Pers harus menyalurkan informasi-informasi terkait masalah-masalah publik, baik itu kebijakan pejabat, masalah pembangunan, program, maupun kebijakan pemerintah dan membesarkan khazanah ilmu dan pengetahuan.
Oleh. Syahidah Muslimah
NarasiPost.Com-Di dalam sistem demokrasi, pers menempati posisi yang krusial. Ia bahkan menjadi fourth estate atau pilar keempat dari sistem demokrasi. Menurut Edmund Burke pada akhir abad ke-18, pers setara dengan ketiga pilar lain dalam kehidupan di Inggris, yakni Tuhan, Gereja, dan Majelis Rendah. Mengamati posisi ini, maka dapat dipahami bahwa pers amatlah penting kedudukannya.
Dalam konteks masa kini, pers dianggap setara dengan pilar demokrasi, diantaranya: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tentu saja pers di dalam sistem ini mendapat posisi yang istimewa, dikarenakan ia berfungsi sebagai kontrol penguasa agar terhindar dari yang namanya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.
Brian McNair setidaknya menjelaskan fungsi pers yang ideal di dalam sistem demokrasi, yakni ada empat diantaranya:
Pertama, fungsi monitoring, yakni pers harus menyalurkan informasi-informasi terkait masalah-masalah publik, baik itu kebijakan pejabat, masalah pembangunan, program, maupun kebijakan pemerintah.
Kedua, fungsi mendidik. Pers harus menyampaikan informasi yang turut membesarkan khazanah ilmu dan pengetahuan.
Ketiga, memberikan platform terhadap diskursus politik publik. Artinya, pers harus memfasilitasi tersalurkannya segala macam bentuk aspirasi publik, baik yang sependapat maupun yang bersebrangan. Ruang debat dan opini publik harus dibuka lebar. Terakhir, fungsi pengawas pemerintah. Pers harus mengawal kinerja pemerintah sehingga tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (kompas.com, 21/12/2020). Lalu, sudahkah fungsi dan peranan pers berjalan sesuai tupoksinya pada dewasa ini?
Insan Pers Kerap Tersandung Hukum
Kendati pemerintah meminta untuk diberikan kritikan yang pedas sebagaimana yang dilontarkan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung melalui kanal resmi Sekretariat Kabinet RI, pada faktanya, semua tak semudah itu. Itulah yang menyebabkan pernyataan pemerintah yang minta dikritik di Hari Peringatan Pers 2021 lalu mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Salah satunya, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. Pihaknya menilai, apa yang dilontarkan oleh pemerintah tidaklah sejalan dengan fakta real di lapangan. Ubedilah mengatakan, pemerintah di satu sisi minta dikritik, tapi kala suara-suara kritis itu mulai terdengar, mereka justru dipukul mundur alias dibungkam dengan ancaman UU ITE. Tak ayal, ia pun mengomentari, bawah ada semacam wajah ganda kekuasaan (10/2/2021).
Senada dengan itu, Wakil Koordinator II Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar juga mengatakan bahwa, ungkapan pemerintah sangat kontradiktif. Karena pada kenyataannya pihak yang mengkritik dihantui jeratan UU ITE. Dirinya juga mengungkapkan, jika kritik ini selalu diinginkan maka tentu harus memberi dan menjamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini. Karena berdasarkan catatan Kontras sendiri, per Oktober 2020 lalu, ada 14 orang diproses hukum karena kritik presiden. Kemudian 25 orang diproses karena menghina Polri, dan lain sebagainya (amp.tirto.id, 10/02/2021).
Begitupula dengan para pekerja pers, sebagaimana yang disampaikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ada pekerja pers yang dalam melakukan tugasnya justru dibekuk dengan ancaman pasal karet dalam UU ITE. Sebagai contoh, Moh Sadli Saleh (33), seorang jurnalis asal Buton Sulawesi Tenggara. Pihaknya dilaporkan oleh Bupati Buton Tengah dengan sangkaan pelanggaran UU ITE. Sadli diketahui mengkritik kebijakan pemerintah terkait proyek infrastruktur (aji.or.id, 4/05/2020). Tak hanya pekerja pers saja, rakyat biasa pun ikut terseret arus represif ini.
Kebebasan Berpendapat Antara Ada dan Tiada
Inilah sejatinya cerminan kebebasan berpendapat di sistem demokrasi hari ini. Kendati kerap menunjuk diri sebagai tatanan yang membuka ruang kritik, tapi nyatanya ketika kritikan itu bersebrangan dengan pemangku kebijakan, mereka dengan mudahnya dibekuk. Alhasil, kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi itu patut dikata ‘antara ada dan tiada’.
Pasalnya, semua berlaku bak tebang pilih. Yang
sejalan dengan kehendak penguasa akan dibiarkan tetapi bagi yang bersebrangan maka bersiap untuk disisihkan. Beginikah wajah asli kebebasan berekspresi itu? Tentu tidaklah demikian semestinya.
Sebagaimana yang dikatakan di awal tadi bahwa kritik itu penting, sebagai bekal dalam menyongsong pembangunan yang baik dan berkelanjutan. Harusnya memang kritikan itu patut didengar, selama tak melanggar aturan/norma yang berlaku. Kritikan dalam membangun kualitas birokrasi yang baik tentulah harus diterima.
Namun demikianlah kondisi sistem kehidupan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Dengan mudah menjadi otoritarian, muara kebijakan berdasar tafsiran seseorang ataupun segelintir orang yang tentu tak lepas dari yang namanya kepentingan. Jika begini, lalu bagaimana fungsi kontrol itu dapat berjalan? Bukankah dengan tumpang tindihnya kebijakan ini juga sekaligus menginformasikan bahwa sesungguhnya kebebasan pers atau yang lebih luas kebebasan berpendapat benar-benar antara ‘ada dan tiada’.
Kritik di Dalam Islam
Di dalam Islam terdapat beberapa dalil yang menggambarkan bahwa penguasa itu mestilah diingatkan tatkala mereka mulai menyimpang dalam menahkodai biduk kepemimpinannya.
Di dalam Al-Quran dikabarkan kisah Nabi Musa as yang diperintahkan Allah Swt untuk menasihati Firaun yang kala itu memimpin dengan tangan besi. Walau syariah sebelum Nabi Saw bukanlah menjadi syariah kita. Tapi ayat ini membuktikan bahwa aktivitas mengingatkan pemimpin yang lalim itu telah berlangsung sejak dahulu kala. Hal ini mengandung makna bahwa, di dalam roda kepemimpinan harus ada yang tampil sebagai pihak yang mengingatkan penguasa. Karena kelirunya mereka, akan berlaku fatal bagi seluruh rakyatnya. Itulah mengapa setiap kebijakan memang harus dikawal dan diingatkan bila keliru.
Itulah pula mengapa, di masa Nabi dan khulafaur Rasyidin serta para pemimpin kaum muslimin setelahnya, mereka membuka diri terhadap kritikan. Bahkan Nabi Saw manusia suci yang terjamin kebenaran tutur katanya tak antikritik. Pun dengan para khalifah sesudahnya seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali. Ditambah lagi di dalam Islam, aktivitas mengingatkan penguasa ini sejajar dengan aktivitas jihad. Sebagamana hadis berikut ini, : “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa fasik.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Berangkat dari hal ini maka di dalam Islam, saluran aspirasi sekalipun itu dalam bentuk kritikan mendapatkan ruang eksisnya. Dan atas dasar kesadaran keimanan yang kukuh, baik rakyat maupun penguasa tak akan baper bila dikemudian hari mendapat masukan pedas dari berbagai kalangan. Wallahu’alam[]
Photo : Pinterest