Investasi dari Cina ini juga harus dipertimbangkan dengan matang, sebab bukan tidak mungkin akan menambah deretan perusahaan dalam negeri yang akan gulung tikar.
Oleh. Nurhayati, S.S.T.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Gulung tikarnya beberapa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah terjadi sejak tahun 2019. Hal ini menyebabkan perusahaan tersebut harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi hingga akhirnya terpaksa tutup karena tidak mampu bertahan dengan kondisi ekonomi yang carut-marut. Apalagi ditambah dengan daya beli masyarakat yang turun drastis pasca pandemi Covid-19, ekonomi pun makin babak belur.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi mengatakan banyak pekerja yang mengalami PHK masih ada yang belum menerima pesangon, kejelasan nasib yang belum mendapat pekerjaan yang baru, hingga mereka terus menumpuk utang agar bisa membiayai kehidupan sehari-hari (CNBCIndonesia.com, 30-6-2024).
Banyaknya industri tekstil yang harus tutup berimbas pada badai PHK yang membayangi pekerja. Kenyataan mencengangkan datang dari pemerintah melalui pernyataan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan atas niatan negeri tirai bambu, Cina, yang berencana menanamkan modal pada industri tekstil Indonesia. Disinyalir perusahaan yang akan didirikan di Kertajati, Jawa Barat itu akan menyerap pekerja sebanyak 40.000. Bagi Menko Marves menurutnya ini "karpet merah" yang harus disambut baik (Bisnis.com, 27-6-2024).
Antara Investasi dan Nasib Pekerja Tanah Air
Nasib industri tekstil dalam negeri memang berada dalam titik kritis yang harusnya menjadi perhatian pemerintah. Industri ini tak hanya melulu berorientasi ekspor tetapi dipastikan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama ini, yang menjadi ancaman tekstil dalam negeri adalah adanya banjir produk impor (thrifting) yang memang menawarkan harga sangat murah dan tentu menjadi pilihan masyarakat.
Selain harga yang murah dari segi variasi sangat sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Ini juga menjadi PR bagi pemerintah, bagaimana mampu menghidupkan industri tekstil di tengah persaingan dengan produk-produk impor yang sampai saat ini belum ada regulasi yang jelas terkait pembatasannya.
Investasi dari Cina ini juga harus dipertimbangkan dengan matang, sebab bukan tidak mungkin akan menambah deretan perusahaan dalam negeri yang akan tutup karena persaingan semakin sengit. Karakter ekonomi kapitalisme yang dianut Cina adalah siapa yang bermodal besar dia yang akan menguasai pasar. Karakter ini hendaknya tidak dinilai sebagai angin segar untuk Indonesia. Sebab, sebelumnya Cina yang menguasai pengelolaan SDA seiring dengan banjirnya TKA ke negeri ini, tenaga kerja lokal pun harus bersaing dengan TKA dengan alasan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Maka hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan yang lalu, bahwa atas nama investasi rakyat justru menjadi buruh di negara sendiri. Biaya upah yang minim berbanding biaya hidup yang makin melangit. Terlebih UU Ciptaker menjadi legitimasi bagi industri untuk menjadikan buruh tak ubahnya "sapi perah".
Investasi asing menjadi jalan untuk menjajah secara ekonomi, karena asing akan menguasai dan mengambil alih sektor industri tersebut. Sebagaimana slogan mereka sendiri, No free lunch, mereka tentu tidak akan semudah itu menggelontorkan dana jika hanya menguntungkan satu pihak. Maka investasi jangan dipandang sebagai solusi atas permasalahan kita, yang ada justru kita membuka kesempatan besar bagi asing untuk menguasai kita dalam sektor ekonomi. Padahal negara ini punya sumber daya yang cukup besar untuk bisa independen tanpa harus bergantung pada investasi ataupun utang luar negeri.
Paradigma Pengelolaan Industri yang Benar
Paradigma pembangunan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan satu pihak saja, yakni pemodal. Maka tak heran industri dalam negeri harus berpayah-payah untuk bertahan sedangkan asing bebas melengang bahkan akhirnya mereka pula yang memiliki sektor tersebut.
Dalam Islam, negara punya cara sendiri mewujudkan kemandirian ekonomi sehingga tidak bergantung kepada negara lain baik itu investasi ataupun jalur utang.
Cara tersebut adalah:
Pertama, harta kepemilikan negara yang meliputi enam macam harta, yaitu ganimah (rampasan perang), kharaj, sewa tanah milik negara, jizyah (pajak yang dipungut dari warga nonmuslim sebagai jaminan ketundukan mereka), fai (pemasukan dari barang temuan, waris yang tidak ada pewarisnya, harta sitaan), dan pajak (yang hanya ditarik dalam kondisi insidental dari muslim kaya apabila kondisi Baitul Mal benar-benar kosong).
Kedua, hasil dari pengelolaan harta kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan, dan lainnya.
Ketiga, hasil dari pendapatan lain, seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak.
https://narasipost.com/opini/03/2023/fenomena-thrifting-impor-sampah-branded-ke-negara-berkembang/
Dengan sumber pemasukan yang beragam tersebut dan kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sektor rill dan produktif, pendapatan negara akan selalu bersifat tetap. Dengan penerapan politik ekonomi Islam, negara akan mandiri secara ekonomi dan tidak akan terjebak pada tawaran investasi asing, apalagi utang luar negeri yang sudah jelas mengandung riba dan haram secara mutlak.
Allah taala menjanjikan jaminan kesejahteraan ketika Islam diambil sebagai solusi dalam kehidupan ini, hal ini sesuai firman-Nya yang berbunyi:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)
Maka, hendaklah kita merealisasikan ayat diatas dengan berupaya menjadikan hukum Allah terterapkan dalam bingkai negara, yakni Daulah Khilafah.
Wallahu ‘alam bishowab. []