Praktik politik dinasti dan adanya koalisi besar di DPR tentu membuat rakyat patut khawatir terhadap proses legislasi yang akan dijalankan.
Oleh. Neni Nurlaelasari
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Proses pemilu untuk memilih para wakil rakyat telah usai. Sebanyak 580 anggota DPR RI telah dilantik untuk periode 2024-2029. Harapan rakyat agar para anggota dewan mampu menyampaikan aspirasi mereka sangat besar. Namun, adanya koalisi besar di DPR patut membuat rakyat khawatir terhadap proses legislasi di DPR.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan, potensi arogansi dalam mengambil keputusan bisa meningkat seiring dominasi partai-partai besar yang menguasai kursi DPR. Selain itu, proses legislasi pun dikhawatirkan akan dipandang sebagai alat politik ketimbang mencari solusi dari permasalahan rakyat (Kompas.com, 06-10-2024).
Sementara itu, riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat 79 anggota DPR RI terindikasi dinasti politik atau mempunyai kekerabatan dengan pejabat publik (Tirto.id, 02-10-2024). Melihat fenomena yang terjadi di DPR, akankah proses legislasi benar-benar sepenuhnya untuk kepentingan rakyat?
Rakyat Sebatas Pemanis dalam Demokrasi
Adanya koalisi besar di DPR tentu membuat rakyat patut khawatir terhadap proses legislasi yang akan dijalankan. Pasalnya, berbagai undang-undang yang diputuskan oleh DPR akan sangat berdampak pada kehidupan rakyat.
Beberapa alasan yang patut menjadi kekhawatiran terhadap proses legislasi DPR di antaranya:
Pertama, cara pandang individu terhadap sebuah jabatan. Dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sedikit sekali individu yang berpandangan bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Selain itu, godaan limpahan materi yang didapatkan anggota dewan sangat menggiurkan. Selain mendapatkan gaji pokok, berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015, anggota DPR mendapatkan berbagai tunjangan, yaitu tunjangan istri, anak, beras, uang sidang, fasilitas kredit, dan tunjangan anggaran rumah jabatan. Gaji dan tunjangan di atas belum termasuk uang perjalanan dinas (Detik.com, 01-10-2024). Limpahan materi akhirnya membuat individu dari berbagai kalangan berlomba untuk mendapatkan jabatan ini.
Kedua, mahalnya biaya politik. Dalam sistem demokrasi, makin tinggi jabatan yang hendak dicapai, makin mahal pula biaya politik yang harus dikeluarkan. Mahalnya biaya politik para caleg memberikan peluang bagi para pengusaha atau oligarki untuk mendukung mereka melalui gelontoran dana. Dukungan dana ini tentu tidak cuma-cuma. Imbalan balas jasa pasti diharapkan para oligarki setelah membiayai ongkos politik para caleg. Kebijakan dan undang-undang pro oligarki inilah bentuk balas jasa atas dukungan mereka kepada para caleg.
Ketiga, partai politik dalam sistem demokrasi dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan demikian, fenomena koalisi antarpartai politik dalam sistem demokrasi bukanlah hal aneh. Pada dasarnya partai politik yang ada memiliki kepentingan yang sama, yakni menikmati kue kekuasaan. Hal Ini bisa terlihat dari cairnya hubungan di antara partai politik. Dalam politik demokrasi tidak ada istilah kawan sejati atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan partai semata.
Dengan demikian, munculnya kekhawatiran terhadap proses legislasi DPR merupakan hal yang wajar. Selain itu, fenomena dinasti politik dan dominasi koalisi besar berbagai partai makin menambah kekhawatiran terhadap legislasi tersebut. Ketiadaan oposisi hari ini menunjukkan bahwa semua berada dalam satu barisan yang sama. Jika kondisinya demikian, lantas siapakah yang akan membela aspirasi rakyat?
Inilah sesungguhnya wajah asli sistem demokrasi. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah pemanis. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat proses pemilu, tetapi setelah berkuasa, kebijakan yang diambil tidak mewakili aspirasi rakyat. Sebagai contoh lahirnya UU Migas, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan sebagainya. Berbagai UU tersebut nyatanya hanya menguntungkan para oligarki dan justru merugikan rakyat.
Baca juga: Anomali Fungsi Legislasi
Proses legislasi dalam sistem demokrasi yang bisa ditunggangi kepentingan, sejatinya berakar dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme sebagai sistem yang menjadikan materi sebagai tujuan utama, membuat siapa pun menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan materi. Dalam kapitalisme, para oligarki berteman mesra dengan para anggota dewan agar bisnis mereka berjalan mulus. Sementara itu, melalui gelontoran dana dari oligarki inilah para anggota dewan bisa lolos mendapatkan kursi jabatan.
Sementara itu, sissem demokrasi yang lahir dari paham sekularisme membuat manusia merasa bebas untuk membuat legislal sendiri. Sedangkan sifat lemah dan terbatas yang melekat pada diri manusia menjadikan ia memiliki kecenderungan tertentu sehingga keputusan yang diambil berpotensi besar untuk salah dan hanya menuruti kepentingan pribadi.
Majelis Umat dalam Sistem Islam
Islam mengatur kehidupan manusia dalam segala aspek, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam sistem Islam, Majelis Umat merupakan wadah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Majelis Umat terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat untuk meminta mengoreksi dan memberi masukan pada penguasa dalam penerapan Islam. Setiap orang berhak menjadi anggota Majelis Umat. Syarat menjadi anggota Majelis Umat yaitu berakal, balig, dan merdeka. Rasulullah saw. telah mencontohkan dengan meminta kaum muslim memilih 14 orang pemimpin dari kalangan Ansar dan Muhajirin sebagai tempat meminta masukan dalam berbagai persoalan.
Sementara itu, fungsi Majelis Umat dalam sistem Islam adalah menjadi rujukan khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan, serta mewakili umat dalam memberikan muhasabah lil hukam, yakni mengontrol dan mengoreksi penguasa serta para pejabat pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, syariat Islam tetap menjadi rujukan dalam proses muhasabah lil hukam. Majelis Umat dalam sistem Islam tidak membuat aturan sebagaimana DPR dalam sistem demokrasi kapitalisme. Namun, Majelis Umat menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya landasan dalam melaksanakan fungsinya. Dengan demikian, dalam Majelis Umat tidak akan dijumpai proses legislasi untuk kepentingan oligarki atau partai tertentu. Ini karena dalam sistem Islam, hukum Islam adalah landasan utama dalam kehidupan manusia.
Ini sebagaimana firman Allah Swt.,
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki?(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Maidah: 50).
Di sisi lain, negara dalam sistem Islam berperan menjaga ketakwaan individu. Alhasil, individu memiliki pemahaman bahwa jabatan adalah amanah yang besar pertanggungjawabannya. Dengan demikian, individu tidak akan berlomba untuk mendapatkan jabatan tertentu. Melalui pengaturan yang sempurna dalam Islam, maka kekhawatiran rakyat bahwa aspirasinya tidak terpenuhi bisa dicegah. Dengan demikian, sudah saatnya kita menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) dan meninggalkan sistem demokrasi kapitalisme agar aspirasi rakyat tetap dalam koridor syarak. Wallahua'lam bishawab. []
Sdhlah legislasi diharamkan, eh malah buat kepentingan segelintir orang. Apa ga dosanya bertumpuk2 tuh
Itulah fakta bobroknya kapitalisme