Protes yang dilakukan para hakim untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan menimbulkan ironi di mata masyarakat luas.
Oleh. Vega Rahmatika Fahra, S.H.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pada 7-11 Oktober, Indonesia menghadapi sebuah situasi unik yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradilan nasional. Ribuan hakim dari seluruh penjuru negeri mengambil cuti bersama secara serentak. Aksi ini bukan tanpa sebab, melainkan bentuk protes yang terstruktur dan dipertimbangkan matang-matang untuk menuntut kenaikan gaji serta tunjangan yang dinilai sudah tidak memadai dibandingkan dengan beban kerja serta tanggung jawab besar yang mereka emban. Gaji dan tunjangan hakim tidak pernah mengalami perubahan sejak 12 tahun terakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. (nasional.tempo.co, 05-10-2024)
Para hakim di Indonesia telah lama merasa bahwa remunerasi yang mereka terima tidak sebanding dengan tanggung jawab yang mereka pikul dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara ini. Menjadi hakim bukanlah pekerjaan biasa karena setiap keputusan yang mereka buat dapat memengaruhi hidup banyak orang dan menentukan nasib hukum suatu kasus. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, gaji dan tunjangan yang diterima oleh para hakim tidak mengalami kenaikan yang signifikan, sedangkan beban kerja makin berat dengan makin banyaknya perkara yang harus diselesaikan.
Dalam struktur birokrasi pemerintahan, hakim di Indonesia masuk ke dalam kategori pegawai negeri sipil (PNS) dengan pangkat yang berbeda-beda sesuai dengan jenjang kariernya. Meskipun mereka menduduki posisi penting dan strategis dalam sistem hukum, realitas menunjukkan bahwa mereka tidak menikmati kesejahteraan finansial yang memadai. Sebuah survei internal di kalangan hakim mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka merasa tunjangan dan gaji yang diterima tidak mencerminkan tanggung jawab moral dan profesional yang mereka emban.
Selain itu, kenaikan biaya hidup yang terus meningkat membuat para hakim merasa makin terdesak. Dalam beberapa kasus, terdapat laporan bahwa ada hakim yang terpaksa mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran tersendiri mengingat hakim adalah pilar keadilan yang diharapkan memiliki integritas dan independensi tinggi. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, menjaga integritas tentu makin berat tanpa adanya dukungan finansial yang memadai dari negara.
Dampak Cuti Bersama Hakim
Aksi cuti bersama yang dilakukan oleh ribuan hakim ini tentu akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pelayanan masyarakat, khususnya dalam sistem peradilan. Selama periode cuti bersama tersebut, ribuan sidang di seluruh Indonesia tertunda sehingga proses penyelesaian perkara menjadi terhambat. Bagi masyarakat yang tengah mencari keadilan melalui jalur pengadilan, keterlambatan ini bisa menjadi sebuah ironi yang menyakitkan.
Bayangkan para terdakwa yang menunggu kepastian hukum dalam sebuah kasus pidana, tetapi ternyata sidangnya ditunda. Keterlambatan dalam proses peradilan bisa berarti perpanjangan masa tahanan bagi mereka yang belum diputuskan bersalah atau tidak. Begitu pula bagi masyarakat yang sedang menunggu putusan dalam perkara perdata, seperti sengketa tanah atau perceraian, keterlambatan putusan bisa berdampak pada nasib dan kondisi ekonomi mereka.
Selain itu, bagi pengacara dan jaksa, aksi cuti ini juga akan menimbulkan gangguan signifikan dalam penjadwalan sidang dan persiapan kasus. Persidangan yang telah dijadwalkan harus diulang atau diatur ulang setelah periode cuti selesai. Hal ini jelas akan menambah beban kerja pada hari-hari berikutnya. Hakim harus mengejar ketertinggalan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang tertunda.
Dalam jangka panjang, penundaan ini dapat memperparah tumpukan perkara di pengadilan yang sudah menjadi masalah serius di banyak wilayah di Indonesia. Pengadilan yang sudah kesulitan menangani ribuan kasus setiap tahunnya kini harus menambah waktu kerja ekstra untuk mengejar ketertinggalan.
Cuti Hakim di Tengah Impitan Ekonomi
Protes yang dilakukan para hakim untuk menuntut kenaikan gaji dan tunjangan menimbulkan ironi di mata masyarakat luas. Pada saat para hakim memperjuangkan hak-hak mereka, masyarakat Indonesia tengah berada di bawah tekanan ekonomi yang makin berat. Inflasi yang meningkat, harga kebutuhan pokok yang terus melambung, serta peluang kerja yang makin sulit membuat banyak warga Indonesia harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Masyarakat melihat aksi ini sebagai sesuatu yang kontras dengan kondisi yang mereka alami. Di satu sisi, hakim—yang secara status sosial dan profesi dianggap berada di posisi terhormat—tengah memperjuangkan kenaikan tunjangan, sedangkan di sisi lain, banyak masyarakat masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup di tengah sempitnya ekonomi. Bahkan bagi sebagian orang, tuntutan kenaikan gaji bagi hakim bisa dipandang sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi yang dialami banyak warga.
Baca juga: Ketika Hakim Ikut Korupsi
Di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa para hakim adalah bagian dari aparatur negara yang juga memiliki kebutuhan hidup. Kenaikan biaya hidup tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh para hakim. Oleh karena itu, tuntutan para hakim ini tidak boleh dipandang sebagai aksi egois, melainkan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan dalam struktur birokrasi dan remunerasi negara.
Posisi Hakim dalam Negara Islam
Dalam perspektif negara Islam, seorang hakim (qadhi) menempati posisi yang sangat penting. Hakim tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan dalam kasus-kasus hukum, tetapi juga sebagai pemegang amanah keadilan yang diberikan oleh Allah Swt. Dalam Islam, prinsip keadilan adalah salah satu nilai yang paling fundamental dan seorang hakim memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkannya.
Dalil-dalil dalam Al-Qur'an dan hadis mengajarkan bahwa hakim harus memutuskan dengan jujur, adil, dan tidak memihak. Ini seperti dalam surah An-Nisa' ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
Ayat ini menekankan bahwa tugas seorang hakim adalah untuk menegakkan keadilan berdasarkan amanah yang diberikan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam konteks ini, seorang hakim harus bekerja tanpa pamrih dan tetap menjaga integritas serta keadilan, terlepas dari tantangan finansial yang mereka hadapi.
Dalam sejarah Islam, para hakim (qadhi) mendapatkan gaji dari baitulmal dengan jumlah yang memadai untuk memastikan mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa tergoda oleh godaan materi. Sejarah juga mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan para hakim agar mereka bisa bekerja dengan adil dan bebas dari tekanan ekonomi.
Khatimah
Tuntutan para hakim di Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Namun, harus diingat bahwa tuntutan kenaikan gaji itu harus seiring dengan peningkatan kinerja mereka dalam menjalankan tugas. Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka yang menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat juga mendapatkan hak yang layak agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tanpa beban tambahan. Itu semua hanya bisa didapatkan dalam sistem Khilafah Islamiah. Wallahu'alam bishawab. []
Bagaimana tidak protes, kalau di negeri sendiri ada yang gajinya naik, fasilitasnya dan tunjangannya mewah tapi hasil kerjaannya malah menyengsarakan rakyat.
Di alam kapitalisme semua masalah diselesaikan dengan masalah2. Hadeeh
Keadilan dan kesejahteraan itu untuk setiap orang tanpa pandang bulu, apa pun profesinya. Namun, hal itu sulit terwujud dalam sistem kapitalisme saat ini yg lebih berpihak pada para kapitalis atau yg berduit. Hakim juga butuh agar hidupnya terjamin sebagaimana rakyat pada umumnya.
Sistem sekularisme menumbuhsuburkan orang-orang yang materialis. Karena tidak ada jaminan kehidupan yang pasti. Model negara sekular cari solusi..Ujung-ujungnya mencari pinjaman luar negeri atau naikin pajak lagi dan rakyat menjadi korban lagi
Dulu gaji pegawai di Kemrnkeu termasuk pegawai pajak dinaikkan dengan alasan bisa mengurangi korupsi di tubuh badan tsb. Nyatanya, tetap saja alias korupsi tetap terjadi. Demikian juga masalah hukum, justru makin ramah pada koruptor. Di tengah ekonomi kian sulit, kinerja yang belum terbukti, menuntut kenaikan gaji kayaknya tidak pas.