Setelah menikah, aku merasa masakan ini adalah musuhku. Dialah yang suka bikin baper ketika aku berada di dapur. Memang ada rasa kangen pada masakan satu ini, tapi segera terhapus bahkan menjadi nama masakan yang menohok hati ketika ingat kisah suamiku.
Oleh : Linda Khaerudin
NarasiPost.Com-"Husna, bisa ke mari sebentar?" ujar mama mertua di telepon.
"Iya, Ma."
Aku tidak pernah bertanya kepentingannya memanggilku. Paling dia mau curhat atau cuma butuh teman ngobrol. Kadang mau masak sesuatu dan aku harus turut membersamainya supaya bisa masak seperti dia. Tujuannya tak lain agar dapat menyenangkan lidah suami. Atau kadang dia masak banyak dan mengirimi kami masakan. Hmm, entahlah mama perlu apa sekarang? Aku pun langsung menuju rumahnya yang tidak jauh dari kontrakanku, kurang lebih tujuh ratus meter.
Aku berjalan melewati tiga buah kontrakan yang sama besarnya dengan kontrakan yang kami tempati. Kami sengaja mengontrak dekat rumah mama karena beliau yang meminta
"Mama tidak mau jauh dari kalian. Meski kelak kalian punya rumah sendiri dan jauh dari Mama, tapi selama masih ngontrak, Mama berharap kalian betah di sini, dekat Mama." tutur mama mertua tujuh tahun lalu ketika kami bingung mencari kontrakan.
"Apalagi ini pengalaman pertama Mama punya menantu dan Mama belum terbiasa jauh dari Ridwan."
Tanpa pikir panjang, kami pun mengiyakan. Justru dengan berdekatan, kami berharap mampu mengurusi beliau di tengah peran kami sebagai pasangan dan orang tua.
"Husna!" Mama nampak berseri menyambut kedatanganku.
"Mama mau bikin salah satu masakan kesukaan suamimu. Rasanya sudah lama tidak membuatnya."
Tangan mama sibuk menata daun pepaya, daun singkong besar dan kecil. Aku kurang tahu jenis daun singkong besar itu tapi aku suka menamainya dengan singkong karet. Kemudian mama menaruh kelapa parut di atasnya disusul cabai rawit, ikan teri, pete selong, sedikit jengkol dan bumbu. Kemudian daun tersebut dilipat lalu diikat menggunakan tali rafia.
Aku sudah mampu menebak, mama mau membuat buntil.
"Kamu tahu kan, kalo buntil ini salah satu masakan kesukaan Ridwan? Dia pasti akan makan dengan lahap." Mama nampak antusias mengajariku. Dia tidak sadar dengan perubahan warna mukaku.
"Iya, Husna tahu, Ma."
"Tapi Mama belum pernah melihat kamu membuatnya," kata mama mertua, terdengar seolah sindiran tajam di telingaku, meski aku pun tahu beliau tak bermaksud demikian. Dia hanya ingin menyenangkan anaknya melalui aku, menantunya.
"Ya memang buntil itu sedikit ribet dibanding sayur asem, balado pindang, sayur lodeh, ayam goreng, serundeng, botok tempe."
Mama menyebut semua masakan kesukaan Ridwan dan selamat, aku sudah mahir membuat semua masakan tersebut, terlebih sudah mirip dengan buatan ibunya. Tapi no no untuk yang satu ini.
Sebelum menikah, sebenarnya aku sudah mahir membuat buntil karena masakan ini pula yang disukai mamaku. Bahkan aku suka bantu mama mengumpulkan bahan dengan mengambil sendiri dari kebun, kadang suka ditambahi daun talas. Namun, setelah menikah, aku merasa masakan ini adalah musuhku. Dialah yang suka bikin baper ketika aku berada di dapur. Memang ada rasa kangen pada masakan satu ini, tapi segera terhapus bahkan menjadi nama masakan yang menohok hati ketika ingat kisah suamiku.
Dua minggu setelah pernikahan, aku mengajaknya bercerita tentang masa lalu. Jika memang punya pengalaman dengan lawan jenis, misalnya pacaran, maka jujurlah supaya kita benar-benar ikhlas dengan cinta yang sedang bersemai di antara kita.
Aku tidak punya banyak cerita, karena memang tak pernah pacaran. Aku hanya punya pengalaman ketika SMP dan kuliah, ada cowok yang begitu antusias mengejarku.
"Bagaimana dengan Aa?" Segera kuakhiri ceritaku karena aku sudah penasaran dengan kisahnya.
Kutarik nafas perlahan dan semaksimal mungkin kuhangatkan ruang hati dengan zikir dan istighfar supaya jika ada yang membuatku cemburu tidak baper berlebihan.
Tak bisa kupingkiri, sebenarnya jantungku berdetak lebih cepat dan tubuhku sedikit menggigil karena khawatir yang kubayangkan, khawatir kisah suamiku terlalu mendalam. Tapi aku harus mampu menjadi sahabat yang siap mendengarkan kisahnya.
"Aa sempat bertunangan. Dia seusia dirimu, adik kelas ketika SMA. Beberapa bulan sebelum wisuda, kami bertemu di sebuah supermarket. Awalnya biasa, saling sapa, sekilas membahas pengalaman saat SMA dan berlanjut dengan saling tukar nomer telepon. Tak lama kemudian kami jadian. Setelah setahun LDR, karena dia sekolah kebidanan di luar kota, aku melamarnya dan kami pun bertunangan. Setelah lima bulan bertunangan, Aku berniat merencanakan pernikahan, tapi ya, itulah jodoh.
Aku berencana memberi kejutan. Dia tak cerita pulang ke rumahnya, kebetulan dia bekerja di klinik kakak sepupunya di kota yang sama tempatnya sekolah. Adiknya yang mengirim pesan kalo kakaknya pulang.
Aku pun ke rumahnya dan kulihat ada seorang lelaki yang kukira masih kerabatnya. Sambil menunggu Ann, begitu aku memanggilnya, kami bertegur sapa, ngobrol tanpa arah hingga Ann muncul. Aku menyambutnya rindu meski wajahnya terlihat kusut dan kedua matanya nampak sembab seperti telah menangis lama.
Hingga aku merasa harus segera mengatakan kalo kita akan menikah tahun ini. Kusangka dia menangis karena merindukanku."
Aa Ridwan menyela ceritanya dengan sedikit candaan, mungkin karena aku terlalu serius menyimaknya.
"Tapi lidahku tiba-tiba kelu. Aku merasa ada pisau menusuk dada ini dengan membabi buta. Lelaki berkaca mata nan perlente bilang kalo dia adalah calon suami Ann dan mereka harus segera menikah.
Pandanganku beralih pada Ann yang tertunduk pilu. Dia menganggukan kepala sambil sesenggukan menangis. Dia tak berani menatapku.
Aku menanyakan, apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba Ayahnya datang dan langsung menyambar.
"Maafkan kami, Nak Ridwan." Nafasnya terdengar berat.
"Kami memutuskan untuk membatalkan pertunangan ini dan silakan Nak Ridwan mencari gadis lain."
"Memangnya kenapa? Apa salah saya? Bahkan saya telah berencana untuk menikahi Ann tahun ini." Ann reflek mengangkat muka.
"Apa karena saya hanya dosen honorer?" Pertanyaan yang blur dan terlontar begitu saja.
"Sungguh saya merasa dipermainkan. Tak ada jawaban jelas dan mengambang. Seminggu kemudian, adiknya yang baru masuk SMP mengabarkan kalau kakaknya menikah dengan seorang perawat yaitu laki-laki yang pernah saya lihat di ruang tamu seminggu yang lalu. Mereka menikah ala kadarnya, katanya takut perut kakak semakin membesar."
[Hanya itu, Kak. Saya gak tahu, kakak sakit apa]
Pesannya lewat whatsapp.
"Deg! Apa mungkin Ann hamil di luar nikah? Aahh, jika iya…
Saya pun menyerah, berlari kepada Allah, kembali memantaskan diri dan berusaha melupakannya. Hingga beberapa bulan kemudian, begitu mudah dan cepatnya Allah mengirimkan bidadari berhati ikhlas."
"Mungkin sebab itu Aa segera melamarku?" Segera kuajukan pertanyaan untuk menutupi salting karena geer.
"Iya, ada bidadari sepertimu, rasanya harus cepat diikat. Apalagi ujian sebelumnya terasa berat."
Lalu apa hubungannya dengan buntil? Aku sempat mengajukan pertanyaan pada Aa tentang apa yang ia suka dari Ann, tentunya selain wajah dan kepribadiannya.
"Ann senang masak buntil karena tahu kalo itu salah satu masakan favoritku. Jika dia pulang dan main ke rumah, pasti dia bawa buntil, bahkan di hari ultah pun dia memberi kado buntil," jelas Aa.
Inilah alasannya kenapa aku gak mau dan belum pernah masak buntil. Bagiku, masakan itu seolah Ann yang pernah suami cintai. Di mana ada buntil, di sana suami akan menemukan cinta Ann, meski ia sudah bilang berkali-kali kalau itu masa lalu, bahkan itu adalah aibnya karena pernah menggenggam perempuan tanpa ikatan suci.
"Husna, kamulah bidadari terindahku. Aku banyak belajar darimu, tentang kesabaran dan kegigihan, pun tentang keikhlasan. Kita sudah belajar tauhid bareng dan kau pun tahu karena siapa kita saling mencinta?"
Tanganku sibuk memasak, sementara pikiran dan perasaan sibuk baper, air mata pun terus mengalir.
"Aku harus mampu bersahabat denganmu." Bisikku pada masakan yang ada di kuali.
"Ini hanyalah bisikkan setan dalam memupuk ketidaktenangan dalam rumah tangga lewat dirimu. Tak ada Ann dan apa pun tentang Ann dalam dirimu. Kamu hanyalah korban dari pikiran jelekku dan kamu akan terlahir kembali menjadi kenangan indah antara aku dan suami."
Begitulah, aku terus mempengaruhi akal dan perasaan supaya mau move on, mau membuang jauh prasangka jelek terhadap cinta suami. Dan demi rida suami dan cinta pada Allah, aku mohon pada-Mu, ya Allah, bantu aku untuk memperbaiki semuanya. Engkau pemilik hati yang maha membolak-balikan hati, maka jagalah hatiku dan hati suami supaya cinta kami terjaga fillah dan lillah. Aamiin.
"Hmm,,, rupanya Umm terlalu fokus masak sampai tak menjawab salam dan membukakan pintu." Tangan kekarnya telah melingkar di pinggangku dan badannya mendekap tubuh kurusku. Saking khusyuknya menyugesti diri, aku tak menyadari kedatangannya.
"Maasyaallah, Umm masak?" ujarnya seolah mimpi. "Benarkah?"
Aku hanya mengangguk karena malu dengan air mata yang terus keluar, padahal mata ini sudah terasa perih dan menyipit.
"Tak apa," katanya mafhum.
"Bi bangga sama Umm. Itu artinya Umm sudah percaya bahwa Abi mencintai Umm sepenuhnya, tak pernah terpikir perempuan lain. Seperti kata dr. Aisyah Dahlan, laki-laki itu hanya fokus pada perempuan yang ada di hadapannya, di dekatnya. Tuh, secara data juga laki-laki itu susah membagi perasaan kemudian menyembunyikannya, makanya banyak laki-laki selingkuh langsung ketahuan. Berbeda dengan perempuan yang pintar selingkuh hati dan perasaan, karena pikirannya mampu bercabang."
"Maafkan Umm, Bi. Selama ini Umm gak bisa move on dari masa lalu Abi." Kuhapus air mata. Entahlah, perasaan apa ini? Tapi rasanya plong banget, seolah aku telah membuang beban berat yang selama ini kupikul.
Aku sungguh serasa terlahir kembali, terbebas dari masalah yang kurajut sendiri.[]
Photo : Pinteres