Di saat bersamaan, aku tak kuasa menghentikan slide demi slide peristiwa semasa kehamilan yang tergambar jelas di langit-langit. Sepertinya, aku mengalami baby blues.
Oleh. Ikhtiyatoh
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Aku terdiam menatap langit-langit ruang bersalin. Telah lahir putri kelima kami berjenis kelamin perempuan melalui persalinan normal. Ada sedikit perasaan lega ketika momen pertarungan hidup dan mati terlewati. Namun, rasa bahagia urung menghampiri. Ada kebingungan dalam benak. Ada kehampaan dalam hati. Aku berupaya keras menjaga pikiran dan hati agar tidak kosong. Sayangnya, bukan memori manis yang muncul. Seperti film yang diputar ulang, satu per satu momen yang menguji kesabaran kembali muncul.
Retensi Plasenta
Aku kelelahan hingga tak memiliki daya untuk merespons sekitar. Sebelumnya, tiga orang bidan tampak panik saat mengeluarkan plasenta secara bergantian. Biasanya, plasenta langsung terdorong keluar setelah bayi lahir. Pada persalinan kali ini, terjadi retensi plasenta, yaitu kondisi di mana plasenta tertahan dan tidak mau keluar dari rahim. Bagi seorang yang awam di dunia medis, aku sempat berpikir, organ yang merupakan sumber oksigen, nutrisi, dan hormon untuk bayi tersebut tertahan karena air ketuban habis.
Air ketuban memang merembes sejak hari Sabtu sekitar jam 11.00 WIT. Sementara bayi lahir di hari Ahad pagi. Setelah googling, ternyata tak ditemukan korelasi air ketuban dengan retensi plasenta. Ada banyak faktor penyebab retensi plasenta, di antaranya, kelahiran sebelum 34 minggu (prematur), kehamilan pada wanita di atas usia 30 tahun, kontraksi berhenti atau tidak cukup kuat (uterine atony), plasenta tumbuh di sepanjang dinding rahim (plasenta percreta), plasenta tertanam terlalu dalam di dinding rahim (plasenta accreta), dan faktor lainnya.
Persalinan kali ini memang maju dua pekan dari Hari Perkiraan Lahir (HPL). Namun, usia bayi sudah lebih dari 34 minggu. Berat badan bayi juga normal, yaitu 3,2 kg dengan panjang 49 cm. Pada kehamilan kali ini, usiaku 39 tahun. Mungkin, ini yang menyebabkan retensi plasenta. Mungkin juga karena uterine atony karena kontraksi menghilang saat bayi lahir. Kemungkinan lain, terjadi plasenta percreta, mengingat, bidan cukup kuat saat menekan area perut.
Terkait plasenta accreta, kemungkinan kecil terjadi karena kasus ini biasanya memicu pendarahan hebat. Sementara kondisiku saat itu tak sampai terjadi pendarahan. Selain sejumlah faktor di atas, wanita yang sudah sering melahirkan juga berpotensi terjadi retensi plasenta. Wanita yang mengalami kasus retensi plasenta berpotensi mengalami kondisi yang sama pada persalinan berikutnya. Apa pun penyebabnya, retensi plasenta harus segera ditangani. Jika tidak, kondisi ini bisa menimbulkan komplikasi hingga kematian pada ibu.
Aku Butuh Waktu
Orang bilang, seorang wanita yang sudah melahirkan beberapa kali, proses persalinan berikutnya akan lebih mudah. Bagiku, kehamilan dan proses persalinan masing-masing anak memiliki sensasi yang berbeda-beda. Seperti proses persalinan sebelumnya, persalinan kali ini kembali kulewati melalui bantuan infus dan induksi. Bedanya, tanda persalinan berupa rembesan ketuban belum pernah kualami sebelumnya. Tak ada kontraksi yang mengiringi tanda persalinan tersebut.
Khawatir air ketuban habis, suami mengantarkanku ke sebuah rumah sakit swasta sekitar jam lima sore. Untuk pertama kalinya aku dirawat di rumah sakit tersebut. Alhamdulillah, pelayanannya bagus. Terpenting, suasananya membuatku nyaman. Induksi pertama, diberikan sekitar pukul 22.00 WIT, tetapi belum merasakan kontraksi. Aku masih bisa bersantai sembari menyaksikan dua pasien lain melakukan proses persalinan. Bidan mengingatkanku untuk makan banyak sebagai cadangan energi nanti.
Induksi kedua kembali diberikan sekitar jam empat pagi. Tak lama kemudian kontraksi pun mulai terasa. Sayangnya, makanan dan minuman yang sudah menginap di lambung semalaman, kumuntahkan semua. Kontraksi semakin intens sementara perutku kosong. Aku mulai lemas, tetapi kondisi tak memungkinkan untuk makan dan minum. Beruntung ada sari kurma. Suami telaten memberiku sari kurma setiap lima menit sekali. Hanya mengandalkan sari kurma, aku mendapatkan cukup tenaga untuk proses persalinan.
Kulangitkan doa agar persalinan berlangsung normal. Prediksi bidan melahirkan pukul 12.00 WIT ternyata maju, yaitu pukul 8.48 pagi. Tak bisa kunarasikan secara detail proses persalinan yang menguras energi tersebut. Akan tetapi, aku hampir menyerah. Beruntung suami selalu menguatkanku. Sampai akhirnya, aku mendengar suami mengumandangkan azan tanda bayi sudah berada dalam pelukannya.
Aku bisa mendengar, tetapi tak mampu mengedarkan pandangan. Aku hanya mampu menatap langit-langit. Kutolak tawaran suami untuk melihat bayiku dengan gelengan kepala. Kupikir, aku butuh waktu untuk menetralisir segala macam rasa yang berkecamuk di dada. Aku berupaya keras memulihkan kesadaran, tetapi tetap tak siap melihat bayiku. Aku takut membenci dan menyalahkannya atas segala kesulitan saat masih dalam kandungan.
“Bu, sadar, Bu,” ucap bidan pendamping dengan nada tinggi.
Aku mendengar suara sejumlah bidan dan suami yang berupaya menyadarkanku. Akan tetapi, aku tak kuasa untuk merespons. Kelelahan yang teramat sangat membuatku seperti kehilangan sebagian kesadaran. Aku tak mampu mengatupkan kedua kelopak mataku. Di saat bersamaan, aku tak kuasa menghentikan slide demi slide peristiwa semasa kehamilan yang tergambar jelas di langit-langit. Sepertinya, aku mengalami baby blues.
Seperti kehamilan anak pertama dan kedua, fase trimester pertama kulalui dengan cukup berat. Fase ketika asupan makanan lebih banyak ditolak dan dikeluarkan dari lambung. Kondisi mual muntah terus berlanjut sampai akhirnya harus dirawat di rumah sakit. Masih di trimester pertama, terjadi infeksi yang membuatku demam tinggi. Aku pun kembali dilarikan ke rumah sakit. Setelah dirawat untuk kedua kalinya, aku semakin membatasi aktivitas fisik.
Ada kondisi berbeda pada kehamilan kali ini yang tidak kualami pada kehamilan sebelumnya, yaitu nyeri di bagian perut bawah secara terus menerus. Kondisi ini membuatku tak mampu duduk lama. Bahkan, rasa sakit seperti kontraksi palsu kerap terjadi meski baru trimester awal. Di saat bersamaan, sakit tulang belakang kembali menyerang. Tulang belakangku di bagian bawah memang pernah mengalami pergeseran. Meski sudah beberapa kali chiropractic (pelurusan tulang belakang), tetap saja kondisinya tak bisa pulih seperti semula.
Pada kehamilan sebelumnya, nyeri tulang belakang masih bisa ditahan tanpa obat. Pada kehamilan kali ini, rasa nyeri tak tertahankan hingga air mata kerap jatuh sendiri. Aku pun disarankan untuk rutin mengonsumsi gamat kapsul. Alhamdulillah, hampir tujuh botol gamat menjadi wasilah mengurangi rasa nyeri di tulang belakang.
Di samping sejumlah keluhan fisik, mentalku juga bermasalah. Memiliki banyak anak di era digital membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Putri sulungku memang tak di rumah karena bersekolah di pesantren. Namun, tiga anakku di rumah kerap bertingkah random dan menguji emosi. Di luar rumah, tak sedikit teman yang rajin bertanya, “Kenapa hamil lagi?” Memiliki banyak anak di era sekuler saat ini dianggap sesuatu yang tak lazim. Apalagi, bagi seorang wanita karier. Aku berupaya keras menutup telinga, tapi nyinyiran mereka tetap tembus juga.
“Bu, anaknya sudah mau lima. Maunya punya anak berapa, Bu?” celetuk seorang bidan setelah memasang infus saat aku rawat inap di rumah sakit yang kedua. Saat hamil, aku dirawat di dua rumah sakit berbeda. Di rumah sakit yang kedua ini, aku memang memiliki banyak trauma baik lisan maupun tindakan oknum tenaga kesehatanannya.
Kondisi mental yang labil berubah menjadi depresi ketika tak lagi bisa menulis. Aku memang bukan penulis hebat dalam arti mampu menyelesaikan naskah dengan waktu singkat. Namun, me time yang kupunya adalah menulis. Menulis bisa membuat pikiran tetap waras di tengah kesibukan mengurus rumah, anak, dan kerjaan. Salah satu hiburan utamaku dalam kondisi normal adalah mendengarkan berita politik sambil memasak, menyapu, atau aktivitas lainnya. Terasa irasional ketika reaksi mual dan pusing muncul saat mendengar berita politik.
Sama halnya ketika membaca tema politik ataupun kitab dengan pembahasan berat. Aku kesulitan untuk mencerna isinya. Padahal, mendengar/membaca adalah bagian dari menutrisi otak. Terkhusus menulis opini, tak cukup mengandalkan fakta, tetapi wajib menganalisis. Bagaimana kita menganalisis suatu masalah sementara otak kosong? Menulis hanya mengandalkan fakta ibarat ‘katak dalam tempurung’. Pembahasan hanya berputar-putar di satu tempat karena minimnya informasi. Akhirnya, tema viral hanya menari-nari dalam benak.
Baca: Gelombang Cinta Ayla
Menjaga Kesehatan Mental
Jiwaku meronta saat menghadapi berbagai kondisi yang tak semestinya. Aku sering menangis dalam kesendirian hingga ingin berteriak sekuat-kuatnya. Di saat bersamaan aku tak bisa mendengar kebisingan. Aku harus berupaya keras untuk menjaga kesehatan mental. Salah satunya dengan bertilawah setiap hari. Ketika nyeri perut bagian bawah mendera, aku bertilawah sambil berbaring. Kuputar instrumen lembut dengan suara kecil saat kesulitan tidur.
Pada keempat kehamilan sebelumnya, aku melakukan pemeriksaan kehamilan ke dr. Adib M. Naqib, Sp.OG. Bukan tanpa alasan memilih beliau untuk melakukan pemeriksaan rutin. Di antara beberapa dokter kandungan yang kukunjungi, beliau paling juara dalam hal menyugesti pasiennya. Dengan seulas senyum, segala keluhan yang kukumpulkan dari rumah bisa hilang begitu saja. Sebanyak apa pun pertanyaan yang kuajukan selalu dijawab sampai puas dan tuntas.
Namun, pada kehamilan kali ini, aku ingin ditangani oleh dokter perempuan. Satu dokter kukunjungi, tak cocok. Satu dokter lagi kukunjungi, tak cocok lagi. Empat dokter kukunjungi untuk melakukan pemeriksaan kehamilan kali ini. Gonta-ganti dokter kulakukan hanya demi mencari sosok yang mampu menyugesti dan memberi afirmasi positif.
“Sepertinya ada penyumbatan di usus, Bu. Nanti kita cek saat bayi lahir, ya. Kalau BAB normal berarti tidak masalah.” Aku syok mendengar penyataan dokter tersebut.
Seperti apa pun kondisiku, aku berharap bayiku lahir selamat dan sehat. Kondisi mentalku tak siap mendengar pernyataan dokter yang terkesan gegabah. Rasanya, ingin kembali kontrol ke Dokter Adib, tetapi tiba-tiba mendapat kabar beliau meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Jalan raya di depan kediaman sekaligus klinik almarhum penuh lautan manusia. Ya, kami kehilangan dokter senior yang sangat berjasa sepanjang sejarah Kota Ternate. Semoga Allah mengampuni, merahmati, memuliakan, serta menempatkan almarhum di tempat terbaik.
Sepupu memberi saran untuk melanjutkan pemeriksaan ke Bidan Dewi. Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan sosok yang kucari. Kuadukan segala keluhan kepada bidan yang masih tampak muda tersebut. Beliau memberi banyak wejangan yang menyejukkan hati. Meski tegas, tapi sama sekali tidak menggurui maupun membuat mentalku down. Setelah itu, aku seperti mendapat kekuatan ekstra untuk menjaga kehamilan sampai saatnya tiba.
Sekuat-kuatnya wanita, ada saatnya dia lemah tak berdaya. Aku sadar, mentalku tak baik-baik saja. Namun, aku tak mampu memulihkannya sendiri hingga membutuhkan orang lain. Fitrahnya manusia memang lemah. Allah pun memerintahkan muslim untuk saling menasihati dalam kesabaran. Seperti firman Allah Swt. dalam surah Al-Asr, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran”.
Tiga kali aku berkunjung ke tempat praktik Bidan Dewi. Aku pun berniat melahirkan di tempat tersebut. Sampai akhirnya terjadi rembesan air ketuban. Suami melarikanku ke rumah sakit karena takut terjadi hal yang tak diinginkan. Aku baru pertama kali dirawat di rumah sakit tersebut. Suasananya memang tampak lengang, tetapi pelayanannya cukup memuaskan.
“Bu, kalau sakit teriak aja. Mumpung tak ada orang,” celetuk seorang bidan saat melihatku kesakitan.
Menjalani profesi sebagai tenaga kesehatan memang tak mudah. Akan tetapi, ketika seseorang sudah memilih jalan tersebut, wajib bermodalkan ramah dan sabar. Mental seorang pasien kerap labil hingga membutuhkan peran orang-orang di sekitar untuk menguatkan, terutama tenaga kesehatan.
“Yaaang … aku mau lihat Dede,” ucapku lirih kepada suami setelah dua jam lebih melahirkan.
Kuedarkan pandanganku ke setiap inci bagian wajah bayiku yang tampak nyaman dibedong. Mata, hidung, dan bibir tampak begitu mungil. Perlahan, hatiku luluh. Kucium pipi dan kening mulus bayiku bergantian sembari menetralkan segala rasa. Bau wangi khas bayi menyusup ke hidung bak candu. Kupeluk lembut bayiku. Segala puji bagi Allah yang memberiku ketenangan. Aku sangat bersyukur, Allah tidak mencabut rasa cinta kasih dalam diriku.
Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin, Allah menitipkan lima buah hati untuk menemaniku dan suami di masa tua. Entah ajalku sampai kapan. Aku berharap, masih diberi kemampuan dan kekuatan untuk menjaga amanah baru ini agar kelak menjadi pejuang Islam. Mutiara Aleena Fikriyah. Semoga kesulitanku menulis saat hamil tergantikan dengan ‘Allena menjadi penulis ideologis’. Semoga Aleena tak hanya menjadi mutiara dalam keluarga kecilku, tetapi juga menjadi mutiara bagi umat. Amiiin ya Robbal ‘alamin. []
Masyaallah. Perjuangan seorang ibu memang tak akan pernah tergantikan sampai kapan pun. Dia rela berkorban nyawa demi lahirnya buah hati tercinta. Barakallah mba @Ikthy.
Semoga putri kecilnya menjadi penyejuk hati bagi kedua orangtuanya dan berguna bagi agamanya.
Sehat selalu sahabatku
Barakallah Mbak Ikhty..
Masyaallah.. perjuangan seorang ibu yg luar biasa..
Semoga Aleena menjadi putri seperti yg didoakan oleh ibunda tercintanya..
Jazakumullah khoir katsiron, Mom dan Tim Narasipost ... ❤️