Regulasi pendidikan terkait zonasi ini faktanya menimbulkan persaingan perebutan kursi secara tak langsung melalui berbagai kecurangan
Oleh. Ni'mah Fadeli
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pengumuman lulus sekolah memang sangat menyenangkan dan ditunggu-tunggu. Bukan hanya oleh siswa namun juga untuk wali murid atau orang tua. Anak akan segera memasuki fase baru dengan berganti sekolah yang nantinya pasti akan menambah pengalaman, pengetahuan, dan mengenal lingkungan baru. Namun, akan ke mana anak bersekolah selanjutnya menjadi pikiran tersendiri bagi orang tua. Apalagi dengan adanya sistem zonasi yang membatasi pilihan anak untuk mendapat sekolah yang diinginkan. Meski menurut pemerintah kebijakan ini dibuat untuk pemerataan pendidikan, namun pada praktiknya hal ini sangat sulit tercapai karena kurang maksimalnya sistem pendidikan saat ini. Bahkan kebijakan zonasi justru menimbulkan terbukanya pintu-pintu kecurangan.
Seperti ungkapan Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji yang menilai bahwa kecurangan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) akan terus berulang jika tidak ada perubahan sistem. Kecurangan tersebut meliputi jual beli kursi, menumpang kartu keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat abal-abal untuk jalur prestasi, adanya titipan dari dinas, pemalsuan kemiskinan karena adanya jalur afirmasi dan seterusnya. Ubaid pun menyebut jika sistem zonasi ini adalah kompetisi rebutan kursi karena jumlah anak tak sebanding dengan jumlah kursi yang ada. (tempo.co, 11/06/2024)
Zonasi Membatasi
Sistem zonasi yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Efendy (2016-2019) memiliki visi bahwa setiap siswa dapat bersekolah di fasilitas pendidikan dekat rumahnya. Dampak yang paling tampak dari kebijakan ini adalah pembatasan siswa untuk bisa mendaftar di sekolah unggulan karena hanya dapat mendaftar di sekolah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya, sementara kualitas masing-masing sekolah tidak sama. Adanya keinginan orang tua dan anak untuk mendapat sekolah berkualitas meski tidak berada di zonasi tempat tinggalnya tak ayal menimbulkan persaingan perebutan kursi secara tak langsung melalui berbagai kecurangan.
https://narasipost.com/opini/07/2023/akal-akalan-sistem-zonasi-masihkah-dipertahankan/
Kebijakan zonasi sejauh ini memang belum terlihat memberikan perbaikan dalam sistem pendidikan dan justru menimbulkan pro kontra yang tiada habisnya di masyarakat. Pendidikan merupakan pilar yang sangat penting dalam suatu negara, namun kebijakan yang menyertainya seolah hanya coba-coba dan tidak fokus pada tujuan pendidikan, yaitu mencetak generasi unggul dalam semua segi kehidupan. Sehingga kelak generasi dapat melanjutkan estafet kepemimpinan dengan melakukan berbagai pembaruan dan perbaikan untuk kemajuan negara. Maka sudah semestinya pendidikan mendapat porsi khusus yang mendasar karena akan terkait langsung dengan keberlangsungan suatu negara.
Pendidikan bukan sekadar hanya untuk meraih ijazah dan mendapat kerja yang diinginkan, namun juga transfer pengetahuan yang harus disertai dengan pemahaman, sehingga dapat diamalkan langsung dalam kehidupan. Poin penting inilah yang terabaikan dalam pendidikan karena kehidupan dalam sistem kapitalisme saat ini memang segalanya berorientasi materi. Maka yang terjadi adalah orang tua berlomba-lomba mengejar sekolah unggulan dengan melakukan berbagai kecurangan dan menghalalkan segala cara demi tercapainya keinginan.
Jauhnya kehidupan dari agama menjadikan suap-menyuap adalah hal yang biasa. Orang tua calon siswa dengan sukarela menyuap dan pihak sekolah menerimanya dengan senang hati dengan dalih sebagai tambahan fasilitas sekolah ataupun bahkan masuk kantong pribadi. Sistem sekularisme yang memisahkan agama dan kehidupan menjadikan manusia lupa bahwa kelak akan ada hisab yang menyertai di setiap perbuatan manusia.
Pendidikan Menjadi Kebutuhan Dasar
Belajar bagi setiap muslim adalah wajib, maka Islam memosisikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar setiap rakyat. Karenanya sistem Islam memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan. Fasilitas pendidikan seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan akan disediakan lengkap tanpa ada pembedaan sekolah di kota besar ataupun desa terpencil.
Bukan hanya fasilitas belajar, namun pengajar atau guru juga akan mendapat perhatian penuh. Tugas guru bukan hanya memastikan anak didiknya memiliki prestasi akademik yang bagus, namun juga memiliki pemahaman Islam yang mendalam, sehingga senantiasa melandaskan setiap perbuatannya sesuai syariat Islam. Guru akan diberikan gaji yang sangat layak, sehingga dapat fokus melakukan pekerjaannya tanpa harus mencari penghasilan tambahan.
Islam tidak pernah berorientasi pada materi, maka kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepentingan rakyat sesuai dengan syariat Islam. Begitu pun dalam hal pendidikan, setiap kebijakan yang diambil pemimpin adalah untuk memudahkan setiap rakyat mendapat pendidikan yang sama. Penanaman akidah dari usia dini dengan lingkungan islami yang selalu melandaskan setiap perbuatan demi meraih rida Allah menjadikan pendidikan dalam sistem Islam jauh dari praktik kecurangan. Keberkahan dalam setiap kehidupan pun akan mudah diraih ketika negara, pemimpin, dan setiap rakyat hanya bersandar pada Allah dan melakukan semua syariat-Nya.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS. Al- Araf: 96)
Wallahu a’lam bishawab.[]
Mau pintar saja kok seperti dipersulit. Yang pakai sistem zonasi lah, UKT tinggi lah, dll. Padahal kalau mau rakyatnya pintar, mbok ya dipermudah dan difasilitasi dengan murah. Iya to?
Bingung, seperti mempertajam angka kebodohan di negeri ini! kebijakan yg diberikan tak memberikan solusi yang bijak thd kacaunya sistem pendidikan di negeri ini! 🙁