Infrastruktur dan Investasi, Benarkah untuk Rakyat?

Infrastruktur

Infrastruktur dalam Khilafah islamiah berada dalam kemandirian. Pembangunan pun berdasarkan kepada kemaslahatan umat, bukan kepentingan ekonomi para kapital.

Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Infrastruktur yang giat dibangun oleh Presiden Jokowi selama sepuluh tahun periode pemerintahannya, diakui oleh Jokowi sebagai langkah untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional. Jokowi menilai pembangunan infrastruktur adalah kunci penopang aktivitas ekonomi yang bisa mendorong investasi asing maupun domestik untuk membangun bisnis di Indonesia. Jika infrastruktur tidak baik, maka tidak akan ada investor yang mau masuk ke Indonesia. Hal ini juga diklaim berhasil mengerek posisi daya saing Indonesia dari posisi 34 ke peringkat 27 dengan skor 71,25. Posisi ini mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang memiliki Infrastruktur Mutu Nasional paling unggul di ASEAN berdasarkan hasil penelitian Global Quaility Infrastructure Index (GQII) yang baru dirilis Mei 2024 lalu. (Liputan6.com, 31-7-2024)

Jokowi juga berpendapat bahwa proyek-proyek yang ia bangun dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat, membantu mobilitas mereka, dan dapat menekan biaya logistik. Penurunan biaya logistik akan berdampak pada penurunan laju inflasi.

Namun, benarkah pembangunan infrastruktur dan investasi asing benar-benar akan membantu menyejahterakan rakyat? Pasalnya, sudah lama investor asing berdatangan ke negeri ini, tetapi kondisi masyarakat tak kunjung sejahtera, yang ada oligarki kian berkuasa.

Pembangunan di Era Jokowi

Sejak dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2014 silam, Jokowi memang memprioritaskan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Tak tanggung-tanggung, anggaran sebesar Rp3.309 triliun telah digelontorkan untuk merealisasikan program Jokowi.

Pembangunan-pembangunan tersebut meliputi:

1. Jalan tol. Sejak 2014 sampai 2022, ruas jalan tol yang awalnya 820 km bertambah menjadi 2.687 km. Ini belum termasuk proyek jalan tol yang diestimasi akan selesai akhir pada akhir tahun 2024.

2. Bendungan. Jokowi menargetkan sebanyak 61 bendungan pada masa pemerintahannya. Namun, hanya 51 bendungan yang diperkirakan akan selesai hingga akhir tahun 2024. Dua bendungan yang menjadi pemecah rekor adalah Bendungan Bener di Purworejo yang akan menjadi bendungan tertinggi dengan tinggi 159m dan Bendungan Semantok di Nganjuk yang akan menjadi bendungan terpanjang di Asia Tenggara sepanjang 18,19km.

3. IKN yang saat ini masih menjadi pro kontra merupakan PSN yang dinilai Jokowi akan mendukung keberlangsungan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata, khususnya di kawasan timur Indonesia. IKN diperkirakan akan menghabiskan dana sebanyak Rp466 triliun.

4. Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) merupakan proyek gabungan antara BUMN dengan perusahaan kereta api dari Cina. Proyek yang dikembangkan adalah Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Meski sempat tersendat, tetapi pada Oktober 2023, kereta ini pun diresmikan dengan nama WHOOSH (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat).

5. Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase 2. MRT ini akan terbagi menjadi fase 2A dan 2B. Fase 2A akan meliputi tujuh stasiun bawah tanah, yakni Tamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota. Lalu, fase 2B meliputi dua stasiun bawah tanah yakni Mangga Dua dan Ancol.

6. LRT (Light Rail Transit). Meski sempat menuai kontroversi karena dinilai salah konstruksi, LRR tetap akan menambah jalur hingga ke Bogor.

7. Bandara dan pelabuhan. Bandara yang awalnya hanya berjumlah 237 menjadi 287. Pelabuhan berkembang pesat dari 1.665 menjadi 3.148.

8. Destinasi wisata yang meliputi Danau Toba di Sumatra Utara, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Likupang di Sulawasi Utara, dan Candi Borobudur di Jawa Tengah.

9. Proyek tol laut sebanyak 39 tol yang menyinggahi 115 pelabuhan dengan 1.070 kapal perintis.

Pembangunan Meningkat, Utang Meroket

Pembangunan di era Jokowi memang mengalami peningkatan, sayangnya kondisi ini diikuti dengan utang yang semakin meroket.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, jumlah utang Indonesia per Juni 2024 adalah sebesar Rp8.444,87 triliun. Komposisi utang terdiri dari utang berbentuk obligasi negara atau surat berharga negara (SBN) sebesar Rp7.418,76 triliun serta utang berbentuk pinjaman sebesar Rp1.026,11 triliun. (Kompas.com, 31-7-2024)

Rasio utang terhadap PDB yakni sebesar 39,13 persen. Berdasarkan rasio ini serta tenor utang yang cenderung menengah dan panjang, Kemenkeu mengatakan bahwa pengelolaan utang RI tetaplah terjaga. Pemerintah memang menjadikan output ekonomi (total nilai produksi) sebagai tolok ukur kemampuan negara membayar utang dengan batas rasio maksimum 60 persen.

Sayangnya, pemerintah seolah lupa bahwa total PDB tidak pernah bisa dikonversi sepenuhnya menjadi pendapatan bagi negara. Selama ini pun pemerintah selalu membayar utang dari pendapatan atau pembiayaan alias penambahan utang baru.

Jika ditilik dari indikator lain, maka utang Indonesia tidak bisa lagi dikategorikan aman. Rasio utang terhadap pendapatan nasional menembus 300 persen, padahal batas aman yang ditetapkan IMF berada pada kisaran 90-150 persen. Ini belum termasuk realitas bahwa pendapatan nasional tidak mencerminkan pendapatan asli rakyat Indonesia dan bunga pinjaman yang terus meningkat.

https://narasipost.com/opini/01/2024/petaka-kapitalisme-utang-negara-meroket/

Pemerintah harusnya lebih mawas diri untuk terus menambah utang dan belajar dari beberapa negara lain yang terjerat utang, seperti Laos yang mengalami krisis ekonomi setelah kesulitan membayar utang ke Cina. Cina sendiri telah menjadi investor terbesar di Laos semenjak tahun 2013. Kemudian ada Sri Lanka yang juga mengalami krisis ekonomi dan gagal membayar utang ke Cina dalam pembangunan Pelabuhan Hambantota, akhirnya pelabuhan tersebut justru diserahkan ke Cina. Lalu ada Uganda yang juga terjerat utang dan kini mengalami krisis kedaulatan.

Pembangunan dalam Kapitalisme

Dalam sudut pandang kapitalisme, pembangunan infrastruktur masih sarat dengan kepentingan ekonomi, bukan kemaslahatan rakyat. Meskipun pemerintah acap kali bersuara bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, tetapi faktanya tidak demikian. Pemerintah sibuk membangun jalan tol dengan alasan memudahkan mobilitas masyarakat, padahal di lain sisi masih banyak kebutuhan rakyat yang lebih mendesak. Banyak kita temui fakta akses jalan yang rusak di berbagai kota dan telah memakan banyak korban, lalu mengapa pemerintah tak mengutamakan perbaikan jalan ini?

Banyak juga daerah-daerah yang tidak memiliki fasilitas publik yang layak, baik itu fasilitas kesehatan atau pendidikan. Akan tetapi pemerintah justru lebih memilih menambah utang dan mencari investor untuk membangun IKN ketimbang memperbaiki fasilitas rakyat.

Jika memang pembangunan untuk rakyat, maka mengapa saat infrastruktur sudah selesai, rakyat harus tetap “membayar” untuk menggunakannya? Mahalnya biaya penggunaan pun membuat tidak semua masyarakat bisa merasakan hasil pembangunan. Lantas sebenarnya rakyat mana yang dimaksud oleh pemerintah?

Dalam teori sistem ekonomi kapitalisme, investasi asing digadang-gadang akan memberikan banyak manfaat bagi suatu negara, seperti menciptakan lapangan pekerjaan baru, mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diversifikasi ekonomi, transfer teknologi, dan peningkatan infrastruktur.

Sayangnya, teori dalam kapitalisme sering tak sejalan dengan realitas yang ada. Jika benar investasi dapat merealisasikan itu semua, maka Indonesia tentu tak perlu menjadi negara dengan predikat pengangguran tertinggi di ASEAN, sebab sudah sejak lama hampir semua kekayaan alam dan pembangunan Indonesia dibiayai oleh investasi asing. Jika investasi bisa meningkatkan kesejahteraan, maka seharusnya tingkat kemiskinan di Indonesia berkurang. Alih-alih angka kemiskinan yang turun, pemerintah justru menurunkan standar kemiskinan, sehingga kemiskinan tampak berkurang, padahal faktanya makin banyak masyarakat yang terperosok ke jurang kemiskinan.

Standar Islam

Pembangunan dalam Islam tentu berbeda dengan kapitalisme. Khilafah Islamiah akan mengutamakan kemaslahatan umat dalam membangun infrastruktur. Apa yang memiliki kemaslahatan dan menjadi kebutuhan umat, itulah yang akan dibangun. Fasilitas-fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, kelayakan jalan, kemudahan akses, dan lainnya akan menjadi prioritas Khilafah.

Pendanaan pembangunan pun bukan bersumber dari utang ataupun investasi asing, melainkan hasil dari pengelolaan kekayaan alam yang dikelola dengan syariat Islam. Bukan tak sedikit kekayaan alam negeri ini, apabila dikelola dengan syariat Islam, niscaya negeri ini akan menjadi negeri yang sejahtera dan mandiri. Kemandirian dalam pendanaan infrastruktur adalah hal yang harus direalisasikan Khilafah agar tak didikte oleh pihak lain.

Dr. Kasem Arjam dalam bukunya The Miracle of Islam Science menuliskan bahwa sejak abad ke-8 M jalan-jalan di Kota Baghdad dan Iran sudah dilapisi aspal, sedangkan pengaspalan jalan di Eropa baru dimulai abad ke-18 M. Dalam bidang kesehatan, Khilafah pernah membangun Bimaristan, yakni rumah sakit besar yang modern. Selain itu, Bimaristan juga merupakan sekolah kedokteran yang menjadi pusat literatur kedokteran pada masa itu.

Khilafah juga pernah membangun bendungan pada abad ke-7, yakni bendungan Qusaybah yang berada d dekat Madinah dan masih kokoh hingga sekarang. Pada masa Khilafah Ustmani, dunia Islam berusaha disatukan dengan pembangunan kereta api Hijaz untuk memudahkan para jemaah haji.

Seluruh pembangunan infrastruktur dalam Khilafah murni dibiayai keuangan negara, bukan berasal dari investasi, apalagi utang.

Khatimah

Sungguh, Khilafah Islamiyah telah memberikan contoh dalam kemandirian infrastruktur. Pembangunan pun berdasarkan kepada kemaslahatan umat, bukan kepentingan ekonomi para kapital.

Hal demikian itu adalah upaya Khilafah untuk mewujudkan tanggung jawabnya sebagaimana hadis Rasulullah:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari)

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Arum Indah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Dilema Ibu dalam Sistem Kapitalisme
Next
Perlindungan terhadap Anak Ompong di Konoha
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
3 months ago

Ini yang dibilang, makin banyak infrastruktur yang dibangun, makin banyak pula utang yang menjerat. Kalau pembangunan dibiayai dari utang, ini sih bukan kehebatan, tapi membuka jalan penjajahan ekonomi.

Arum indah
Arum indah
Reply to  Sartinah
3 months ago

Benar, mbak..
Penjajahan gaya baruu.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram