IUP untuk Ormas, Manfaat atau Mafsadah?

IUP Ormas

IUP bagi ormas seharusnya dibatalkan oleh pemerintah. Selain menyeret ormas dari aktivitas di luar tupoksinya, beleid tersebut hanya akan berbuah mafsadah.

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)

NarasiPost.Com-Izin Usaha Pertambangan (IUP) kini diobral bebas. Izin pengelolaan yang seharusnya hanya diprioritaskan bagi BUMN dan BUMD, kini diberikan pada ormas keagamaan. Terang saja, mendapat kesempatan yang langka untuk mengelola tambang seolah mendapat tangkapan besar.

Diberitakan oleh laman kompas.com (5/6/2024), IUP untuk ormas keagamaan telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024. Pemberian izin tersebut, kata Jokowi, hanya diberikan pada ormas dengan syarat yang ketat. IUP tersebut juga hanya diberikan kepada sayap ormas yang berkecimpung dalam bidang bisnis sehingga mampu mengelola tambang dengan baik. Artinya, IUP hanya diberikan pada badan usaha yang ada pada ormas, baik koperasi, PT, maupun yang sejenisnya, bukan kepada ormasnya.

Sejalan dengan kebijakan presiden, sikap serupa juga ditunjukkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadia. Bahlil bersikukuh agar ormas keagamaan bisa memperoleh IUPK. Lantas, bagaimana respons publik terkait pemberian IUP bagi ormas? Benarkah keputusan tersebut murni demi kesejahteraan atau ada motif politik yang tersembunyi? Bagaimana pula mekanisme pengelolaan tambang dalam Islam?

Menuai Kritik Publik

Ditekennya IUP untuk ormas telah menuai berbagai respons di masyarakat. Ada yang sepakat, ada pula yang menolak. MUI dan NU diketahui setuju dengan kebijakan pemerintah, sedangkan Muhammadiyah lebih memilih tidak tergesa-gesa menanggapi kebijakan tersebut. Meski respons dua ormas terbesar di Indonesia cenderung menyetujui, tetapi ada pula kritikan tajam atas beleid tersebut, seperti para pengamat pertambangan.

Salah satu kritikan datang dari Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar. Melky menyebut bahwa alasan yang dikemukakan pemerintah tentang izin pengelolaan tambang bukanlah untuk pemerataan ekonomi. Alasan tersebut, menurut Melky, hanyalah dalih untuk mengobral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan. (bbc.com, 1/6/2024)

Kritikan lainnya datang dari Muhammad Arman, selaku Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN. Arman menilai kebijakan tersebut berpotensi memicu konflik horizontal antara ormas keagamaan dengan masyarakat adat, bahkan bisa menjadi konflik SARA.

Tak hanya menuai kritik banyak pihak, izin konsesi pertambangan untuk ormas keagamaan juga bertentangan dengan Undang-Undang Minerba. UU Minerba sendiri memuat aturan yang menyebut bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hanya diprioritaskan untuk BUMN dan BUMD. Jika tidak ada keinginan dari lembaga negara tersebut untuk mengelolanya, maka penawaran akan diberikan pada pihak swasta. Meski begitu, semua prosesnya harus harus dilakukan dengan mekanisme lelang lebih dahulu.

Menyiratkan Motif Politik?

Ditekennya kebijakan IUP menjadi bola liar di tengah masyarakat. Berbagai spekulasi muncul karena menganggap kebijakan tersebut tak masuk akal dan tidak seharusnya diberikan pada ormas. Para pengamat menganggap bahwa ormas dinilai tak memiliki kapasitas untuk mengelola tambang.

Jika ditelisik lebih mendalam, banyak hal yang mengindikasikan bahwa ormas keagamaan tidak seharusnya diberi konsesi. Di antaranya:

Pertama, para pengelola tambang diwajibkan memenuhi syarat-syarat yang diberikan pemerintah berupa syarat administratif, kemampuan finansial, teknis, dan memahami aspek pengelolaan lingkungan. Sayangnya, PP tersebut tidak mencantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ormas. Para pengamat menilai, ormas keagamaan akan sulit memenuhi syarat tersebut. Alhasil, jalan termudah yang bisa dilakukan ormas adalah bekerja sama dengan perusahaan pertambangan.

Nantinya perusahaan rekanan tersebut akan bertindak sebagai operator, sedangkan ormas akan bertindak sebagai pemegang konsesi. Jika hal ini dilakukan maka petaka besar akan kembali menimpa rakyat. Bayangkan saja, langkah tersebut justru menjadi celah bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk masuk ke wilayah pertambangan khusus lewat 'tangan-tangan' ormas. Lebih parahnya, perusahaan tambang tersebut akan bebas masuk wilayah pertambangan tanpa melalui proses lelang.

Kedua, tidak ada jaminan bahwa tata kelola pertambangan akan lebih baik jika ormas ikut terlibat di dalamnya. Para pengamat justru menuding bahwa pemberian izin tersebut hanya akan menambah luas area tambang. Artinya, kerusakan lingkungan diprediksi makin parah. Bukankah kita sering kali mendengar para pengamat dan pemerhati lingkungan mengatakan, "di mana ada tambang, di situ pasti ada kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat".

Hal ini bisa disaksikan dari ujung timur hingga barat negeri ini. Yang mana kerusakan lingkungan mengaga lebar dan penderitaan masyarakat sekitar tambang tidak berujung. Salah satu fakta yang terpampang di depan mata adalah kerusakan lingkungan yang terjadi di area Gunung Latimojong, Sulsel. Kerusakan tersebut memicu bencana ekologis di lima kabupaten di Sulawesi Selatan. Akibatnya, banjir bandang dan tanah longsor terjadi secara berkala.

Ketiga, pemberian izin konsesi pada ormas tidak akan menghapus kejahatan dalam sektor pertambangan. Jika ada pihak yang menganggap bahwa pemberian izin pertambangan untuk ormas keagamaan dapat menghentikan kejahatan di sektor pertambangan, maka anggapan tersebut jelas keliru. Kejahatan dalam industri tersebut akan tetap ada jika orientasi pengelolaannya masih kapitalistik.

Bukannya makin memperbaiki tata kelola pertambangan, ormas keagamaan justru berpotensi menjadi alat perusahaan untuk mendapat izin pembukaan tambang baru. Selain itu, para pengamat menilai bahwa pemberian izin pengelolaan tambang sangat kental aroma politik, yakni adanya upaya untuk 'menjinakkan' ormas-ormas keagamaan agar tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dengan adanya 'bagi-bagi jatah' konsesi tambang, maka ormas-ormas keagamaan akan sulit bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.

Buah Liberalisasi SDA

Pemberian IUP pada ormas adalah wujud nyata liberalisasi SDA di negeri ini. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara, kini bebas diobral pada pihak swasta. Bahkan ormas keagamaan yang dinilai tidak memiliki kualifikasi mengelola tambang, kini mendapat jatah untuk mengelolanya. Padahal kebijakan pemberian IUP pada swasta terbukti berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Contohnya saja banyak perusahaan yang tidak memperhatikan AMDAL dalam aktivitas pertambangan mereka.

https://narasipost.com/opini/06/2024/menyingkap-motif-konsesi-tambang-ormas/

Publik tentu melihat betapa parahnya kerusakan lingkungan akibat pengelolaan tambang oleh perusahaan pertambangan. Dampaknya adalah banjir bandang dan tanah longsor yang kini sudah menjadi 'tradisi' di negeri ini. Lalu berapa banyak lagi kerusakan yang harus diderita oleh alam jika pertambangan dikelola oleh pihak yang tidak kompeten? Maka bisa diprediksi bahwa kerusakan lingkungan akan makin parah.

Di sisi lain, ormas keagamaan seharusnya tidak terseret dalam industri pertambangan yang saat ini penuh dengan permainan politik. Ormas seharusnya menjadi pihak yang turut memperjuangkan keadilan atas kezaliman yang dilakukan perusahaan tambang terhadap rakyat. Bukan justru menjadi pihak yang berkontribusi dalam kesewenang-wenangan. Hal ini sebagai wujud amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Namun, begitulah aturan yang diserahkan pada akal manusia yang meniscayakan terjadinya berbagai kerusakan. Inilah petaka nyata karena penerapan sistem demokrasi kapitalisme.

Pengelolaan Tambang dalam Islam

Sektor pertambangan menjadi salah satu sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh negara. Karena itu, pengelolaan dan pemanfaatannya harus dilakukan dengan prinsip keadilan agar tidak terjadi monopoli SDA oleh individu maupun swasta. Sejatinya hanyalah Islam satu-satunya sistem yang memiliki konsep sempurna dalam mengelola tambang dan mampu memenuhi prinsip keadilan.

Kesempurnaan konsep Islam mampu mencegah pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari sektor tambang. Agar tak terjadi tumpang tindih pengelolaan, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga bagian, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk barang tambang yang jumlahnya melimpah, Islam mengategorikannya sebagai harta milik umum yang haram dimiliki oleh individu, swasta, dan negara. 

Pengelolaan barang tambang hanya boleh dilakukan oleh negara sebagai wakil rakyat. Hasil dari pengelolaan tersebut barulah dikembalikan kepada rakyat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Negara (Khilafah) bisa memberikannya secara langsung atau bisa juga dalam bentuk fasilitas, seperti pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit, dan lainnya.

Pengelolaan pertambangan dalam Islam terbukti mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Jika pengelolaan tambang dilakukan oleh negara maka hasilnya pun bisa langsung dirasakan oleh rakyat. Kondisi tersebut jelas berseberangan dengan tata kelola pertambangan dalam sistem kapitalisme, yang mana hanya segelintir orang yang benar-benar menikmati hasil dari pengelolaan tambang.

Jika negara yang secara langsung mengelola tambang maka pemasukan dari sektor SDA akan mampu membiayai kebutuhan negara dalam mengurusi rakyat. Pasalnya pemasukan anggaran negara dari sektor SDA cukup besar. Pada saat yang sama, negara juga bisa melepaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri.

Semua langkah tersebut hanya bisa terealisasi jika negara menjadikan Islam sebagai landasan dalam bernegara. Dengan maraknya fakta kerusakan dalam sistem kapitalisme, sudah selayaknya umat berbenah dengan mengganti sistem alternatif yang telah terbukti melahirkan kesejahteraan dan kebaikan. Sistem tersebut adalah Islam.

Khatimah

IUP bagi ormas seharusnya dibatalkan oleh pemerintah. Selain menyeret ormas dari aktivitas di luar tupoksinya, beleid tersebut hanya akan berbuah mafsadah. Di sisi lain, berbagai kepentingan dalam sektor pertambangan telah mengakibatkan maraknya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat dan penguasa. Padahal Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya dalam surah Al-Anfal ayat 27:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝٢٧

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui."

Wallahu a'lam bishawab.[]




Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Tapera, Benarkah Menguntungkan Rakyat?
Next
BPJS Kesehatan, Alat Memalak Rakyat?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Mimy muthmainnah
Mimy muthmainnah
5 months ago

(Para pengamat menilai bahwa pemberian izin pengelolaan tambang sangat kental aroma politik, yakni adanya upaya untuk 'menjinakkan' ormas-ormas keagamaan agar tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah)

Cara membumkam kasi makan yang enak, lama2 ormas lupa pada tujuan awalnya. Miris

Sartinah
Sartinah
Reply to  Mimy muthmainnah
5 months ago

Begitulah, salah satu cara tercepat membungkam suara kritis ya dengan memberi jabatan atau wewenang.

Firda Umayah
Firda Umayah
5 months ago

Sepakat. SDA seharusnya memang dikelola negara sebagaimana konsep dalam Islam. Bukan ranahnya ormas keagamaan untuk mengelola barang tambang.

Sartinah
Sartinah
Reply to  Firda Umayah
5 months ago

Tapi sayangnya sekarang semua bisa terjadi ya mba. miris memang

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
5 months ago

Jika ormas keagamaan mendapat konsensi tambang, khawatirnya mereka kehilangan sikap kritis sehingga tidak mampu lagi melakukan muhasabah terhadap penguasa.

Sartinah
Sartinah
Reply to  Mariyah Zawawi
5 months ago

Ya bu. Karena fakta banyak terjadi seperti itu. Kalau sudah dikasih 'sesuatu', maka bisa berubah 180 derajat sikapnya.

novianti
novianti
5 months ago

Benar-benar amburadul. Ormas keagamaan sekarang saja sudah sibuk dengan garapan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara seperti pendidikan dan kesehatan. Apalagi jika berbisnis, amar makruf nahi mungkar akan kian diabaikan. Yang paling parah penggarapan SDA adalah haram. Sangat kontradiktif, ormas Islam menggarap SDA.

Sartinah
Sartinah
Reply to  novianti
5 months ago

Betul mbak. Begitulah kalau aturan diberikan pada akal manusia untuk memutuskan. Akhirnya benar dan salah, baik dan buruk diputuskan berdasarkan standar dan kepentingan manusia.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram