Pemberantasan judi online dan scamming di Indonesia tidak otomatis berhasil dengan ditangkapnya sosok T karena sistem ini justru menumbuhsuburkan keduanya.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Beberapa waktu yang lalu, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menyebut sosok T sebagai pengendali aktivitas judi online di Indonesia. Benny juga menyatakan bahwa sosok ini pernah diungkap saat rapat terbatas bersama presiden dan kapolri. Menurut Benny, sosok T merupakan orang terkenal yang wara-wiri di bisnis haram Indonesia dan tidak tersentuh hukum. Selain menjadi pengendali bisnis haram perjudian online, sosok itu juga menjadi bos tindak kejahatan scamming atau penipuan online yang berbasis di Kamboja. (republika.co.id, 27-07-2024)
Masyarakat pun penasaran dengan sosok tersebut. Namun, mereka hanya dapat menduga-duga karena para pejabat yang ditanya mengaku tidak tahu. Ada yang menduga bahwa sosok tersebut adalah Tomy Winata karena sosok itu dikaitkan dengan kasus pekerja ilegal di Kamboja. Para pekerja ilegal itu dipekerjakan dalam bisnis judi online di Kamboja. Mereka rata-rata berpendidikan SMA, S-1, dan S-2.
Buntut dari pernyataan tersebut, Benny dipanggil Bareskrim Polri untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Belakangan Benny menyampaikan bahwa ada kesalahan pemahaman masyarakat tentang sosok ini. Menurut Benny, sosok T ini ada hubungannya dengan perjudian online di Kamboja, bukan di Indonesia. (kumparan.com, 28-07-2024)
Akankah Menghentikan Praktik Judi Online?
Menurut Benny, terungkapnya kasus pekerja ilegal di Kamboja ini akan memudahkan penangkapan aktor di balik aktivitas judi online di Indonesia. Namun, benarkah perjudian online akan berhenti setelah ditangkapnya T? Jawabannya tentu tidak sesederhana itu.
Maraknya perjudian online dan scamming terjadi akibat penerapan sekularisme kapitalisme di negeri ini. Sekularisme membuat penganutnya memisahkan agama dari kehidupan. Sementara itu, kapitalisme menciptakan karakter yang materialistis yang beranggapan bahwa kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik. Dua hal ini akan membentuk sosok yang materialistis dan tidak peduli halal haram.
Tidak mengherankan jika mereka akan mencari materi sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Di antaranya dengan perjudian online dan scamming. Melalui dua hal ini mereka berharap akan mendapatkan banyak materi dengan cara yang mudah.
Masyarakat di Indonesia saat ini telah banyak dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Mereka hanya menggunakan asas manfaat tanpa mempertimbangkan halal dan haramnya perbuatan. Akibatnya, mereka pun mencari kekayaan dengan cara-cara yang haram, seperti perjudian online dan scamming.
Inilah yang menyebabkan sulitnya memberantas perjudian online dan scamming. Selain itu, sanksi yang diberikan kepada para pelaku maupun penyelenggara tidak memberi efek jera. Akibatnya, judi online dan scamming terus terjadi.
Judi Online Butuh Penyelesaian Sistemis
Fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ini menunjukkan bahwa perjudian online adalah masalah sistemis sehingga membutuhkan penyelesaian yang sistemis pula. Sistem yang dapat menyelesaikan masalah ini secara tuntas adalah sistem Islam. Hal itu karena dalam sistem Islam ada kerja sama antara individu, masyarakat, serta negara.
Dalam Islam, setiap individu yang menjadi anggota masyarakat harus memiliki keimanan yang kuat terhadap akidah Islam. Keimanan ini akan membuatnya selalu menjadikan syariat Islam sebagai standar perbuatan. Keimanan yang kuat ini akan membuatnya menjauhi perbuatan yang haram, termasuk perjudian online dan scamming.
Sikap individu yang menjauhi perjudian dan penipuan ini akan terbantu dengan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh masyarakat. Ketika masyarakat melihat ada individu yang hendak melakukan perbuatan ini, mereka akan berusaha mencegahnya. Kontrol dari masyarakat inilah yang membuat individu senantiasa berada dalam koridor Islam.
Sementara itu, negara berperan dalam memberikan pemahaman yang benar tentang haramnya judi online dan scamming kepada masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Negara akan menutup setiap celah yang dapat digunakan untuk melakukan praktik perjudian, termasuk memblokir situs-situs perjudian. Selain itu, negara juga akan memberi sanksi kepada siapa saja yang melakukan perjudian online atau penipuan online. Kerja sama seperti inilah yang dapat menuntaskan pemberantasan perjudian.
Keharaman Judi Online dan Scamming
Perjudian online dan scamming harus diberantas secara tuntas karena keduanya dilarang oleh Allah Swt. Di Indonesia, pelaku perjudian online sangat banyak jumlahnya, mencapai 3,5 juta orang. Mirisnya, 80% dari mereka berasal dari kalangan menengah ke bawah. (cnbcindonesia. 17-06-2024)
Hal ini sangat mengejutkan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sebagai muslim, tentu mereka telah mengetahui bahwa Islam mengharamkan perjudian. Dalam QS. Al-Maidah: 90 Allah Swt. menyejajarkan judi dengan penyembahan berhala dan menggolongkannya dalam perbuatan setan.
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا إنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأنْصَابُ وَالْأزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, perjudian, (berkurban untuk) berhala, serta mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
Islam juga melarang penipuan, sebagaimana disebutkan dalam HR. Ibnu Hibban,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ والْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Artinya: “Barang siapa yang menipu kami, ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang melakukan makar dan pengelabuan, berada di neraka.”
Disejajarkannya perjudian dengan perbuatan setan serta adanya seruan untuk meninggalkannya menunjukkan keharamannya. Demikian pula dengan ancaman berupa azab di neraka bagi penipu juga menunjukkan keharamannya.
Oleh karena itu, kedua perbuatan ini tidak boleh dilakukan. Mereka yang hendak berbuat harus dicegah. Pelakunya harus mendapat sanksi yang setimpal agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Di samping itu, sanksi tersebut juga dapat menghindarkan pelaku dari siksa yang pedih di akhirat. Inilah fungsi sanksi dalam Islam, yaitu sebagai penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir. Namun, sanksi ini hanya dapat diterapkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam kaffah.
Mekanisme Islam dalam Mengungkap Pelaku Kejahatan
Pemberantasan judi online dan scamming hanya dapat diselesaikan dengan sistem Islam karena aturan Islam berasal dari Allah Swt. Islam telah memberikan batasan apa saja yang termasuk tindak kejahatan serta siapa yang termasuk pelaku kejahatan. Abdurrahman al-Maliki menjelaskan dalam kitabnya Nizham al-Uqubat bahwa kejahatan (jarimah) adalah semua perbuatan keji yang ditetapkan oleh syarak.
Oleh karena itu, suatu perbuatan disebut sebagai tindak kejahatan jika ditetapkan oleh nas syarak sebagai perbuatan dosa. Pelaku perbuatan ini disebut sebagai pelaku tindak kejahatan dan dapat dikenai sanksi oleh negara, tanpa memandang status maupun jenis kelaminnya.
Sanksi dalam Islam dibedakan menjadi hudud, jinayah, mukhalafat, serta takzir. Hudud adalah sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syarak, seperti sanksi bagi pezina, pembunuh, atau pencuri. Jinayah adalah sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap badan yang mewajibkan kisas atau diat. Adapun mukhalafat adalah sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap aturan negara.
Sementara itu, takzir adalah sanksi yang tidak ditetapkan secara khusus oleh nas syarak. Hak penetapannya berada di tangan penguasa, yakni khalifah. Jenis sanksi ini bermacam-macam, tergantung pada berat ringannya kejahatan. Sanksi takzir inilah yang akan diberikan kepada pelaku judi online maupun scamming.
https://narasipost.com/opini/10/2023/jalan-keluar-dari-labirin-judi-online/
Sanksi-sanksi ini tidak akan dijatuhkan kecuali kepada seseorang yang telah jelas melakukan tindak kejahatan. Untuk itu harus dilakukan pembuktian yang sesuai dengan syarak (al-bayyinaat asy-syar’iyyah). Pembuktian ini dapat berupa pengakuan (iqrar), sumpah, kesaksian orang-orang yang adil, serta dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan.
Seseorang yang didakwa menjalankan praktik perjudian online atau scamming dapat dihadapkan ke sebuah pengadilan. Seorang kadi akan meneliti bukti-bukti yang diajukan dan memeriksa terdakwa di ruang pengadilan. Jika terdakwa mengingkari perbuatannya, ia harus melakukan sumpah di ruang pengadilan tersebut. Hal ini berdasarkan HR. Baihaqi,
البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ
Artinya: “Bukti wajib atas penuntut, sedangkan sumpah atas yang mengingkari.”
Jika kadi telah memutuskan perkara, tidak boleh ada keberatan (i’tiradl), naik banding (istinaf), maupun kasasi (tamyiz). Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika bertentangan dengan nas yang qath’iy, yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat, atau kias.
Dengan demikian, tidak perlu membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat dalam mengungkap pelaku tindak kejahatan. Jika sosok T itu didakwa mengendalikan judi online dan scamming, cukup mengajukannya ke pengadilan disertai bukti-bukti yang mendukung. Jika terbukti bersalah, negara akan memberi hukuman. Sebaliknya, jika tidak terbukti, ia harus dibebaskan.
Penutup
Demikianlah, pemberantasan judi online dan scamming di Indonesia tidak otomatis berhasil dengan ditangkapnya sosok T. Dua hal ini tidak dapat diberantasselama sistem kapitalisme yang diterapkan karena sistem ini justru menumbuhsuburkan keduanya. Sebaliknya, hanya sistem Islam yang dapat memberantas kejahatan ini secara tuntas.
Wallahua’lam bishawab. []
Judi online sudah seperti penyakit menular di negeri ini yang sulit diatasi hanya dengan bersandar pada hukum sekuler. Walau diberantas satu, akan muncul lagi tempat-tempat lainnya dan menyebar. Solusi penyelesaiannya memang harus sistemis.