Jazakillah khoir NP..
Semoga bermanfaat..