Rakyat butuh kepemimpinan yang dapat melindungi lahan dan ruang hidup mereka. Juga melindungi dari ancaman bahaya akibat kerusakan hutan.
Oleh. Siska Juliana
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Zamrud khatulistiwa, itulah julukan bagi negara Indonesia. Tak hanya itu, julukan paru-paru dunia juga tersemat bagi tanah air. Hal ini menggambarkan betapa luasnya hutan Indonesia.
Hutan yang luas ini tidak hanya bermanfaat bagi negara kita saja, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat di dunia. Sebab pohon merupakan sumber kehidupan, baik untuk manusia maupun hewan.
Mungkin julukan tersebut tidak berlaku lagi saat ini. Banyak hutan di Indonesia yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan, perumahan, lahan industri, dan sebagainya. Demi bisnis para kapitalis, rakyat dan hutan kini merana. Seperti yang terjadi di Merauke.
Proyek Swasembada Tebu Merusak Hutan?
Proyek pembangunan swasembada tebu seluas 2,29 juta hektare di Merauke, Papua Selatan telah dimulai. Ini merupakan realisasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023. Dalam menjalankan proyek tersebut, Presiden Jokowi menunjuk Bahlil Lahadalia sebagai ketua satgas untuk mengawasi pembangunan kebun tebu dan pabrik bioetanol seluas 1,11 juta hektare. (tempo.co, 24-09-2024)
Dampak yang ditimbulkan dari proyek swasembada tebu di Merauke ini sangat luar biasa. Sebanyak ratusan ribu hektare hutan di Papua Selatan dibabat habis dan rata dengan tanah. Bahkan program food estate ini membentang di 19 distrik dari 22 distrik di Merauke.
Sebenarnya kabar tentang megaproyek food estate sawah dan tebu di Merauke ini telah berembus sejak Juni 2024. Kala itu, Sany Heavy Industry Co Ltd, produsen alat berat asal Cina mengungkapkan mengenai pembelian 2 ribu unit excavator oleh PT Jhonlin Group. Perusahaan tersebut milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Alat berat itu akan dipakai untuk membuka lahan pertanian seluas 1,18 juta hektare.
Bencana Akibat Kerusakan Hutan
Hilangnya jutaan hektare hutan tentu saja menimbulkan dampak bagi lingkungan. Menurut catatan Walhi, dalam delapan tahun terakhir (2015—2021) kejadian bencana terus meningkat. Pemicunya didominasi oleh bencana hidrometeorologi.
Penyebab bencana hidrometeorologi adalah hilangnya fungsi ekologi hutan akibat deforestasi. Maraknya deforestasi akibat banyaknya hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan konsesi tambang. Di Indonesia, terdapat sekitar 33 juta hektare hutan telah dibebani izin di sektor kehutanan.
Bencana yang mengakibatkan penderitaan bagi jutaan orang adalah bentuk telah terampasnya ruang hidup masyarakat, terutama perempuan dan anak. Para perempuan adat kehidupannya telah bergantung pada hutan. Mereka akan kesulitan mencari ranting dan dahan kering sebagai bahan bakar untuk memasak. Jika kehilangan ini, mereka akan mengeluarkan biaya tambahan untuk minyak atau gas.
Selain itu, kerusakan dan hilangnya hutan dapat mengurangi persediaan cadangan air tanah. Air yang tadinya disediakan melimpah dan gratis oleh alam, menjadi komoditas yang harus dibeli untuk mengaksesnya. Jika tidak dipenuhi, mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup seperti minum, memasak, mencuci, mandi, memelihara ternak, mengairi sawah, dan sebagainya.
Kapitalisme Penyebab Terampasnya Ruang Hidup Rakyat
Konflik sumber daya alam ini terjadi karena izin negara yang pro bisnis. Konflik agraria ini telah merampas ruang hidup masyarakat Papua. Hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalis demokrasi di Indonesia. Sistem ini telah melahirkan oligarki yang mencengkeram bisnis ekstraktif (pertambangan dan perkebunan) di Indonesia, terutama di Papua.
Para pemilik modal telah menjalin hubungan dengan penguasa. Seluruh kebijakan penguasa memuluskan jalan mereka. Tidak mengherankan, demi bisnis para kapitalis, apa pun dimudahkan meskipun harus mengorbankan kehidupan masyarakat.
Baca:deforestasi-mengancam-indonesia/
Dalam sistem kapitalisme, penguasa senantiasa mengabaikan rakyat dan berpihak pada pengusaha. Ini merupakan gambaran nyata kezaliman penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Inilah watak penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme.
Politik oligarki telah menjadi permasalahan sistemis yang memunculkan berbagai persoalan perampasan lahan. Oleh karena itu, tidak mampu diselesaikan dengan cara pragmatis, harus perubahan mendasar mulai dari cara bernegara. Alhasil, penguasa tidak mengabdi pada segelintir kapitalis.
Butuh Pemimpin yang Melindungi Rakyat dan Hutan
Rakyat butuh kepemimpinan yang dapat melindungi lahan dan ruang hidup mereka. Juga melindungi dari ancaman bahaya akibat kerusakan hutan. Islam memiliki konsep bernegara dengan kepemimpinan yang berfungsi sebagai pelindung. Dalam sistem demokrasi, penguasa hanya berfungsi sebagai regulator. Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha merupakan suatu keniscayaan.
Fakta kepemimpinan dalam demokrasi sangat berbeda dengan Islam. Islam memaknai kekuasaan sebagai wasilah untuk menjalankan syariat sesuai Al-Qur’an dan sunah. Syariat Islam telah mewajibkan pemimpin menjadi pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.
Menjadi pelindung (junnah) meniscayakan seorang imam harus kuat, berani, dan terdepan. Kekuatan ini tidak hanya lahir dari individunya saja, akan tetapi juga pada negara. Individu dan negara mempunyai landasan hidup yang sama, yaitu akidah Islam.
Islam Memosisikan Pemimpin sebagai Junnah
Sebagai pelindung, kepemimpinan Islam senantiasa memiliki kebijakan untuk mengurus rakyatnya. Untuk melindungi rakyat dari potensi bencana, khalifah wajib berpegang teguh pada ketentuan syariat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dijelaskan bahwa tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.
Kerusakan alam yang terjadi mengharuskan adanya kebijakan yang berkaitan dengan konservasi (penjagaan hutan). Hutan memiliki fungsi menyerap air, mengeluarkan oksigen dalam jumlah besar, dan menahan tanah. Dengan demikian, negara harus memiliki program konservasi alam, khususnya hutan.
Dalam beberapa ayat di Al-Qur’an dan hadis mengajarkan bahwa penting untuk merawat alam yang telah diberikan Allah. Sebab akan ada ganjaran yang menimpa manusia jika abai dalam melestarikan alam.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 41: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Dalam melestarikan lingkungan, Islam sudah mengenal konservasi yang disebut hima. Hima merupakan padang rumput yang tidak boleh dirusak, tidak dijadikan tempat menggembala ternak, dan dilarang berburu binatang. Hal itu bertujuan untuk menjaga ekosistem. Hima hanya digunakan untuk kepentingan umum, bukan individu. Pada masa Rasulullah saw., beberapa tempat di dekat Madinah dijadikan sebagai hima.
Khatimah
Dengan demikian, hutan luas yang ada di Indonesia harus senantiasa dijaga dengan aturan konservasi. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaannya kepada individu tertentu dengan alasan apa pun.
Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek, tidak ada penguasa yang menjalankan kebijakannya demi kapitalis. Di bawah naungan Islam, ruang hidup masyarakat terlindungi dan membawa kesejahteraan serta keberkahan.
Wallahualam bissawab.
Kapitalisme memang jahat dan serakah. SDA yg melimpah dikuasai sendiri, sementara rakyat dapat kerusakan lingkungannya.Sekaya apa pun tanah Papua, kalau dalam sistem ini pasti rakyatnya tetap susah dan miskin. Kapitalisme tak bisa mewujudkan kesejahteraan.
Tragisnya nasib rakyat Papua, hidup sengsara padahal memiliki SDA yang melimpah. Hanya Islam yang mampu menyejahterakan seluruh rakyat, tanpa perbedaan suku,dan bangsa.
Lagi-lagi dengan alasan untuk mewujudkan swasembada pangan, hutan yang menjadi paru-paru dunia menjadi korbannya.
Barakallah untuk penulis.
Bertahan dalam sistem kapitalis sama dengan mewariskan tentang flora fauna hanya menjadi sebuah cerita. Kerakusan kapitalis tidak bisa kenyang meski sudah mengeruk gunung.
Papua wilayahnya kaya tapi rakyatnya menderita. Sudah kayak sapi perah saja.
Hanya penerapan sistem Islam yang bisa mewujudkan kemakmuran
Berbicara tentang penderitaan saudara kita Papua seakan tiada habisnya. Sumber kekayaan alamnya habis habisan dikeruk, sementara rakyatnya banyak yang sengsara.
Miris tidak adanya junnah yang melindungi rakyat. Rakyat terus tergerus dan terzalimi