Tapera tidak menguntungkan melainkan menambah penderitaan rakyat, sebab penghasilan mereka berkurang. Alhasil rakyat makin jauh dari kata sejahtera.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia akan mewajibkan iuran Tapera bagi pekerja swasta. Iuran sebesar 3% dari gaji itu harus dibayar paling lambat tanggal 10 tiap bulannya. Dari jumlah tersebut, sebesar 2,5% dibayar oleh pekerja dan 0,5% dibayar oleh pemberi kerja. Khusus pekerja mandiri harus membayar penuh sebesar 3%.
Pemerintah juga telah menetapkan sanksi bagi mereka yang tidak patuh membayar iuran ini. Sanksi bagi pekerja mandiri adalah peringatan administratif. Sedangkan bagi pemberi kerja akan mendapatkan sanksi peringatan dan denda administratif hingga pencabutan izin usaha. (kompas.com, 30-05-2024)
Siapa yang Diuntungkan?
Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera merupakan kelanjutan dari program pemerintah sebelumnya, yaitu Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum). Bedanya, Bapertarum dahulu hanya diwajibkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedangkan program Tapera ini juga menyasar pekerja lain yang berusia 20 tahun dan pendapatannya minimal sebesar upah minimum. Sesuai dengan aturan yang baru, mereka yang harus ikut program ini adalah ASN, TNI, Polri, karyawan BUMN, BUMDes, pekerja mandiri, pekerja swasta, serta Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia lebih dari enam bulan. (liputan6.com, 04-06-2024)
Alasan pemerintah memperluas sasaran peserta tabungan ini adalah untuk membantu rakyat dalam memiliki rumah. Mereka yang telah memiliki rumah pun tetap harus mengikuti program ini. Tujuannya untuk mengurangi kesenjangan jumlah (backlog) sehingga mereka dapat ikut bergotong royong mengatasi problem ini.
Data BPS menyebutkan bahwa saat ini ada 9,95 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Menurut Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, pemerintah hanya mampu menyediakan fasilitas pembiayaan dengan berbagai skema subsidi sebanyak 250.000 unit. Padahal, tiap tahun terdapat 700–800 ribu keluarga baru yang belum memiliki rumah.
Pemerintah seperti berlepas tangan dari kewajibannya sebagai raa’in yang harus melayani rakyat. Pemerintah justru memaksa rakyat yang penghasilannya pas-pasan untuk menyelesaikan problem yang bukan tanggung jawab mereka. Sementara untuk kebutuhan para pejabat, pemerintah dengan senang hati memenuhinya, mulai dari rumah hingga mobil dinas yang anggarannya jauh lebih besar dari rumah bersubsidi.
Selain itu, tidak semua peserta program Tapera berhak mendapatkan manfaatnya. Mereka yang dapat memiliki rumah melalui Tapera hanya pekerja yang berpenghasilan maksimal delapan juta rupiah atau 10 juta rupiah untuk daerah Papua. Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan lebih dari itu atau sudah memiliki rumah? Belum ada kepastian, apakah mereka akan ikut menikmati program ini atau tidak.
Justru, para pengurus BP Tapera yang pasti akan menikmati program ini. Presiden telah menetapkan honorarium dan insentif bagi pengurus yang terdiri dari komite dan komisioner ini. Posisi komite akan diisi oleh beberapa pejabat negara ex officio menteri dan para profesional.
Honorarium tertinggi akan diterima oleh komite yang berasal dari kalangan profesional, yaitu sebesar Rp43,344 juta per bulannya. Sedangkan Ketua Komite Tapera yang merupakan ex officio menteri akan mendapat honorarium sebesar Rp32,5 juta. Menteri lain yang menjadi anggota komite akan menerima honorarium sebesar Rp29,25 juta. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan berbagai tunjangan, yaitu THR, tunjangan transportasi, serta asuransi purnajabatan. (cnbcindonesia.com, 30-05-2024)
Rawan Korupsi
Jika rencana iuran Tapera ini dilaksanakan, akan terkumpul dana yang sangat besar. Saat ini terdapat 43 juta pekerja formal. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Bahana Sekuritas, program Tapera akan menghimpun dana sebesar Rp160–268 triliun hingga tahun 2027.
Besarnya dana Tapera ini membuatnya rawan dikorupsi. Masyarakat pun khawatir akan terjadi penggelapan dana, seperti yang terjadi pada kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri. Pada kasus Jiwasraya, dana yang dikorupsi mencapai Rp16,8 triliun. Pelakunya adalah Benny Tjokrosaputro atau Bentjok, Dirut PT Hanson Internasional Tbk yang bekerja sama dengan tiga mantan pejabat Jiwasraya.
Selain melakukan korupsi dana Jiwasraya, Bentjok ternyata juga melakukan korupsi pada dana Asabri. Kerugian negara akibat korupsi dana Asabri ini mencapai Rp22 triliun, lebih besar dari korupsi Jiwasraya. Namun, karena sudah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus korupsi Jiwasraya, Bentjok divonis nihil dalam kasus Asabri.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat ini, Kepala Staf Kantor Kepresidenan, Moeldoko berusaha meyakinkan masyarakat bahwa simpanan tersebut tidak akan hilang. Namun, siapa yang dapat menjamin keamanan dana tersebut? Sementara, korupsi seolah sudah menjadi budaya para pejabat di negeri ini.
Kebijakan Wajib Dicabut
Rencana pemerintah untuk mendapat penolakan dari masyarakat. Salah satunya adalah Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Kebijakan pemerintah ini harus ditolak karena beberapa alasan. Di antaranya:
Pertama, tidak ada kepastian bahwa peserta akan memiliki rumah. Pasalnya, tabungan yang dikumpulkan selama 10–20 tahun tidak cukup digunakan untuk membeli rumah. Bahkan, untuk uang mukanya saja tidak cukup.
Kedua, tidak ada keterlibatan pemerintah. Tidak ada dana APBN atau APBD yang dianggarkan untuk ini. Jadi, murni dana dari peserta.
Ketiga, iuran ini akan makin membebani hidup para pekerja. Selama ini, upah mereka telah dipotong untuk Pajak Penghasilan (5%), iuran Jaminan Kesehatan (1%), Jaminan Pensiun (1%), serta Jaminan Hari Tua (2%). Jika ditambah iuran Tapera 2,5%, total potongan upah mereka sebesar 11,5%. Padahal, daya beli mereka telah mengalami penurunan hingga 30% akibat penerapan UU Cipta Kerja.
Keempat, rawan dikorupsi. Iuran Tapera berasal dari para pekerja, sedangkan pemerintah sebagai penyelenggaranya. Sistem ini menimbulkan kerancuan sehingga rawan disalahgunakan.
Kelima, bersifat memaksa. Mestinya tabungan itu bersifat sukarela. Selain itu, Tapera adalah tabungan sosial, bukan jaminan sosial. Oleh karena itu, tidak boleh ada subsidi dari satu peserta untuk peserta lain.
Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana. Iuran Tapera baru dapat dicairkan jika berakhir masa kepesertaan. Yang dimaksud dengan berakhir masa kepesertaannya adalah meninggal dunia, pensiun, berusia 58 tahun bagi pekerja mandiri, atau tidak memenuhi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. (cnnindonesia.com, 01-06-2024)
Faktanya, laporan dari BPK menyebutkan bahwa ada 124.960 peserta Tapera yang belum menerima hak mereka. Jumlah dananya mencapai Rp567,45 miliar. Selain itu ada pensiun ganda sebanyak 40.266 orang dengan jumlah mencapai Rp130,25 miliar. Namun, BP Tapera menyatakan bahwa mereka telah mengembalikan dana tersebut kepada pihak yang berhak menerimanya. (cnnindonesia.com, 03-06-2024)
Para pengusaha pun keberatan dengan program ini karena menambah pengeluaran mereka untuk karyawan. Mereka mengusulkan cara lain agar para pekerja memiliki rumah. Salah satunya dengan memaksimalkan BPJS Ketenagakerjaan yang salah satu manfaatnya sama dengan Tapera.
Kebijakan Kapitalis
Meskipun banyak penolakan dari masyarakat, pemerintah akan tetap melanjutkan program ini. Alasannya, sejak berubah dari Bapertarum menjadi BP Tapera, belum ada iuran yang masuk. Praktis, tidak ada dana yang masuk sejak 2020–2024 ini.
Hingga akhir 2022, hanya ada 3,8 juta peserta aktif di Tapera. Dana yang terhimpun sebesar Rp2,9 triliun. Sebanyak 47% dari dana tersebut dimasukkan ke pasar obligasi, 45% di Surat Berharga Negara (SBN), dan 8% di pasar uang.
https://narasipost.com/opini/06/2024/tapera-tabungan-pemerasan-rakyat/
Dalam djppr.kemenkeu.go.id disebutkan bahwa SBN merupakan instrumen keuangan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk membantu membiayai program-programnya. Di Indonesia, SBN dimanfaatkan untuk memenuhi pembiayaan APBN.
Jelaslah bahwa dana yang dihimpun dari rakyat ini salah satunya digunakan untuk membiayai proyek pemerintah. Hal itu terjadi karena pendapatan terbesar bagi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme adalah pajak dan dana dari rakyat. Akibatnya, negara selalu berupaya untuk mencari celah bagi masuknya dana ini dengan berbagai skema pajak dan iuran yang dipaksakan, seperti iuran Tapera.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa rakyat tidak akan diuntungkan dengan iuran Tapera. Mereka justru makin menderita karena penghasilan mereka berkurang. Akibatnya, mereka makin jauh dari kata sejahtera.
Perumahan Rakyat dalam Islam
Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia, selain pakaian dan makanan. Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara untuk membantu masyarakat dalam memiliki rumah. Salah satunya adalah dengan menyediakan lowongan pekerjaan bagi mereka yang sedang menganggur. Dengan bekerja, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup, termasuk tempat tinggal.
Selain itu, negara juga dapat memberikan tanah milik negara kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. yang memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Zubair bin Awwam. Negara juga dapat menghibahkan atau menyewakan rumah milik negara kepada rakyat dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, negara juga dapat membangun perumahan dan dijual ke rakyat dengan harga yang terjangkau dan tanpa bunga. Dana untuk membangun rumah-rumah tersebut dapat diambil dari harta milik umum yang disimpan di baitulmal. Harta milik umum itu di antaranya adalah sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya.
Demikianlah seharusnya kebijakan penguasa, yakni melayani rakyat dan memudahkan urusan mereka. Hal itu mereka lakukan karena meyakini sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Muslim,
اللّٰهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أمْرِ هٰذِهِ أُمَّتِيْ شَيْىٔاً فشَقَّ عَلَيْهَا فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أمْرِ أُمّتِيْ شَيْىٔا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Artinya: “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, kemudian ia menyusahkan mereka, susahkanlah ia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan umatku, kemudian ia mengasihi mereka, kasihilah ia.”
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.[]
Wah, benar-benar sebuah pelepasan tanggung jawab negara atas rakyatnya. Semua kebijakan dibuat dengan dalih untuk rakyat, tapi bingung juga, rakyat yang mana?
Rakyat yang itu lho ...
Tidak habis-habisnya negara memeras rakyatnya. Segala cara dilakukan untuk memeras rakyat.
Iya mbak. Kalau rakyat hanya bisa memeras kelapa jadi santan
Tiap gajian, rakyat berasa kayak dipalakin. Harus byr ini dan itu..
Ya Allah, hancurkanlah kapitalisme...
Gajinya hanya numpang lewat sebentar, ya mbak
Sudah susah ya mau percaya sama penguasa dengan track record seperti sekarang. Sistem kapitalis telah membuat para penguasa hilang empati pada penderitaan rakyat. Bagaimana bisa, rakyat kelaparan, buruh yang minim pendapatan, banyak yang tidak bisa sekolah, tidak mengetuk pintu hati mereka?
Kita doakan semoga segera muncul penguasa yang welas asih pada rakyat.