Pemangkasan anggaran pupuk dan anggaran Kementan kian membuktikan bahwa sistem kapitalisme hanya membawa kehancuran bagi negeri ini.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Anggaran pupuk dan anggaran Kementan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut Menteri Pertanian (Kementan) Amran Sulaiman, alokasi dana untuk pupuk bersubsidi terus mengalami penurunan dari 2018 hingga 2025, begitu pula dengan anggaran lembaga Kementan lainnya. Amran juga membeberkan bahwa alokasi dana pupuk bersubsidi mengalami penurunan dari 2023 ke 2024. Pada 2023, alokasi pupuk bersubsidi sebesar 6,13 juta ton, kemudian mengalami penurunan pada 2024 menjadi sebesar 4,73 juta ton.
Amran juga mengatakan bahwa menurut catatan Kementan, penurunan alokasi anggaran pupuk bersubsidi tidak hanya terjadi pada 2 tahun terakhir ini, tetapi sudah terjadi sejak 2018. Pada 2018, alokasi pupuk bersubsidi turun menjadi 8,87 juta ton dengan serapan 88,8%. Alokasi pupuk sempat mengalami kenaikan pada 2019 menjadi 9,55 juta ton, tetapi terjadi penurunan kembali pada 2020 menjadi 8,9 juta ton. Selanjutnya, pada 2021 turun menjadi 8,78 juta ton dan 2022 turun lagi menjadi 7,78 juta ton.
Amran membeberkan bahwa anggaran Kementan juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2018 anggaran Kementan mencapai Rp24 triliun. Setelah itu, pada 2019 turun menjadi Rp22 triliun dan pada 2020-2022 di angka Rp16 triliun. Selanjutnya, pada 2023 hingga 2024 terus mengalami penurunan dari Rp15 triliun menjadi Rp14 triliun. Kemudian dikabarkan pada 2025 anggaran akan kembali dipangkas dan tersisa Rp8,06 triliun. ( cnnindonesia.com, 20-07-2024).
Lantas, apa penyebab pemangkasan anggaran pupuk dan Kementan ini? Bukankah pemangkasan anggaran pupuk akan mengganggu terwujudnya swasembada pangan? Lalu, bagaimana dengan mimpi Indonesia untuk mewujudkan swasembada pangan pada program Indonesia Emas 2045 jika alokasi anggaran pupuk terus dipangkas?
Penyebab Pemangkasan Anggaran Pupuk
Polemik kebijakan subsidi pupuk sejatinya sudah dimulai sejak 1969. Pada tahun tersebut, pemerintah memberikan subsidi pupuk kepada para petani dengan harapan agar mampu meningkatkan produksi panen. Kebijakan ini pun terus berkembang sampai 1998. Pada tahun itu, kebijakan subsidi pupuk dicabut disebabkan negara mengalami krisis moneter.
Pada 2003 pemerintah kembali membuat kebijakan pupuk bersubsidi. Kebijakan tersebut termaktub dalam Surat Keputusan Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 yang diteken pada 11 Februari 2003 tentang "Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian." Kebijakan pupuk ini berlanjut hingga sekarang, tetapi terus mengalami pemangkasan anggaran.
Pemangkasan anggaran subsidi pupuk ini biasanya terjadi karena adanya realokasi ataupun refocusing anggaran belanja negara. Anggaran belanja negara yang awalnya dialokasikan untuk membiayai subsidi pupuk harus bergeser kepada anggaran belanja negara lainnya. Misalkan, pemangkasan subsidi pupuk pada 2020-2021 karena pemerintah fokus untuk membiayai penanganan Covid-19 yang mewabah. Pada tahun tersebut perekonomian negara pun sedang terguncang sehingga negara harus menghemat anggaran belanja. Alhasil terjadi pemangkasan belanja negara, salah satunya pemangkasan biaya untuk subsidi pupuk.
Begitu pula pada 2022, pemerintah memangkas subsidi pupuk yang awalnya menyasar 70 komoditas menjadi sembilan komoditas utama seperti beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi, dan kakao. Komoditas lainnya seperti cengkeh tidak masuk dalam alokasi subsidi. Pemerintah mengatakan bahwa pemangkasan subsidi ini disebabkan bahan baku pupuk mengalami kenaikan akibat perang antara Ukraina dan Rusia.
Fakta di atas menggambarkan bahwa penguasa seakan mudah untuk memangkas anggaran pupuk. Kondisi ini pun kian mengindikasikan bahwa penguasa tidak serius untuk mewujudkan swasembada pangan. Ketika penguasa tidak serius mewujudkan swasembada pangan, bagaimana mungkin target pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 bisa tercapai? Swasembada pangan berkaitan erat dengan mimpi pemerintah tersebut, sedangkan pupuk merupakan penunjang keberhasilan panen.
Mimpi Indonesia Emas Terkubur
Kebijakan pemangkasan anggaran pupuk dan Kementan seakan menjadi blunder bagi pemerintah untuk membangun Indonesia Emas 2045. Bagaimana tidak, menurut Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, ketahanan pangan merupakan aspek penting dan strategis dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. (antaranews.com, 26-04-2024). Pasalnya, pangan merupakan komponen dasar untuk mencetak sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas. Ketika kebutuhan pangan tercukupi, generasi bisa tumbuh sehat dan berkualitas. Di sisi lain, pangan merupakan aspek utama dalam pembangunan nasional yang berperan menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik.
Ketika melihat fakta di atas, seakan sulit untuk mewujudkan swasembada pangan di negeri ini. Penguasa yang harusnya serius dan menaruh perhatian besar pada sektor pertanian justru bersikap abai. Bukan hanya masalah pupuk, masalah lainnya seperti penyediaan bibit unggul, penyerapan hasil panen, dan sarana dan prasarana penunjang juga kurang diperhatikan.
Para petani sering kali berusaha sendiri untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas, sedangkan penguasa tidak hadir untuk menjadi pelayan bagi rakyatnya. Ia justru hadir sebagai duri yang membebani para petani dengan segudang kebijakan yang pro kepada para pengusaha dan oligarki. Misalnya, pada saat panen raya datang, penguasa justru membuka keran impor dan memangkas subsidi pupuk.
Jika hal ini terus berulang, bisa dipastikan bahwa pemerintah harus mengubur dalam-dalam mimpi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Tidak hanya itu, ketika pemerintah masih terus memangkas subsidi pupuk, dampak buruk mengintai hasil panen dan para petani.
Dampak Buruk Pemangkasan Pupuk
Disadari atau tidak, sejatinya pemangkasan anggaran subsidi pupuk secara terus-menerus dapat menimbulkan dua dampak buruk. Pertama, menurunnya hasil panen. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam sektor pertanian sebab ia berperan untuk memengaruhi hasil produksi. Dengan pemberian pupuk pada tanaman secara tepat akan mampu membuat tanaman tumbuh kokoh dan subur. Hal ini karena tanaman mendapatkan nutrisi dari pupuk. Pemberian pupuk pada tanah juga bisa meningkatkan kadar unsur hara yang membuat tamanan makin subur.
Di sisi lain, pupuk juga berperan aktif untuk menjaga tanaman dari hama. Pemberian pupuk yang sesuai takaran membuat tanaman menjadi kuat dan tidak mudah rusak ketika terserang hama. Dengan demikian, pemupukan berpengaruh besar pada produktivitas tanaman. Ketika anggaran subsidi pupuk dipangkas, para petani akan sulit untuk mendapatkan pupuk. Langkanya pupuk akan berimbas pada penyusutan hasil panen dan selanjutnya memengaruhi tercapainya swasembada pangan.
Kedua, nasib petani kian miris. Pemangkasan anggaran pupuk yang terus berulang makin menambah beban petani. Bagaimana tidak, pemangkasan anggaran ini membuat pupuk langka. Walaupun pupuk ada di pasaran, harganya menjulang tinggi sebab pemegang kendali harga adalah para oligarki yang prinsip mereka adalah memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Dengan demikian, kondisi ini akan membuat para petani kesulitan untuk membeli pupuk. Alhasil, para petani akan mengurangi porsi pemupukan yang akan berimbas pada hasil panen. Dengan kata lain, hasil panen menyusut karena pemupukan tidak maksimal. Turunnya hasil panen jelas berdampak pada pemasukan petani. Bahkan sering kali para petani mengalami kerugian sebab biaya produksi lebih tinggi daripada hasil panen.
Inilah potret buruk penerapan sistem kapitalisme. Setiap kebijakan yang dikeluarkan senantiasa membawa penderitaan bagi masyarakat. Hal ini tidaklah mengherankan sebab standar sistem kapitalisme adalah materi. Sistem ini juga telah menjauhkan negara dari tanggung jawab melakukan riayatusy syu'unil ummah dalam segala aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Ketika pemerintah tidak serius dan abai terhadap nasib para petani, bagaimana mungkin swasembada pangan bisa terwujud? Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah perubahan yang hanya ada dalam sistem Islam.
Islam Mewujudkan Swasembada Pangan
Islam merupakan sebuah ideologi yang di dalamnya terkandung seperangkat aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Islam mencetak pemimpin yang amanah dalam kepemimpinannya. Prioritas utama dalam kepemimpinan Islam yaitu kemaslahatan rakyat. Para pemimpin menjalankan fungsinya sebagai ra'in seperti yang digambarkan dalam hadis Rasulullah, “Imam/khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Sektor pertanian merupakan bagian dari pengurusan urusan rakyat sebab sektor ini menjadi faktor penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sedangkan ketahanan pangan penting untuk mewujudkan pembangunan negara. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam menaruh perhatian besar dalam sektor pertanian ini.
Penerapan sistem ekonomi dan sistem politik yang bersandar pada syariat Islam akan mewujudkan negara yang kuat dan kemaslahatan rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam sistem pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menjamin kelangsungannya.
Dalam membangun sistem pertanian yang kuat, khalifah menerapkan beberapa kebijakan di antaranya yaitu:
Pertama, intensifikasi. Intensifikasi merupakan upaya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan berbagai sarana. Khalifah memastikan bahwa para petani bisa mendapatkan kebutuhan pertanian dengan mudah seperti kebutuhan akan modal, bibit unggul, pupuk, obat-obatan, dan lainnya. Dalam konteks permodalan, negara memberikan pinjaman tanpa riba kepada rakyat yang tidak memiliki modal untuk mengelola lahan. Semua keperluan pertanian benar-benar diurus oleh negara secara langsung, bukan diserahkan kepada swasta.
Di sisi lain, upaya peningkatan hasil panen juga dilakukan dengan menciptakan, menyebarluaskan, serta menggunakan teknik budi daya dan produksi modern. Dalam konteks ini, Khilafah terus melakukan riset dalam dunia pertanian. Misalkan, Khilafah melakukan penelitian untuk bisa menemukan bibit unggul atau mengembangkan sistem tanam cepat panen, atau pengetahuan lainnya dalam sektor pertanian. Selanjutnya, Khilafah kemudian melakukan penyuluhan dan memberikan informasi kepada para petani tentang cara mendapatkan hasil panen yang maksimal. Misalkan, memberikan pelatihan kepada para petani tentang pemberantasan hama, pemupukan yang baik, melakukan pengairan, dan lainnya.
Kedua, ekstensifikasi. Ekstensifikasi merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian. Misalkan, memaksimalkan pengelolaan lahan, menghidupkan tanah mati, dan membuka lahan baru. Dalam konteks ini, khalifah mewajibkan seluruh petani untuk membuka lahan pertanian. Tidak boleh ada lahan pertanian yang menganggur selama tiga tahun berturut-turut. Jika hal tersebut terjadi, khalifah akan mengambil lahan tersebut dan memberikannya kepada siapa saja yang mau mengelola lahan itu. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah, "Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah hendaknya menanaminya atau memberikan kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya maka hendaknya tanah itu diambil darinya." (HR. Al-Bukhari).
Selain itu, penguasa juga memperluas lahan pertanian dengan cara membuka lahan-lahan yang berpotensi menjadi lahan baru. Dalam konteks ini, pemerintah menerjunkan beberapa ahli untuk menganalisis lahan, apakah lahan tersebut subur dan bagus untuk menjadi lahan pertanian ataukah tidak. Jika lahan subur, khalifah akan memanfaatkannya untuk menjadi lahan pertanian. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Bani Umayyah yang mengeringkan daerah rawa-rawa untuk disulap menjadi lahan pertanian baru.
https://narasipost.com/opini/01/2024/ketahanan-pangan-terwujud-dengan-sistem-islam/
Ketiga, membangun infrastruktur pertanian. Keberhasilan pertanian tidak lepas dari infrastruktur penunjangnya. Oleh karena itu, negara memperhatikan sarana dan prasarana untuk menunjang produktivitas tanaman. Misalkan, khalifah membangun saluran irigasi yang canggih, bendungan, kincir angin untuk menyalurkan air dari bendungan ke saluran irigasi, kanal-kanal di beberapa wilayah, menyediakan traktor, alat pemotong padi, dan sarana lainnya. Dengan beberapa kebijakan di atas dan didukung penerapan sistem ekonomi Islam yang mengatur tentang pendistribusian pangan secara menyeluruh, swasembada pangan akan terwujud.
Khatimah
Pemangkasan anggaran pupuk dan Kementan kian membuktikan bahwa sistem kapitalisme hanya membawa kehancuran bagi negeri ini. Bagaimana tidak, negeri yang dijuluki sebagai negeri agraris justru sektor pertaniannya terus mengalami problematika, bahkan tidak mampu menciptakan swasembada pangan.
Sungguh kita membutuhkan perubahan yang mendasar, yakni mengambil sistem Islam agar negeri ini menjadi negeri yang mandiri dan mampu menciptakan swasembada pangan. Apalagi diketahui bahwa Indonesia memiliki potensi tersebut. Wallahua'lam bishawab. []
Selalu saja anggaran subsidi untuk rakyat yang dipangkas. Padahal, tanpa pangkas sana sini, petani di negeri ini bisa dibilang belum sejahtera. Lah, terus mau mewujudksn Indonesia Emas bagaimana bisa terwujud kalau dari sektor pertanian saja kurang diperhatikan.
Miris ya nasi petani yang menjadi penopang kestabilan negara. Hidupnya makin sulit dan terus terperangkap dalam kemiskinan.
Bener Mbak makin miris. Apalagi saat ini pemerintah ingin mencapai Indonesia Emas, eh malah pupuk dipangkas. Aneh tapi nyata memang