Dengan pengelolaan APBN yang sesuai dengan syariat Islam, dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan maju.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan bagian penting dalam sebuah negara. Pasalnya, APBN berfungsi untuk mengetahui apakah alokasi dana pemerintahan telah sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah selama satu tahun ataukah tidak. Alokasi APBN juga untuk mengetahui bagaimana efisiensi dan efektivitas perekonomian dalam sebuah negeri. Alokasi APBN juga diperuntukkan untuk menyejahterakan rakyat, di mana untuk mengentaskan kemiskinan, mengatasi pengangguran, dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui, setiap awal tahun Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan akan memaparkan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kali ini Sri Mulyani blak-blakan terhadap kondisi APBN pada kuartal I/2024 yang sekaligus menjadi kondisi terakhir penyusunan belanja negara pada masa kepemimpinan Joko Widodo. Menurut Sri, kondisi APBN 2024 pada masa akhir jabatan Jokowi masih mengalami surplus Rp8,1 triliun atau 0,04% dari GDP (ekonomi.bisnis.com, 27/04/2024).
Lantas, apa saja poin penting dalam APBN pada masa akhir kepemimpinan Joko Widodo? Bagaimana tambal sulam APBN dalam sistem saat ini? Mampukah APBN menyejahterakan rakyat? Bagaimana APBN dalam Islam?
Poin Penting APBN 2024
APBN Indonesia pada kuartal I/2024 dinyatakan mengalami surplus walaupun sangat minim. Namun, tidak hanya itu, APBN pada akhir masa kepemimpinan Joko Widodo juga memiliki beberapa poin penting lainnya yang wajib rakyat Indonesia ketahui.
Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, (27/04/2024), ada beberapa poin penting APBN per kuartal I/2024, di antaranya yaitu;
Pertama, penerimaan negara di awal Maret 2024 menurun 4,1% secara year on year (yoy).
Kedua, belanja di APBN terpantau menanggung beban lebih besar di tahun 2024 yaitu pengeluaran mencapai Rp611,9 triliun atau 18,4% dari pagu belanja tahun ini. Anomali belanja terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024.
Ketiga, penerimaan pajak terbilang cukup seret di karenakan adanya penurunan signifikan harga komoditas di tahun 2023 lalu.
Keempat, pemerintahan Jokowi kembali mengambil utang baru Rp104,7 triliun per kuartal I/2024 untuk menambal biaya belanja pemerintah dan mencicil utang.
Kelima, proyeksi APBN mengalami defisit, salah satunya dikarenakan adanya subsidi energi yang mengalami peningkatan sebesar 13,8%, termasuk subsidi BBM.
Keenam, pembelanjaan untuk realisasi IKN yang mencapai Rp72,1 triliun.
Ketujuh, digadang-gadang proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2024 mencapai 5,17%.
Kondisi APBN 2024 ini akan mengalami perubahan disebabkan asumsi makro dalam APBN telah banyak melenceng dari yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satunya yakni adanya perubahan nilai kurs. Dalam APBN nilai kurs ditetapkan sebesar Rp15.000 per dolar AS, tetapi nyatanya kurs naik sebesar Rp16.000 per dolar AS, dan masih banyak yang lainnya.
Jeratan Kapitalisme
Dari fakta pemasukan dan pengeluaran negara di atas, telah tampak adanya tambal sulam dalam APBN. Walaupun Menteri Keuangan mengatakan negara kita mengalami surplus, tetapi nyatanya negeri ini harus mengambil utang untuk menambal biaya pengeluaran negara. Seperti biasa, utang senantiasa menjadi cara ampuh bagi sebuah negara untuk menutupi defisit pengeluaran belanja negara.
Padahal, utang dalam sistem kapitalisme justru menjadi racun yang membunuh kedaulatan negeri ini secara perlahan. Bagaimana tidak, untuk menarik utang pasti ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara ini, entah itu berupa perjanjian akan kemudahan masuknya investor asing, berbagai kebijakan yang harus mengikuti negara pemberi utang, ataupun syarat yang lainnya.
Syarat tersebut jelas akan menguntungkan negara pemberi utang yang nantinya akan mencengkeram negeri ini. Belum lagi, utang bersandar pada dolar yang mengakibatkan APBN negara habis terkuras untuk membayar pokok utangnya saja. Hal ini makin memperkuat kita agar tunduk terhadap kepentingan Barat, seperti Amerika Serikat. Padahal, telah jelas bahwa Allah melarang kaum muslim tunduk atau berada pada kondisi dikuasai oleh orang kafir. Allah berfirman,
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
“Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
Begitu pula dengan sistem perpajakan yang merupakan salah satu sumber pemasukan negara, maka ketika pajak seret akan berimplikasi pada besaran pemasukan negara. Dengan kata lain, ketika pajak seret, keuntungan negara akan kolaps. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme pajak akan terus digenjot untuk mendapatkan hasil yang maksimal sebagai salah satu instrumen untuk menopang pemasukan negara. Walaupun pajak yang dipungut kepada masyarakat tanpa pandang bulu mencekik mereka, tetapi negara tetap menerapkan sistem perpajakan tersebut. Hal ini karena negara tidak memiliki sumber pemasukan tetap.
Inilah jeratan sistem kapitalisme yang membuat negara tidak akan bisa mandiri dalam mengelola negerinya. Bahkan, negeri ini akan sulit menciptakan iklim ekonomi yang stabil dan menyejahterakan rakyatnya. Sebab, prioritas dalam sistem ini hanyalah pada kepentingan para penguasa dan oligarki.
Salah Kelola APBN
Sejatinya, adanya tambal sulam APBN dari utang, dan pemasukan negara dari pajak, serta biaya pengeluaran yang tidak efisien mengindikasi bahwa terjadi sengkarut dalam pengelolaan APBN. Alhasil, fungsi alokasi APBN yang harusnya bisa menyejahterakan rakyat justru membuat rakyat sengsara dan terbebani. Sebagaimana disebutkan di atas, salah satunya penetapan pajak yang justru mencekik rakyat.
Wajib kita pahami bahwa sengkarut pengelolaan APBN diakibatkan adanya penerapan ideologi kapitalisme, yakni sistem kelam yang membuat negeri ini justru tengelam dalam jurang kemelaratan. Bagaimana tidak, sistem ini tidak memiliki pedoman pemasukan negara secara tetap. Pemasukan negara difokuskan dari utang dan pajak, sedangkan meninggalkan potensi pemasukan negara yang begitu besar yang berasal dari kekayaan alam negeri ini.
Akibat penerapan ideologi kapitalisme dengan paham liberalismenya membuat hasil kekayaan alam yang harusnya bisa menjadi salah satu pemasukan negara untuk menyejahterakan rakyat justru dikuasai oleh para oligarki. SDA dianggap sebagai harta yang bebas dikuasi oleh siapa saja. Oleh karenanya, negara membuka keran investasi, baik pribumi maupun asing untuk mengelolanya dan membolehkan untuk memilikinya secara pribadi. Alhasil, SDA yang begitu melimpah hanya dimiliki oleh para pemilik modal, sedangkan rakyat pemilik yang sesungguhnya justru menderita. Inilah kebobrokan dari ideologi kapitalisme yang harus segara dilengserkan dari kehidupan dunia ini.
Pengelolaan APBN dalam Islam
Islam merupakan ideologi satu-satunya yang mampu membangun ekonomi negara dengan kuat. Sebab, ideologi Islam menerapkan sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat. Sistem keuangan atau APBN dalam Islam disebut baitulmal. Baitulmal adalah pos pemasukan dan pengeluaran belanja negara yang berprinsip untuk kesejahteraan rakyat, bukan mencekik ataupun menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, dia memiliki basis pengeluaran dan pemasukan sesuai dengan syariat Islam.
Pemasukan baitulmal bukan berasal dari pajak yang bersifat tetap, masuknya investor asing, apalagi utang atau pinjaman ribawi yang justru menggerus kedaulatan negara. Baitulmal memiliki pemasukan yang tetap yang diatur dalam sistem ekonomi Islam. Pemasukan baitulmal tersebut bersifat tetap, di antaranya yakni kharaj, fai, usyur, khumus, jizyah, anfal, zakat, ganimah, dan hasil pengelolaan SDA.
https://narasipost.com/opini/08/2021/utang-instrumen-whatever-it-takes-benarkah-untuk-rakyat/
Pemasukan negara yang bersifat tetap ini cukup besar, sebagaimana dikatakan oleh Pengamat Ekonomi, Nida Saadah, S.E., M.E.I., Ak, yang mengungkapkan bahwa pemasukan zakat mal saja apabila dikumpulkan, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar sekitar Rp200 triliun. Belum lagi hasil pengelolaan harta kepemilikan umum yang begitu besar, seperti hasil hutan, laut, dan barang tambang lainnya yang tidak ternilai jumlahnya. Jika seluruhnya dikelola dengan asas Islam, jelas akan melebihi APBN Indonesia saat ini. Sebagaimana pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, baitulmal mengalami surplus sekitar 600 juta dinar atau Rp2.000 triliun.
Begitu pula dengan pengeluaran. Khilafah mengatur pengeluaran dengan sangat ketat. Pengeluaran negara hanya diprioritaskan untuk kemaslahatan rakyat semata, hal ini sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu ruang kerjanya ketika membicarakan masalah keluarga. Ini dilakukan karena dana yang digunakan untuk lampu ruang kerjanya berasal dari uang negara. Pengeluaran benar-benar digunakan untuk membiayai kepentingan masyarakat, seperti memenuhi kebutuhan per individu masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan. Kemudian kebutuhan lainnya seperti penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan, bahkan BBM, listrik, dan kebutuhan rakyat lainnya.
Khatimah
Dengan pengelolaan APBN yang sesuai dengan syariat Islam, dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan maju. Sebab, potensi besar tersebut sangat terlihat jelas. Oleh karena itu, sudah saatnya sistem Islam diterapkan agar negeri ini mampu menyejahterakan rakyatnya dan terbebas dari cengkeraman kaum penjajah, seperti Amerika Serikat dan lainnya. Wallahu A'lam Bissawab. []
APBN sering kali defisit dan harus ditambal dengan utang sesungguhnya menunjukkan kalau negeri ini memiliki sistem keuangan yang sangat rapuh. Apalagi hanya pajak yang terus diobak-obok.
Negara kaya tapi banyak hutang, itulah Endonesyah. He he
Bagaimana itu nambah utang untuk bayar utang plus bunga. Astagfirullah kapan mau selesainya nih utang negara?
Yes sependapat hanya back to sistem Islam solusi tuntas segala permasalahan
Yah begitu Bun, tambal sulam. Gali lubang tutup lubang. Anehnya lagi dibilang surplus, padahal nambah utang
Akan selalu banyak alasan untuk menjelaskan kondisi anggaran negara. Pentimgnya utang, subsidi yang makin menjadi beban, kurs dollar naik, dll. Ujungnya negara selalu benar da rakyat harus menerima. Sejatinya, anggaran selalu dibuat negatif agar bergantung pada utang
Solusinya kembali pada Islam ngeh Bu.