Guru dalam kacamata pendidikan dianggap sangat berkepentingan memastikan keberhasilan pembinaan karakter/kepribadian generasi. Poin ini menjadi faktor utama demi mencapai hasil terbaik dalam pendidikan generasi.
Oleh : Miliani Ahmad
NarasiPost.Com-Eti Kurniawati mendadak menarik perhatian lantaran statusnya yang menjadi guru mata pelajaran geografi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja walaupun ia beragama nonmuslim. Sementara itu, Sampe Balarangi selaku Kepala Sekolah MAN Tana Toraja telah menerima instruksi penempatan Eti di sekolahnya berdasarkan SK dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Sulawesi Selatan.
Pengangkatan Eti yang menuai kontroversi ini dianggap telah sesuai regulasi. Kebijakan yang mengatur hal tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) RI tentang pengangkatan guru madrasah khususnya Bab VI pasal 30. Pada pasal ini dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Klausul ini dimaknai asal seorang guru beriman kepada Tuhan yang Maha Esa maka sudah bisa diterima mengajar di madrasah. Tak mesti berstatus seorang muslim.
Manifestasi Moderasi Beragama
Dalam dunia pendidikan, isu moderasi bukanlah sesuatu yang asing. Berbagai proyek moderasi telah banyak dijalankan dengan tujuan membangun kesan Islam sebagai agama yang cinta damai. Tak heran kurikulum sekolah khususnya PAI banyak mengalami modifikasi agar sesuai dengan kebijakan moderasi beragama. Maka dihapuslah komponen-komponen pembelajaran yang dianggap memunculkan eksklusifitas beragama. Pada akhirnya, isu moderasi menjadi proyek yang memisahkan generasi muslim dari pengenalan terhadap syariat Islam itu sendiri.
Dalam perjalanannya, nyatanya moderasi di sekolah tak hanya berbicara modifikasi kurikulum. Dehijabisasi di sekolah yang ramai diperbincangkan menjadi fakta yang tak bisa dibantah bahwa proyek ini sedikit demi sedikit telah bergeser kepada tataran identitas kaum muslim. Tak tanggung-tanggung, SKB tiga menteri telah diteken demi memuluskan langkah tersebut. Tak cukup disitu saja, komponen selanjutnya yang perlu diikutkan dalam proyek ini setelah kurikulum dan siswa adalah dengan menempatkan para guru yang dianggap tak seakidah agar terjadi infiltrasi pemikiran dan mencegah ekslusifitas sekolah-sekolah Islam.
Inilah sejatinya moderasi yang ditanam di sekolah. Sangat jelas tujuannya. Kebijakan memoderasi dunia pendidikan menjadi langkah tepat untuk mereduksi Islam dan segala turunannya di kehidupan generasi saat ini.
Peran Guru Dalam Pembentukan Karakter Generasi
Moderasi sebagai jalan memisahkan agama dari kehidupan, jika dijalankan akan membuat generasi semakin kehilangan jati diri. Generasi akan terkontaminasi racun paham-paham kebebasan. Mereka akan mengalami kesulitan mengidentifikasi tujuan dan hakikat kehidupan yang dijalani. Hingga pada akhirnya lahirlah generasi yang minim orientasi dan mengalami korosi kepribadian.
Singkat kata, para generasi sangat membutuhkan peran para pendidik untuk mengawal mereka menghindari hal-hal negatif yang tak diinginkan di kemudian hari. Guru dalam kacamata pendidikan dianggap sangat berkepentingan memastikan keberhasilan pembinaan karakter/kepribadian generasi. Poin ini menjadi faktor utama demi mencapai hasil terbaik dalam pendidikan generasi.
Tapi, sayangnya model pencetakan generasi dalam sistem kapitalisme saat ini bukanlah hal penting yang harus disiapkan. Para peserta didik hanya perlu ditingkatkan kompetensinya agar mudah memasuki dunia kerja. Artinya, output yang diharapkan adalah materi. Maka, wajar jika ranah-ranah agama/akidah dalam pembentukan kepribadian tidak terlalu dikedepankan. Bahkan kalau bisa ranah agama hanya dicukupkan untuk diketahui saja.
Kondisi ini berbeda dengan Islam. Islam sangat memperhatikan kualitas generasi yang dihasilkan. Output pendidikan yang diinginkan meliputi kepribadian Islam, faqih dalam agama, dan menguasai sains dan teknologi. Adapun dalam pembentukan kepribadian, Islam memandang bahwasanya karakter (sakhsiyyah) dibentuk oleh dua komponen. Pertama, komponen Aqliyah (pola pikir). Komponen ini melingkupi segala hal yang berkaitan dengan pemikiran dan pemahaman. Jika landasan pemikiran seseorang adalah atheis maka pasti pola pikirnya adalah atheis. Pola pikir ini tidak pernah mengakui adanya sang pencipta dalam kehidupan. Tapi, jika pemikiran dan pemahamannya adalah Islam maka pola pikir yang terbentuk pun pastilah pola pikir Islamiyah.
Kedua, komponen nafsiyah (pola sikap). Komponen aqliyah sangat menentukan pembentukan pola sikap. Manusia bergerak dan melakukan sesuatu amat dipengaruhi oleh kadar pemikirannya. Benar atau salah, baik atau buruk, halal atau haram dalam beraktivitas tak berlepas dari faktor pemikiran yang diadopsinya. Maka, jika menginginkan terbentuknya generasi yang berkarakter Islami sudah seharusnya dilakukan dengan pembentukan dan penguatan pola pikir Islami.
Hanya saja, kedua komponen ini tidak serta merta bisa berjalan dengan sendirinya. Sekolah sebagai manifestasi pembentukan generasi setelah institusi keluarga menjadi faktor penting dalam melahirkan kualitas generasi. Adanya ketangguhan sistem yang dibangun negara akan sangat mendukung sekolah untuk mencapai output pendidikan yang telah digariskan. Sehingga, ada kewajiban yang harus ditunaikan negara untuk menjamin seluruh kebutuhan yang diperlukan demi terwujudnya tujuan tersebut.
Kebutuhan yang paling krusial selain kurikulum dan infrastruktur sekolah adalah para guru. Mereka lah pihak yang akan banyak berinteraksi dengan para murid. Terjadi proses penyatuan dalam pola pikir maupun pola sikap sebagai hasil dari interaksi keseharian. Untuk menciptakan kesatuan pemikiran dan sikap, sudah sepatutnya negara mempersiapkan para guru yang sejalan dengan akidah umatnya. Yang demikian ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam membentuk kepribadian generasi.
Apalagi guru merupakan sosok yang "digugu lan ditiru". Tingkah laku kesehariannya akan menjadi cermin bagi para siswa. Semua mata pasti akan tertuju padanya, baik dari tutur katanya, sikapnya, ibadahnya ataupun cara berpakaiannya.
Jelas amat sangat disayangkan jika negara justru membuat kebijakan yang kontradiktif dengan tujuan sekolah. Meletakkan guru nonmuslim di sekolah-sekolah Islam atas nama moderasi merupakan kebijakan yang tak tepat sasaran. Akan terjadi ketidaksinkronan antara materi pembelajaran dengan fakta lapangan. Meskipun si guru bukan mengajar pelajaran agama, tapi siswa tetap mempunyai mata dan telinga. Mereka tetap bisa melihat dan mendengar apa pun yang dikerjakan guru dalam kesehariannya.
Tapi apa daya, sistem sekularisme liberalisme telah menjadi jalan masuknya kebijakan yang amat disayangkan ini. Atas nama kebebasan, negara membolehkan bagi siapa pun bisa mengambil posisi sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah Islam, meskipun tak seakidah. Payung hukumnya sudah ada dan telah dilegislasi oleh negara.
Umat akhirnya bisa melakukan apa jika sudah demikian adanya? Tak mampu banyak memberi saran dan masukan apalagi mengubah kebijakan. Mustahil, karena semua kebijakan yang dibuat secara umum telah disandarkan pada perundang-undangan demokrasi yang memang bersahabat dengan kebebasan dan moderasi. Maka, umatlah yang harus waspada secara mandiri sembari membentengi para generasi agar tidak tercelup moderasi yang rusak dan merusak.
Wallahua'lam bish-showwab[]
Photo : Pinterest