Middle Class Turun Kelas

Middle Class Turun kelas

Sekelumit masalah yang dihadapi middle class di tanah air kian kompleks. Sebut saja, inflasi tahunan, harga bahan pokok menjulang, pun biaya makan dan minum naik 26%.

Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Terimpit, menangis, dan siap meledak. Ibarat bom waktu, masyarakat kelas menengah terancam dari segala arah. Ya, sekelumit masalah yang dihadapi middle class di tanah air kian kompleks. Sebut saja, inflasi tahunan, harga bahan pokok menjulang, pun biaya makan dan minum naik 26%. Bahkan, tak sampai di situ saja, prediksi Bloomberg, di tahun 2025 mendatang nasib kelas menengah akan makin tertekan. Bagaimana tidak, secara konstan cost of living alias biaya hidup merangkak naik setiap tahunnya. Mereka dihadapkan kenaikan tarif PPN, listrik, biaya pendidikan, suku bunga, pajak baru, pembatasan BBM bersubsidi, termasuk potongan-potongan seperti Tapera. Celakanya, proper income tidak mengiringi.

Lantas siapakah masyarakat kelas menengah ini? Ya, mereka adalah kelompok yang didominasi oleh generasi muda, dengan latar belakang pendidikan tinggi, mayoritas bekerja di sektor formal dengan pengeluaran dari 2 juta hingga 9,9 juta rupiah per bulan. Golongan ini dikenal memiliki karakter konsumtif alias fast and big spender. Tak heran, eksistensinya sebagai tulang punggung ekonomi nasional, dijadikan bantalan untuk memperkokoh perekonomian dari sisi permintaan, yang biasa disebut konsumsi rumah tangga. Ironinya, kategori level ini amat tidak diuntungkan. Pasalnya, mereka tak berhak mendapat bansos dan menikmati pertumbuhan ekonomi layaknya level di atasnya. (CNNIndonesia.com, 31-8-2024)

Kini, populasinya pun kian menurun. Menurut data terakhir yang dirilis BPS, tercatat ada sekitar 9,48 juta orang yang tereliminasi dari kategori kelas menengah, turun kasta ke level yang lebih rendah. Para ekonom pun bersuara, bahwa hal ini menjadi sinyal bahaya bagi perekonomian Indonesia. Lalu, apa pemicunya? Apakah terlalu konsumtif, efek Covid-19, atau kebijakan pemerintah yang makin mengikis pendapatan mereka?

Kompleksitas Pemicu

Dulu, kelompok middle class (kelas menengah) ini memiliki pride yang tinggi. Predikat orang kaya baru alias OKB pun melekat. Pasalnya, kebiasaan mereka cenderung membeli luxury goods, import, dan branded. Bahkan, membeli tunggangan dan hunian baru tanpa kompromi. Pun, gemar liburan ke luar negeri. Namun, itu dulu ketika semua bisa serba mencicil. Sebab, kenyataan hari ini suku bunga terus melambung. Otomatis tak sebanding dengan daya beli.

Faktanya, terbukti dari meningkatnya kredit macet KPR dan industri perbankan. Tak ketinggalan, penjualan kendaraan di salah satu pameran otomotif terbesar di Indonesia, yang belum lama digelar pada Juli 2024, turun 19,5%. Menurut data dari Mandiri Institute, saat ini masyarakat makin berhemat semenjak serba mahal. Bahkan, kebutuhan elektronik, kendaraan pribadi, dan rumah tak lagi menjadi prioritas. Mereka sadar, harus hidup mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Ya, bertahan hidup dengan harta pribadi. Bahkan, fenomena makan tabungan alias ‘mantab’ lazim terjadi di kalangan kelas menengah, begitu juga dengan berutang. Ini baru secuil penyebab yang membuat kelas menengah seolah menghilang.

Tak sampai di situ. Saking tak pernah dibantu, middle class ini hanya bisa melongo dihadapkan dengan gejolak inflasi tahunan, bahan pokok menjulang, pendapatan tak bertambah, tapi biaya hidup berlipat-lipat. Pemerintah berkilah, bahwa perilaku daya beli kelas menengah sudah terlalu variatif, menjadi salah satu alasan mengapa belum ada kebijakan yang pro kelas ini. Padahal, merekalah yang berkontribusi besar terhadap pajak, bukan korporasi elite. Kelompok ini pun terbukti menjadi aset dan pendongkrak skala perekonomian ekonomi nasional, karena menyumbang separuh dari total konsumsi rumah tangga Indonesia.

Tak heran, konsumsi rumah tangga menjadi bagian tumpuan bagi tumbuh kembang ekonomi Indonesia. Maka, jika daya beli masyarakat kelas menengah yang notabene tulang punggung ekonomi nasional ini lemah. Otomatis, pergerakan ekonomi pun makin lambat. Tentu, berdampak juga pada deindustrialisasi dini yang makin mengkhawatirkan. Hal ini terefleksi dari kontribusi industri manufaktur atau pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang terus merosot selama 10 tahun terakhir.

Walhasil, berpengaruh langsung kepada masyarakat middle class. Sebab, peluang kerja berkualitas dan penerimaan pajak, dimotori oleh industri manufaktur. Logikanya, jika sektor pekerjaan berkualitas, jenjang karier yang jelas dengan pendapatan rutin ini makin minim jumlahnya. Secara refleks menyebabkan penurunan daya beli. Ditambah, desakan inflasi selalu melahirkan kebijakan-kebijakan yang justru mengikis pendapatan. Alhasil, mereka pun kian terimpit dan tercekik.

Tak heran, banyak kelas menengah yang beralih profesi menjadi self employed, seperti freelancer di perusahaan asing secara remote. Ya, warisan budaya pola kerja saat pandemi Covid-19, yakni Work From Home (WFH), Work From Anywhere (WFA), dan Work From Cafe (WFC). Tak dimungkiri, pandemi yang berlangsung selama 3 tahun pun membawa efek lanjutan yang luar biasa. Namun, perlu dipahami, bahwa jauh sebelum pandemi, dunia global telah dihantam kemiskinan, karena distribusi kekayaan yang tidak merata. Sehingga, mengantarkan pada berbagai masalah sosial. Salah satunya, polemik kelas menengah ini.

Terperangkap The Chilean Paradox?

Para ekonom menyatakan, ketika pemerintah tidak turun tangan dalam situasi yang kian tertekan. Maka, akan terperangkap The Chilean Paradox. Ya, suatu kondisi signifikan dari hadirnya negara, tanpa memberi fasilitas dan servis yang baik terhadap middle class, yang berimplikasi pada pergerakan revolusioner. Benarkah demikian?

Bila disingkap lebih dalam, sistem politik demokrasi yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, sejatinya membangun karakter negara hanya sebatas regulator, bukan mengurus dan melayani rakyat. Namun, memiliki kecenderungan pada kepentingan korporasi swasta maupun asing. Pasalnya, kapitalisme menormalisasi kebebasan kepemilikan. Tak heran, harta milik umum yang sejatinya benefit-nya adalah hak rakyat, seperti halnya SDA bisa diprivatisasi para kapital. Walhasil, distribusi kekayaan tidak merata, pendapatan, dan daya beli rakyat pun otomatis rendah.

Selain itu, fondasi sistem ekonomi kapitalis rapuh dan rawan krisis. Pasalnya, dirancang dengan mekanisme berasaskan judi, riba, dan spekulasi yang jelas keharamannya. Dengan melegalkan sektor nonriil dalam hal penawaran keuntungan, tentu saja menjadi kompetitor kuat bagi sektor rill. Sehingga, jumlah uang pun melesat cepat. Sementara, sektor riil memerlukan effort lebih untuk mengakses modal, demi membangkitkan mesin produksi. Walhasil, berimplikasi pada kurangnya pasokan, memicu ledakan inflasi, dan anjloknya nilai uang. Tak diragukan lagi, hegemoni dan dominasi ideologi kapitalisme, makin menvalidasi jati diri negara yang abai terhadap warga negaranya. Terbukti, dengan melepaskan hak dan kewajiban pengelolaan SDA kepada korporasi atas nama UU. Maka, hanya pergerakan revolusioner dan fundamental yang mampu menuntaskan.

Distribusi Kekayaan dalam Sistem Ekonomi Islam

Bila paradigma Islam yang diterapkan dalam pergerakan revolusioner dan fundamental. Maka, pemerintahan Islam itu sendiri tidak lain adalah perwujudan dari ketaatan, serta implementasi hukum syarak secara total. Dengan tuntunan syariat, sejarah peradaban Islam terbukti berhasil menuntaskan kemiskinan secara nyata, tanpa diskriminasi rasial dan sosial.

Dalam Islam, karakter negara dikonstruksi sebagai periayah. Di mana, negara mengatur tata kelola ekonomi negara, dengan menunaikan kewajibannya dalam rangka mengurus urusan warga negaranya. Sebab, dalam perspektif Islam, kesejahteraan merupakan hak individu, sedangkan kemiskinan dipandang sebagai jalan kebodohan.

Maka, negara akan menjamin kebutuhan pokok dan dasar publik sesuai mekanismenya. Di mana, mekanisme langsung berlaku di sektor pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang notabene kebutuhan dasar publik. Tentunya berkualitas, terjangkau, bahkan cuma-cuma. Sementara, mekanisme tak langsung pemenuhan kebutuhan pokok, yakni akses mudah pada setiap laki-laki untuk bekerja.

Baca: ekonomi-kelas-menengah-makin-melemah

Hanya saja, semua akan terealisasi bila sistem Islam mewujud dalam sebuah institusi negara Khilafah. Sebab, hanya Khilafah yang mampu menerapkan terkait hak-hak kepemilikan sesuai syariat, yang meliputi individu, umum, serta negara. Tentu saja, di sektor harta milik umum, tak akan ada dominasi para kapital imperialis. Sebab, syariat mengharamkannya. Khilafah dengan ekonomi Islamnya, berbasis pada sektor riil, baik perdagangan dalam dan luar negeri. Sehingga, aktivitas perekonomian akan stabil. Maka, sektor nonrill tidak dibiarkan berkembang apalagi menjamur, seperti bursa saham, investasi, dan sejenisnya. Sebab, Khilafah pun mengharamkan praktik tersebut yang memicu inflasi dan krisis.

Ekonomi yang stabil berbasis baitulmal (lembaga keuangan) memiliki peran penting, dengan 3 pos pendapatannya.

Pertama, kekayaan negara, di antaranya kharaj, jizyah, fai, usyur, ganimah, dan lainnya.

Kedua, kekayaan milik umum, bersumber dari pengelolaan SDA.

Ketiga, zakat dan sedekah. Walhasil, negara memiliki anggaran yang melimpah, kebutuhan rakyat terjamin, tidak bertumpu pada pajak dan utang. Khilafah terbukti menjamin kesejahteraan dan kemaslahatan. Namun, demokrasi kapitalisme mengancam kesejahteraan dan membawa kemudaratan.

Sungguh Rasulullah saw. pernah mengingatkan melalui sabdanya,
“Ketahuilah, karakter seorang khalifah laksana perisai. Rakyat akan bertarung mendukungnya. Lalu, melindungi dari lawan dengan kekuasaannya.” (Muttafaqun Alaih).

Wallahu a’lam bish-shawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasipost.Com
Previous
Krisis Air Bersih, Butuh Solusi Hakiki
Next
Maulid Nabi, Bukan Hanya Seremonial
1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram