Jakarta digadang-gadang akan menjadi pusat perekonomian di Asia Tenggara dan membawa pada kemajuan. Ini hanyalah omong kosong belaka ketika masih mengandalkan investasi.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia, tetapi tidak lama lagi ia akan melepas statusnya tersebut disebabkan ibu kota negara akan berpindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Bahkan Jakarta akan dipersiapkan menjadi kota global yang siap bersaing di panggung internasional dan 20 tahun mendatang ia siap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Jakarta akan menjadi kota global setelah pemerintah pusat siap untuk memindahkan status ibu kota negara ke IKN. (tempo.co, 07-09-2024). Lantas, apa itu kota global? Menurut profesor sosiologi di Columbia University, New York City, AS Saskia Sassen, kota global adalah pusat perkotaan yang memiliki fungsi sebagai simpul utama (key node) dalam sistem perekonomian dunia.
Jakarta diyakini memiliki potensi untuk menjadi kota global, hanya saja untuk mewujudkan ambisi tersebut memerlukan dana fantastis sebab untuk menjadi kota global harus memenuhi beberapa kriteria. Misalnya, infrastruktur transportasi yang terus berkembang, tempat huni yang nyaman, ekonomi mapan, lingkungan yang bersih, dan lainnya. Sedangkan Indonesia masih jauh dari kriteria tersebut. Lantas, dari mana sokongan dana untuk proyek tersebut?
Investasi, Sebuah Solusi?
Menurut Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, untuk mempersiapkan Jakarta sebagai kota global maka dibutuhkan anggaran jumbo, yaitu Rp600 triliun. Anggaran ini lebih besar daripada anggaran yang digunakan untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yaitu sebesar Rp466 triliun.
Heru juga menjelaskan, anggaran ini nantinya digunakan untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Jakarta. Hanya saja, anggaran yang begitu fantastis ini tidak mampu ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebab APBD Jakarta hanya sekitar Rp80 triliun per tahunnya.
Menurut Heru, anggaran yang begitu fantastis ini akan ditopang dari dana investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, kini mereka terus berusaha untuk merawat iklim investasi agar tetap berkembang dan ramah terhadap para investor sehingga mereka betah berinvestasi di negeri ini (ekonomi.bisnis.com, 06-09-2024).
Investasi dalam Kapitalisme
Investasi merupakan sebuah keniscayaan dalam pembangunan sebuah kota dan infrastruktur di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa investasi merupakan faktor utama untuk membantu negeri ini mencapai tujuannya, yaitu kemajuan ekonomi bangsa yang ditandai dengan pesatnya perkembangan pembangunan infrastruktur. Dengan mengandeng para investor, mereka beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang besar dan dapat memajukan Indonesia.
Hanya saja, anggapan tersebut merupakan sebuah tipu muslihat untuk mengelabui masyarakat atas rusaknya pengelolaan pembangunan dalam sistem kapitalisme. Investasi dalam sistem kapitalisme sejatinya hanya membawa malapetaka bagi masyarakat, bukan sebuah kemaslahatan. Lihat saja, besarnya investasi yang masuk dari tahun ke tahun dalam sebuah pembangunan di negeri, baik pembangunan jalan tol, pembangunan pariwisata, dan infrastruktur lainnya, atau pembangunan kota, seperti IKN tidak memberikan dampak positif bagi kemaslahatan masyarakat. Masyarakat justru menderita dan kehilangan mata pencahariannya akibat pembangunan infrastruktur tersebut.
Hal ini dikarenakan investasi dalam sistem kapitalisme dilakukan atas dasar untung dan rugi. Apa pun yang dilakukan para investor hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri dan para sekutunya. Oleh karenanya, mereka tidak akan ragu-ragu untuk menumbalkan masyarakat demi meraih keuntungan.
Di sisi lain, investasi dalam pembangunan infrastruktur maupun kota di negara kapitalis disebabkan mereka tidak memiliki pijakan pemasukan yang kukuh untuk membangun negerinya. Pemasukan APBN dari utang dan pajak tidak cukup kuat, bahkan cenderung defisit untuk menopang biaya pembangunan negeri ini dan menjalankan roda pemerintahan.
Oleh karenanya, mereka senantiasa mengundang pihak lain untuk mengelola dan membangun negerinya tersebut dengan dalih investasi, padahal investasi dari negara lain justru menggerogoti kedaulatan negara dan memandulkan tanggung jawab penguasa sebagai pengurus urusan rakyat. Mengapa demikian? Sebab pembangunan untuk kemaslahatan rakyat harusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan pengusaha ataupun investor. Namun, dengan adanya investor, tanggung jawab tersebut berpindah ke tangan mereka dan menjadikan negara dan penguasa hanya berfungsi sebagai regulator.
Di sisi lain, dalam prinsip sistem kapitalisme tidak ada sesuatu yang gratis. Semua harus memberikan keuntungan kepada mereka, begitu juga investasi. Mereka mau berinvestasi, tetapi jelas ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi oleh negeri ini. Syarat itulah yang nantinya akan menghilangkan kedaulatan negara karena penguasa akan dikontrol oleh pemilik modal. Investasi ini juga membuat penguasa tidak mandiri dan terus bergantung kepada negeri lain untuk mengelola negerinya.
Pembangunan Infrastruktur dalam Islam
Kondisi di atas berbeda ketika Islam diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan umat manusia. Dalam Islam, pembangunan infrastruktur dan sebuah kota juga merupakan aspek penting dalam pelaksanaan politik dalam Daulah Islam. Hanya saja, pembangunan infrastruktur dan kota ditujukan untuk menunjang kemaslahatan masyarakat secara menyeluruh. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab penguasa sebagai pengurus urusan rakyat, Rasulullah bersabda, "Imam atau khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan dia memiliki tanggung jawab atas pengurusan urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Khalifah Umar bin Khaththab pernah membangun sejumlah kota baru seperti Kufah, Bashrah, dan Fusthath. Kota ini dibangun dengan megah dan sesuai dengan konsep tata ruang kota yang dicontohkan oleh Rasulullah. Konsep tata ruang tersebut meliputi empat unsur utama, di antaranya pembangunan masjid jami di pusat kota, pembangunan kediaman pemimpin yang dekat dengan masjid tersebut, membangun pasar untuk pusat perekonomian, dan membangun permukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat.
Di sisi lain, untuk mengelola dan membangun sebuah negara menjadi kuat, berdaulat, serta mampu menyejahterakan rakyatnya, Khilafah memiliki sumber pemasukan tetap yang berasal dari harta milik umum, yaitu hasil pengelolaan sumber daya alam seperti tambang nikel, emas, batu bara, dan lainnya. Setelah itu, jizyah, kharaj, fai, dan lainnya. Selanjutnya, pemasukan dari zakat, harta waris yang tidak ada pewarisnya, dan lainnya.
Harta tersebut seluruhnya tersimpan di baitumal. Penyaluran harta tersebut sesuai dengan porsinya masing-masing yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Misalnya untuk membangun sebuah kota dan infrastruktur, khalifah akan mengambil dana dari pos harta milik negara dan milik umum.
Dengan pemasukan tetap tersebut, negara tidak perlu mencari investasi ataupun utang ribawi yang justru merenggut kedaulatannya. Apalagi Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah. Semua potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat.
Khatimah
Pembangunan kota Jakarta yang digadang-gadang akan menjadi pusat perekonomian di Asia Tenggara dan membawa perekonomian negara ini pada kemajuan hanyalah omong kosong belaka ketika masih mengandalkan investasi sebagai penopang pembangunannya. Negeri ini harus segera sadar bahwa investasi hanya membawa malapetaka bagi negeri ini, bukan kemaslahatan. Mereka harus mengambil Islam sebagai aturan agar pembangunan kota bisa berdampak pada kemaslahatan rakyat. Wallahualam bissawab.[]
Investasi hanya akan membawa keburukan bagi negeri ini, alih-alih maslahat dan kebaikan.
Benar sekali Mbak, dasar investasi dalam kapitalisme jelas tidak mau rugi. Mereka akan menumbalkan siapapun untuk mencapai sebuah keuntungan