Sistem Pemerintahan Islam Antisuap

"Praktik suap ini tidak hanya merugikan individu, namun juga merugikan msyarakat hingga merusak sendi-sendi kehidupan dalam sebuah negara".

Oleh: Miladiah Al-Qibthiyah
(Pegiat Literasi dan Media)

NarasiPost.Com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar rekonstruksi kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial (Kemensos) tahun anggaran 2020.

Rekonstruksi digelar di Gedung ACLC KPK Kavling C1, Rasuna Said, Jakarta Selatan. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, rekonstruksi digelar salah satunya untuk memperjelas suap yang diberikan pengusaha Harry Van Sidabukke kepada para pejabat di Kemensos tersebut.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan mantan Mensos, Juliari Peter Batubara dan empat tersangka lainnya sebagai tersangka suap terkait program bantuan sosial penanganan virus corona (Covid-19) di wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Praktik Kotor Politik Demokrasi

Praktik suap menyuap dalam sistem politik demokrasi bukan lagi hal yang tabu, bahkan menjadi lahan subur tumbuhnya praktik-praktik kotor. Hak membuat hukum secara penuh berada di tangan rakyat merupakan kecacatan dalam demokrasi, sebab produk hukum yang dihasilkan akan menghasilkan individu-individu yang memiliki kepentingan baik untuk pribadi maupun kelompok.

Kejahatan dalam demokrasi tak pandang bulu. Siapa pun bisa melakukan praktik kotor. Namun, yang bikin hati rakyat meringis adalah para wakil rakyat yang diklaim representasi umat, nyatanya merekalah yang menumbuhsuburkan praktik kotor tersebut. Bukan hanya itu, para pejabat selevel menteri pun juga melakukan suap. Padahal, bila dikalkulasi gaji pokok dan tunjangan pejabat menteri hampir mencapai 20 juta rupiah. Belum lagi jika memiliki kekayaan pribadi senilai miliaran rupiah. Namun mirisnya, hal itu tidak membuat mereka berpuas diri.

Sistem demokrasi akan membentuk sifat rakus. Salah satu faktor yang menyebabkan oknum pejabat melakukan suap adalah mahalnya biaya politik demokrasi. Demi mengembalikan modal, maka praktik suap ataupun korupsi akan dilakukan. Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar, dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah. Demokrasi juga melahirkan politik transaksional, dimana kedaulatan adalah kekuatan tertinggi dalam menentukan benar dan salah.

Sejumlah praktik kotor pada proyek nasional, infrastruktur, bantuan sosial, hingga pendanaan penanggulangan bencana telah menjadi sasaran empuk para elit untuk mencicipi uang negara. Demokrasilah yang memberikan peluang suap dan korupsi terhadap berbagai proyek dan pendanaan.

Demokrasi yang merupakan anak kandung kapitalisme meniscayakan lahirkan individu kapitalistik. Asas pemisahan agama dari kehidupan yang melandasinya, mustahil mewujudkan pemimpin dan pejabat yang takut pada Sang Pencipta manusia, yakni Allah Swt. Sebaliknya, akan melahirkan pemimpin zalim dan ingkar janji. Praktik suap ini menjadi salah satu bukti rapuhnya sistem yang dibuat oleh akal manusia yang lemah dan terbatas, yakni demokrasi.

Pandangan Islam Perihal Risywah (Suap)

Secara syar’i, praktik suap-menyuap hukumnya haram, baik memberi atau menerima pemberian. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219, pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya.

Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa Rasulullah Saw. telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap." (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Juga hadis dari Tsauban ra bahwa. "Rasulullah Saw. telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya." (HR Ahmad)

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadis di atas dengan berkata, ”Hadis-hadis ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudarat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.”

Terlebih jika suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan syariat Islam.

Sistem Islam Anti Suap

Dalam sistem pemerintahan Islam, praktik suap dan sejenisnya tidak akan dijumpai. Sebab, seluruh rakyat dan aparatur negara terikat dengan hukum syariat. Sistem Islam akan menindak tegas pelaku suap. Selain itu, mereka akan dilaknat oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum.” (HR.Tirmidzi)

Dalam sistem pemerintahan Islam, rakyat dan pejabat akan tersuasanakan dengan keindahan aturan Islam. Sistem Islam akan meri'ayah seluruh warga negara melalui pengawasan individu, masyarakat, hingga negara.

Pertama, pengawasan individu yang dilakukan adalah dengan menanamkan ketakwaan pada setiap rakyat, sehingga muncul rasa takut kepada Allah Swt. Mereka senantiasa merasa diawasi oleh Allah tatkala terbesit ingin melakukan tindak kejahatan. Dengan ketakwaan individu, mereka sadar bahwa setiap amanah yang dibebankan untuk mengurus kehidupan rakyat dan negara akan dimintai pertanggungjawaban.

Kedua, pengawasan masyarakat dilakukan dengan membentuk keterikatan mereka pada aturan Islam. Ketika Islam menjadi satu aturan yang diberlakukan di dalam lingkungan masyarakat, maka mereka akan terdorong melakukan amar makruf nahi mungkar. Merek senantiasa menyampaikan kebenaran dan kebaikan melalui dakwah. Pun, mencegah berbagai tindak kejahatan di tengah masyarakat. Masyarakat dididik dengan membentuk di dalam diri mereka jiwa pengontrol sosial dan pengoreksi para pejabat negara. Sehingga akan meminimalisasi praktik suap di kalangan pejabat.

Ketiga, pengawasan negara tidak kalah penting, sebab negaralah yang menjalankan aturan Islam secara kafah. Negara akan menetapkan kebijakan berdasarkan standar Al-Qur'an dan As-sunah. Segala aktivitas di setiap lini kehidupan berbasis akidah Islam. Sehingga praktik-praktik kotor semisal suap sangat minim ditemui. Negara juga akan memberlakukan sistem sanksi yang memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan. Khusus pelaku suap akan dikenai hukum ta'zir. Sehingga, mereka akan segan melakukan praktik suap.

Sistem pemerintahan Islam sangat memperhatikan kesejahteraan hidup para pejabat negara. Negara memberikan gaji yang layak, memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan melarang setiap pejabat negara menerima hadiah dalam bentuk apapun. Bentuk perhatian dari negara ini adalah satu di antara upaya pencegahan adanya praktik suap.

Khalifah Umar bin Khaththab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak, tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya.

Sistem pemerintahan Islam akan bersungguh-sungguh memberangus praktik suap, sebab tindakan suap-menyuap diharamkan di dalam Islam. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat mendapatkan laknat Allah Swt. Tidak hanya di dunia mereka sengsara, pun di akhirat kelak, mereka tidak akan selamat. Mereka menjadi golongan orang-orang yang merugi. Sebagimna sabda Nabi Saw. “Yang menyuap dan yang disuap masuk neraka.” (HR Ath-Thabrani)

Praktik suap ini tidak hanya merugikan individu, namun juga merugikan msyarakat hingga merusak sendi-sendi kehidupan dalam sebuah negara. Karena itu, umat merindukan tegaknya sistem pemerintahan Islam berlandas Al-Qur'an dan As-Sunnah, merujuk pada sistem kepemimpinan Rasulullah Saw. yang akan membawa rahmat bagi semesta alam. Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Miladiah al-Qibthiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Sebuah Kerinduan
Next
Antara Kasus Jilbab SMKN 2 Padang dan Pemimpin yang Adil
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram