Bukannya menyalahkan istri saat gemar menonton sinetron, seharusnya para suami harus peka dan menyelidiki kasus ini dan bisa lebih berkomunikasi terbuka dengan istrinya.
Oleh. Endang Wardani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tentu di antara pembaca tidak asing dengan sinetron 'Ikatan Cinta' yang pernah booming di pertelevisian Indonesia itu bukan? Bagaimana ceritanya, bagus? Dan apakah para pembaca selalu mengikuti alurnya hingga ratusan episode?
Di dalam konteks kemasyarakatan sering kita mendengar istilah 'emak-emak doyan sinetron', 'anak kecil doyan kartun', dan 'bapak-bapak doyan berita'. Hal ini sangat benar adanya. Mengingat betapa tingginya penonton sinetron di negara kita yang mayoritas digandrungi kaum ibu rumah tangga. Menjadi pertanyaan besar mengapa banyak emak-emak menggilai serial televisi? Padahal kita semua pun paham acara opera sabun seperti sinetron sangat minim edukasi dan lebih cenderung hanya menyuguhkan hiburan semata.
Ini semua bisa kita jawab melalui berbagai macam sudut pandang. Namun, yang umum serta akurat menjadi referensi kita kali ini adalah alasan secara psikologis atau faktor kejiwaan. Sinetron berisi beragam adegan yang membuat kita terjun secara emosional ke ranah kesedihan, kegembiraan, ketakutan, bahkan petualangan hebat yang membuat hormon stres dalam tubuh kita dilepaskan sebab kita merasa terhibur. Selain itu visualisasi indah dari aktor dan aktris serta setting lokasi yang ciamik membuat hati para penontonnya begitu senang dan betah berlama-lama memantau layar kaca.
Sangat sering, adegan episode terakhir dari sinetron tersebut sengaja dipotong agar membuat pemirsa penasaran dan menonton di episode berikutnya. Hal inilah yang makin membuat penonton drama pun menjadi makin tertantang untuk mengetahui akhir dari perjalanan cerita serial kesayangan mereka. Tak tanggung-tanggung bahkan komisioner KPU di salah satu platform berita mengungkapkan ada sekitar 60% masyarakat Indonesia adalah penyuka sinetron.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tindakan para wanita yang melihat serial TV. Namun, yang membuat semua jadi kacau saat mereka mulai melupakan tugas rumah tangga demi menyempatkan diri menonton aksi pemeran favoritnya di TV. Bahkan saat suami mereka pulang dari bekerja, para ibu-ibu kebanyakan malah tidak mengurusi pasangannya. Mereka lebih peduli menyaksikan 'suami khayalan' mereka beraksi di media kaca dibanding melihat suami asli mereka yang setiap hari memberikan mereka nafkah lahir dan batin. Sungguh sikap seperti ini sangat disayangkan.
Padahal kita tahu apa hak dan kewajiban suami istri dalam Islam.
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri mengerjakan salat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya” [2]
Faktor lain penyebab kaum hawa menyenangi sinetron, ialah faktor tiadanya hiburan lain selain menonton acara televisi murah meriah yang mampu diakses dengan mudah oleh masyarakat. Acara-acara berkualitas cenderung jarang terlihat bahkan hanya tayang di acara streaming berbayar. Tentu hal ini membuat tak semua pihak mampu menyaksikan acara-acara bermutu secara gratis dan mudah. Ya, ujung-ujungnya ibu-ibu rumah tangga akan kembali melihat drama di layar kaca meskipun membosankan.
Faktor lain yang tak kalah penting menyokong pertumbuhan angka penonton drama adalah sebab kesenangan mereka pada aktor pria yang memerankan serial tersebut. Dalam kehidupan nyata, barangkali mereka kurang mendapatkan cinta dan perhatian dari para pasangan mereka sehingga melampiaskannya dengan mencari sosok 'suami khayalan' di dunia sinetron.
Menyaksikan adegan romantis antara tokoh wanita dan tokoh pria tentu membuat para penonton wanita kegirangan merasa seolah-olah merekalah tokoh wanita di dalam acara tersebut. Menurut hemat saya, jika para kaum wanita tersebut mendapatkan kasih sayang yang cukup dari pasangannya, mereka tentu akan menghabiskan waktu mengurus keluarga dan tidak tergiur dengan tokoh-tokoh tampan di TV yang membuat semua emak-emak 'melayang'.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius para bapak-bapak beristri. Bukan menyalahkan istri saat gemar menonton sinetron, seharusnya para suami harus peka dan menyelidiki kasus ini dan bisa lebih berkomunikasi terbuka dengan istrinya. Barangkali saja sang istri sedang dirundung kelelahan fisik dan mental hingga mencari pelarian dengan menonton serial TV secara berlebihan, bahkan sampai kecanduan.
Sebagai kepala keluarga, suami harus mampu mendidik anggota keluarganya ke arah yang lebih baik. Tentu dengan memakai metode pendekatan yang lemah lembut. Berbicara dari hati ke hati dengan pasangan, menanyakan keluhan selama mengurus anak-anak, membantu membereskan pekerjaan rumah, serta memberikan nafkah kebutuhan lahir batin dengan makruf sesuai kemampuan. Perlahan tentu sang istri yang tadinya lebih senang melihat romantisisme drama malah akan berbalik menyenangi keromantisan pasangan halalnya sendiri.
https://narasipost.com/opini/12/2022/ibu-berdaya-anak-minus-etika/
Jika sebagai suami, bapak-bapak tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi sinetron yang merajalela di rumah, maka inilah akibatnya. Menonton serial televisi secara berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental penonton. Secara otomatis pandangan hidup kita yang realistis akan berubah seperti pandangan hidup yang kesinetronan. Seperti mudah panik, mudah cemas, galau berlebihan, prasangka berlebihan terhadap sesuatu, bahkan sampai pada tindakan ekstremis yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Terlebih lagi bila tayangan yang ditonton tiap hari ialah jenis yang mengandung banyak adegan kekerasan dan vulgarisme. Tentu hal ini harus Ibu-ibu waspadai. Jangan melarang keluarga menonton sinetron jika kita sebagai 'Ratu di dalam Rumah' tidak bisa mengendalikan diri dalam melihat tayangan TV. Tentu kita tidak mau 'kan anak-anak kita terpapar radiasi buruk tontonan tak mendidik. Lalu, kenapa malah tidak memberi contoh yang benar?
Terlepas dari alasan apa pun itu yang mendasari kaum hawa Indonesia menyukai sinema elektronik, sebagai manusia dewasa kita harus bijaksana memilah dan memilih tontonan yang bisa kita tonton bersama keluarga. Bukankah lebih baik waktu yang habis terbuang untuk menonton sandiwara TV kita pakai untuk hal-hal yang lebih baik seperti membaca buku, menonton ceramah, ikut kajian agama, berkebun, berolahraga, dan lain sebagainya? Hal-hal seperti itu tentu lebih memberi dampak positif bagi kesehatan mental kita dan terhindar dari memubazirkan waktu. Allahu a’lam.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
إضاعةُ الوقت أشدُّ من الموت ؛ لأنَّ إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموتُ يقطعك عن الدنيا وأهلها
“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan penduduknya”. [Al-Fawaid hal 44] []
Ini banyak terjadi di pelosok, di mana emak-emak sangat suka sinetron. Jadi ingat dulu ada emak-emak yang sudah sepuh ikutan emosi saat nonton sinetron.
Betul, di kampung hiburan emak-emak memang cuma TV
Tamparan keras buat saya yang hobi nonton "drama perfilm-an" :') meskipun sudah terhitung jarang tapi tetap saja banyak unfaedahnya xixixi
Biasanya yang doyan sinentron karena memang tidak memiliki skala priotitas dalam hidupnya. Jika sadar betapa banyak ilmu agama yang belum diketahui, betapa banyak persoalan umat, sinetron sudah lama ditinggalkan.
Semoga bermanfaat