Jika para hakim yang mendapat gaji saja merasa tidak sejahtera, lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki gaji dan tunjangan dari negara?
Oleh. Mahganipatra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Hakim adalah Wakil Tuhan di Dunia", slogan ini tampak ironis ketika ribuan hakim se-Indonesia menggelar aksi cuti bersama untuk menuntut keadilan. Mereka juga meminta audiensi dengan sejumlah lembaga negara, di antaranya adalah lembaga eksekutif DPR. Aksi yang dimotori oleh SHI (Solidaritas Hakim Indonesia) adalah aksi para hakim untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan karena sudah 12 tahun ini, kesejahteraan mereka diabaikan oleh pemerintah.
Diwartakan oleh Primetime News, Metro TV, Selasa, 8 Oktober 2024, saat para hakim menggelar audiensi dengan DPR. Presiden terpilih Prabowo Subianto, melalui telepon beliau menanggapi tuntutan tersebut dan meminta para hakim untuk bersabar. Selanjutnya beliau berjanji akan bertemu langsung dengan para hakim setelah ia dilantik. Presiden Prabowo juga berjanji akan menyelesaikan masalah kesejahteraan para hakim yang tidak diperhatikan oleh pemerintahan sebelumnya.
Respons ini dianggap sebagai angin segar oleh para hakim, perasaan mereka sangat terharu hingga bersedia untuk menunggu. Namun, akankah janji itu dapat direalisasikan oleh Presiden Prabowo Subianto setelah ia dilantik? Bisakah nasib para hakim sejahtera ketika gaji dan tunjangan mereka benar-benar naik sesuai dengan tuntutan mereka?
Ironi Hakim Meminta Keadilan
Menurut Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) Isna Latifa, perjuangan para hakim untuk menuntut keadilan demi kesejahteraan akan terus dilakukan. Oleh karena itu, Isna tidak bisa memastikan sampai kapan perjuangan para hakim mencari keadilan ini akan berhenti. Menurut Isna, aksi ini hanya akan benar-benar berhenti ketika semua tuntutan para hakim telah terwujud.
Sebenarnya, keamanan dan kesejahteraan para hakim telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi, harapan untuk sejahtera jauh panggang dari api. Meskipun saat ini para hakim mendapat tunjangan senilai Rp8,5-14 juta, tapi tunjangan tersebut tidak sebanding dengan posisi dan kedudukannya yang membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi karena sangat rawan terjadi aktivitas suap di kelas pengadilan tempat mereka bertugas.
Demikian pula dengan gaji yang diterima, di mana masa kerja 32 tahun hanya mendapat gaji sebesar Rp4,9 juta. Padahal mereka termasuk golongan hakim tertinggi atau golongan IV E. Apalagi untuk status hakim golongan III A atau golongan yang terendah, mereka hanya menerima gaji Rp2,05 juta per bulan. Dengan jumlah tersebut, kesejahteraan para hakim sangat sulit terjamin apalagi dengan harga-harga kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
Bahkan dalam rapat audiensi dengan DPR, terkuak kabar tentang kondisi sebagian individu hakim di daerah sangat memilukan. Mereka harus menunggu sampai tiga atau empat tahun agar bisa pulang kampung. Ada pula yang tidak bisa pulang untuk menghadiri pemakaman orang tuanya karena keterbatasan ekonomi. Sungguh ironis.
Jika para hakim yang mendapat gaji saja merasa tidak sejahtera, lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki gaji dan tunjangan dari negara? Bukankah kehidupan dinamis di tengah-tengah masyarakat saat ini juga sama-sama dirasakan oleh seluruh anak bangsa negeri ini?
Sistem Kapitalisme Menjadikan Kesejahteraan dan Keadilan Makin Utopis
Aksi "Peradil Menuntut Keadilan" makin mengukuhkan fakta bahwa hari ini penguasa tidak mampu memberikan pelayanan terbaiknya bagi kehidupan rakyat. Tuntutan keadilan dari para hakim kepada pemerintah dengan menggelar aksi cuti bersama, dinilai sebagai bentuk keterpurukan lembaga peradilan di negeri ini.
Pengabaian pemerintah terhadap kesejahteraan para hakim, sejatinya merupakan bentuk perselisihan yang terjadi di antara lembaga pemerintahan. Perselisihan ini semestinya diselesaikan dengan kesepakatan bersama antarlembaga pemerintahan, tanpa harus melibatkan dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Aksi ini justru makin menelanjangi kebobrokan sistem kapitalisme. Demi kepentingan individu dan golongan, para hakim yang dianggap wakil Tuhan di dunia yang bertugas memberikan keadilan, justru tak mampu bersikap adil terhadap rakyat. Atas nama tuntutan kesejahteraan, mereka malah mencoreng keadilan itu sendiri dengan menunda pelayanan sidang peradilan dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Di beberapa wilayah, akibat aksi ini telah terjadi penundaan sidang peradilan yang membutuhkan kepastian hukum dengan mekanisme peradilan cepat. Jika aksi ini terus berlanjut maka hal ini menjadi bukti bahwa sistem kapitalisme telah melahirkan sikap arogansi aparatur negara. Mereka tidak peduli terhadap kepentingan masyarakat yang mencari keadilan di seluruh wilayah Indonesia.
Maka dengan becermin pada aksi ini, seharusnya masyarakat sadar bahwa sistem kapitalisme hanya bertumpu pada kepentingan individu atau golongan saja. Sehingga etos kerja seorang hakim akan dinilai berdasarkan asas manfaat demi tujuan tercapainya kepentingan individu dan golongan yang bersifat materialistis semata. Alhasil, ketika kesejahteraan dirasa sulit diraih, tanggung jawab, integritas, dan profesionalitas pun hilang dipertaruhkan.
Dari peristiwa ini kita juga bisa melihat, meskipun hakim yang melakukan aksi cuti bersama konon hanya 1.730 orang hakim dari jumlah total keseluruhan yakni 7.700 orang hakim se-Indonesia. Namun, bisa dibayangkan berapa jumlah sidang yang harus tertunda setiap harinya? Tentu saja, ini akan sangat mengganggu jalannya persidangan termasuk terganggunya kepentingan masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum. Dengan demikian, sesungguhnya terwujudnya kesejahteraan dan keadilan demi rakyat, di sistem kapitalisme hanya utopis belaka.
Lalu, bagaimana dengan sistem Islam? Apakah hakim memiliki posisi penting dalam persidangan?
Baca: Ketika Hakim Ikut Korupsi
Posisi Hakim dalam Sistem Islam
Seorang hakim dalam Islam disebut "qadhi". Seorang qadhi menduduki posisinya karena dipilih atau ditunjuk dan disetujui langsung oleh kepala negara (Khalifah). Wewenang dan tugas qadhi dalam Islam adalah untuk memberikan keputusan hukum bagi mereka yang membutuhkan, baik melalui majelis persidangan atau pun tidak. Di dalam sistem Islam, terdapat mekanisme peradilan yang ditentukan berdasarkan jenis-jenis perkaranya.
Dalam Islam terdapat 3 kategori wewenang seorang qadhi (hakim) dalam memutuskan setiap persengketaan, perselisihan maupun tuduhan-tuduhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Keputusan hukum akan ditetapkan berdasarkan pada jenis pelanggaran atau perselisihan yang terjadi.
Tiga kategori tersebut ialah:
Pertama, jika terjadi perselisihan antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa di antara warga negara. Persengketaan karena tindakan pidana maupun perdata, maka seorang qadhi akan memutuskan keputusan hukum di dalam majelis peradilan dengan berdasarkan dalil-dalil syariat Islam. Qadhi yang bertugas menyelesaikan perkara ini disebut Qadhi Qusumat.
Kedua, ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, maka tugas ini akan diserahkan kepada qadhi hisbah. Qadhi hisbah tidak membutuhkan majelis peradilan tapi mereka akan langsung memutuskan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan di tempat kejadian perkara.
Ketiga, apabila perselisihan termasuk ke dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan perselisihan antara sesama penguasa, penguasa dengan aparatur negara, dan penguasa dengan rakyat, maka perkara ini akan diselesaikan oleh qadhi mazhalim. Contohnya, aksi cuti bersama yang dilakukan oleh para hakim saat ini.
Jika hal ini terjadi di dalam sistem Islam, maka tuntutan kesejahteraan para hakim bisa ditujukan langsung kepada qadhi mazhalim, sehingga tidak akan terjadi aksi cuti bersama yang menyebabkan tertundanya sidang peradilan yang berdampak pada mengorbankan kepentingan rakyat. Di dalam sistem Islam, terdapat mekanisme yang detail dan rinci bagaimana mekanisme tuntutan bagi setiap orang yang membutuhkan kesejahteraan dari para pejabat pemerintahan.
Mahkamah mazhalim, merupakan peradilan yang akan memutuskan setiap persoalan yang melibatkan para penguasa dan aparatur negara. Ketika terjadi perselisihan, Rasulullah saw. senantiasa berwasiat agar seorang hakim memutuskan setiap perselisihan di antara kaum muslim berdasarkan pada kitab yang mulia Al-Qur'an.
Seorang hakim hendaklah selalu mengingat surah Al-Hasyr ayat 7, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Khatimah
Rasullullah telah mencontohkan bahwa dahulu, di masa Rasulullah saw. beliau adalah seorang qadhi (hakim) tertinggi di tengah-tengah kaum muslim. Beliau akan memutuskan setiap perselisihan di antara warga negara di Madinah. Beliau akan meminta dan mengizinkan sebagian para sahabat untuk menangani bidang peradilan, bahkan beliau juga terkadang mengangkat dan menyetujui sebagian yang lainnya untuk menduduki posisi qadhi di beberapa negeri.
Rasulullah saw. pernah mengangkat Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai qadhi ke negeri Yaman. Demikian pula di masa para Khalifah Rasyidah setelah beliau wafat, para Khalifah senantiasa memiliki wewenang menjadi hakim sekaligus menunjuk dan menyetujui para qadhi untuk memberikan keputusan atas setiap perkara yang diperselisihkan di tengah-tengah masyarakat.
Mereka senantiasa bertumpu pada keputusan hukum yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijtihad para qadhi.
Wallahualam bissawab. []
Hakim pun menuntut keadilan. Inilah bukti bahwa sistem demokrasi tidak menjamin kesejahteraan.
Hakim juga berhak mendapat keadilan dan kesejahteraan. Kalau dalam sistem yg sekarang sih ya susah
Baik hakim, pejabat lain, maupun masyarakat umum, semua butuh diberi kesejahteraan. Ini bagian dari tugas penguasa mengurus rakyat
Hakim juga manusia, bisa menuntut keadilan pada penguasa. Terus rakyat menuntut keadilan ke siapa? Bingung Wis
Jika para hakim yang memiliki gaji aja tidak sejahtera, bagaimana dengan rakyat yang tidak memiliki gaji dan tunjangan dari negara?
Barakallahu fiik buat penulisnya
Barakallahu fiik
Saat ini tugas hakim numpuk karena kasus bejibun. Di sisi lain gaji rendah dan tambah parah dengan beban hidup yang kian berat. Umar bin Khattab pernah mimta berhenti jadi hakim pada Abu Bakr karena tidak ada kasus yang dilaporkan. Demikianlah jika sistem Islam diterapkan, tugas hakim tidak seberat saat ini dengan kesejahteraan yang dijamin negara.
Kebayang jika hakim tidak disejahterakan. Apalagi mereka duduk di "kursi basah". Akhirnya hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.