Proyek swasembada gula yang digarap pemerintah justru menjadi ajang kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha.
Oleh. Arum Indah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Swasembada gula membuat peran oligarki makin menggila. Bagaimana tidak, proyek lumbung pangan nasional yang tengah digarap oleh pemerintahan Jokowi di Merauke, Papua Selatan itu justru melibatkan belasan korporasi. Oligarki pun saling berkongsi untuk merealisasikan ambisi Jokowi, yakni mewujudkan swasembada gula dalam satu tahun ke depan.
Oligarki juga makin menggila, saat proyek swasembada yang menyulap lahan seluas 2,29 juta hektare menjadi areal persawahan seluas 1,18 juta hektare yang digawangi oleh Prabowo dan perkebunan tebu serta industri bioetanol seluas 1,11 juta hektare yang digawangi oleh Jokowi itu bergandengan erat dengan kapitalis oligarki Haji Isam dan raja sawit Martias Fangiono. Prabowo dan Jokowi tampaknya saling adu pamor dalam pembangunan proyek lumbung pangan nasional di Papua itu. Sayangnya, baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama menjadikan para kapitalis oligarki sebagai rekan untuk mengeksekusi proyek. Tak pelak lagi, wacana swasembada yang didengungkan justru sarat dengan kepentingan oligarki.
Keterlibatan para oligarki dalam proyek swasembada ini sudah berembus sejak bulan Juni silam, yakni saat korporasi tambang PT Jhonlin Group milik Haji Isam terlibat pembukaan lahan dengan membeli ekskavator sebanyak 2.000 unit. Begitu juga kehadiran Martias saat penanaman tebu perdana di area perkebunan.
Berbagai PT dalam Proyek Tebu
Pada tahap pertama, penggarapan kebun tebu dan industri bioetanol di Kluster 3 dengan luas lahan 637.420 hektare telah dibagi-bagi kepada 10 perusahaan pemegang konsesi dan terdiri menjadi empat konsorsium. Kelompok pertama yang mendapat izin untuk mengelola kebun tebu, pabrik gula, dan industri bioetanol adalah PT Global Papua Abadi memperoleh lahan seluas 30.777 hektare, PT Semesta Gula Nusantara dengan 66.056 hektare, PT Andalan Manis Nusantara seluas 60.786 hektare, dan PT Dutamas Resources Internasional dengan 60.879 hektare.
Kelompok kedua yang akan mengelola kebun tebu dan pabrik gula, yaitu PT Global Papua Makmur dengan lahan seluas 60.364 hektare dan PT Murni Nusantara Mandiri seluas 52.395 hektare.
Selanjutnya, kelompok ketiga yang mendapat izin untuk mengelola kebun tebu saja adalah PT Berkat Tebu Sejahtera dengan lahan seluas 60.342 hektare, PT Agrindo Gula Nusantara seluas 60.679 hektare, PT Sejahtera Gula Nusantara seluas 60.606 hektare, dan PT Borneo Putra Persada dengan 50.772 hektare. (tempo.co, 24-9-2024)
Proyek Swasembada Merusak Hutan
Berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia, proyek swasembada ini telah mengakibatkan deforestasi mencapai 1.400 hektare. Adapun status kawasan sebelum disulap menjadi proyek swasembada gula mencakup hutan lindung seluas 111.241 hektare, suaka alam dan wisata darat seluas 8,61 hektare, hutan produksi 200.967 hektare, hutan produksi konversi 322.734 hektare, area lain-lain 330 hektare, dan tubuh air 2.137 hektare.
Greenpeace juga merilis data yang memuat info mengenai banyaknya vegetasi alami yang juga dirusak untuk proyek swasembada ini. Vegetasi alami itu terdiri dari: hutan pamah, hutan air tawar, hutan tepi sungai payau, mangrove monsun, gambut, padang rumput rawa, sabana, dan terna sabana.
Efek Buruk Perusakan Hutan
Warga Dusun Semayu yang merupakan salah satu dusun di dekat areal pembangunan proyek swasembada ini diberikan uang “terima kasih” atas izin pembukaan lahan dan tanah distrik yang diokupasi demi terealisasinya proyek. Uang sebesar Rp3,8 miliar pun dibagi kepada warga. Bergepok-gepok uang itu diberikan kepada warga saat hutan Papua tengah dibabat habis. Kondisi serupa juga terjadi di beberapa dusun lain, seperti Distrik Tanah Miring, Jagebob, dan lainnya.
Akan tetapi, alih-alih ketahanan pangan dan pengembangan bioetanol akan terwujud, proyek ini justru akan merusak ruang hidup yang multisektor, merusak tatanan ekonomi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup pada hasil hutan, risiko bencana banjir, risiko kekeringan, rusaknya daya dukung air, melanggengkan deforestasi, menjadi penyumbang emisi, hilangnya habitat flora dan fauna endemik, hingga memicu potensi terjadinya konflik adat.
Swasembada: Ajang Kongkalikong Penguasa dan Pengusaha
Proyek swasembada gula yang digarap pemerintah justru menjadi ajang kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha serta menguatkan dominasi korporasi terhadap kawasan hutan lindung di Indonesia. Mungkin pemerintah lupa atau memang tak peduli dengan sejarah food estate di negeri ini yang terus menuai kontroversi. Misalnya program food estate yang terjadi di Humbang Hasundutan, Sumatra Utara yang melibatkan tujuh korporasi besar, tetapi berujung pada konflik adat. Juga proyek food estate Ketapang, Bulungan, proyek rice estate di Merauke, dan real estate Gunung Mas yang berujung pada kegagalan.
Penguasa dan pengusaha seolah-olah menutup mata dan telinga dari fakta yang ada. Mereka justru saling bekerja sama untuk merusak lingkungan dan mengabaikan dampak kerusakannya. Mereka hanya berpikir pada rencana untuk mendapatkan keuntungan, tetapi abai terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.
Kapitalisme Biang Masalah
Hilangnya ruang hidup yang terjadi akibat pembalakan hutan ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Proyek swasembada gula ini merupakan rangkaian panjang dari program food estate di Indonesia. Pemerintah berambisi untuk menggalakkan program food estate guna menjawab tantangan krisis pangan global. Sayangnya, ambisi pemerintah ini justru sarat dengan kepentingan para kapitalis.
Sistem kapitalisme memang melegalkan individu atau swasta untuk menguasai sumber daya alam termasuk hutan. Sistem ini menganut asas kebebasan kepemilikan, yang membuka lebar kesempatan bagi individu, swasta, ataupun asing untuk bisa memiliki segala hal yang mereka inginkan.
Selain itu, keterlibatan swasta dalam sistem kapitalisme adalah sebuah keharusan yang akan mempercepat laju ekonomi, membuka keran investasi, dan menyerap tenaga kerja. Ujung-ujungnya, pihak yang diuntungkan dari ini semua adalah “kaum berduit”. Rakyat biasa tidak akan bisa memiliki kemampuan finansial untuk terjun menggarap kekayaan alam ataupun melakukan investasi.
Islam Tak Berpihak pada Oligarki
Tak akan ada ruang bagi oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam Islam. Islam menetapkan tiga status kepemilikan yang tidak ditemukan di ideologi lain, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Status ini sekaligus untuk memberi batasan pengelolaan harta agar harta tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 7:
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
Artinya: “...agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...”
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Islam memiliki mekanisme agar kekayaan bisa terdistribusi secara merata di tengah-tengah umat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan segala sesuatu yang zatnya tidak bisa dimiliki secara individu dan mengandung hajat hidup orang banyak adalah kepemilikan umum. Jadi, hutan dalam Islam adalah milik umat dan haram diprivatisasi oleh individu atau swasta.
Mekanisme Islam Menjaga Ruang Hidup
Pembatasan status kepemilikan dalam Islam adalah langkah kongkret untuk menjaga ruang hidup umat. Tidak akan ada pembabatan hutan besar-besaran hanya demi kepentingan ekonomi. Rakyat boleh menikmati dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Khilafah wajib menjaga hutan sebagai harta milik umat dan bagian dari keberlangsungan hidup manusia. Khilafah juga tidak akan pernah menjadi pelaku perusakan hutan, apalagi bekerja sama dengan individu, swasta, atau asing untuk mengeksplorasi hutan.
Adapun terkait kebijakan swasembada pangan, maka perlu dirunut dengan jelas, apa yang sebenarnya menjadi kendala hingga negeri agraris tidak mampu mencukupi kebutuhan negerinya. Jika ditelusuri lagi, faktanya banyak terjadi alih fungsi lahan di dalam sistem kapitalisme. Jadi, langkah yang seharusnya dilakukan adalah mengembalikan fungsi lahan sebagaimana mestinya, bukan dengan menambah lahan dengan membabat hutan.
Dengan berbagai ketetapan yang telah dijelaskan di atas, Khilafah akan mencegah terjadinya deforestasi dalam jangka panjang. Kehidupan umat akan terjaga dan lestari karena tidak terancam dengan kerusakan alam. Ruang hidup pun otomatis akan terpelihara.
Khatimah
Swasembada gula yang dicanangkan pemerintah hanya membuat oligarki makin menggila. Kondisi ini terjadi karena negara ini menganut sistem kapitalisme yang hanya berpihak pada kapitalis oligarki.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menjadikan hutan sebagai kepemilikan umum dan tidak boleh dimiliki pihak swasta. Rakyat boleh memanfaatkan hutan dan Khilafah pun akan mengelola hasil hutan untuk dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian, tidak akan ada cengkeraman oligarki dalam sistem Islam dan setiap warga Khilafah akan bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di negaranya.
Wallahu’alam bissawab []
Mesti wis. Gumush lihat pemerintah sekarang. Ga koment gatel, di koment katanya kok julid terus-menerus. Lhah emang pantes dijulidin. Wkwkwk...
Oligarki berkuasa, rakyat sengsara..
Sistem yang diterapkan sekarang (kapitalisme) hanya menguntungkan pemodal dan menindas rakyat
Pemerintah seharusnya cermat dan teliti sebelum mengambil langkah. Tidakkah kejadian-kejadian sebelumnya dapat dijadikan pelajaran?
Barakallah untuk penulis
Sistem kapitalisme membuat kaya para oligarki
Diterapkannya sistem kepemilikan dalam Islam menjauhkan negara dari cengkeraman oligarki.
I ndonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat deforestasi yang tinggi. Tak heran, makin hari iklim makin ekstrim. Pemimpin dalam sistem kapitalis sangat egois. Tidak punya empati dan visi kedepan. Dengan mudah mengatakan proyek food estate pindah ke Papua dan membabat 2.2 juta hektare karena proyek sebelumnya gagal karena tanah di Kalimantan tidak cocok. Membabat jutaan hektare tanpa kajian mendalam. Ya Allah... Tulisan mba Arum membuktikan proyek ini bukan untuk swasembada pangan, tetapi bagi-bagi jatah buat para kapital.