Kemajuan seorang perempuan tidaklah dilihat dari keberhasilannya mengumpulkan harta duniawi, tapi saat perempuan itu mampu menjadikan dirinya tunduk terhadap segala perintah Allah Swt.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perempuan memang selalu menjadi objek yang menarik untuk dibahas. Kondisinya dari masa ke masa kerap menjadi perhatian publik. Di zaman jahiliah, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup dan tak memiliki hak hidup. Mereka yang memiliki bayi perempuan, dianggap sebagai aib. Saat itu, mereka begitu direndahkan dan tak dipandang dalam kehidupan. Kemudian Islam datang dan memberikan napas baru bagi perempuan. Islam mengangkat derajat mereka dari kehinaan menuju kemuliaan. Islam sama sekali tidak membedakan posisi antara laki-laki dan perempuan.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ
Artinya: “Maka Tuhan memperkenankan permohonannya dengan berfirman, Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.”
Sayangnya, seiring dengan keruntuhan Khilafah dan kuatnya cengkeraman peradaban kapitalisme di negeri-negeri kaum muslim, Islam justru difitnah sebagai pihak yang membuat para perempuan terbelakang, hanya karena beberapa peraturan Islam yang mereka anggap mengekang kebebasan wanita. Narasi emansipasi atau penyeruan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki semakin santer digaungkan. Namun, sayang beribu sayang. Emansipasi yang diagungkan, justru berujung dengan eksploitasi tanpa batas. Wanita yang awalnya ingin dimuliakan, justru kembali jatuh terperosok dalam lembah kehinaan. Tanpa mereka sadari, semakin mereka coba menjauh dari Islam, sesungguhnya mereka semakin mendekati lembah kehinaan.
Perempuan dan Emansipasi
Tanggal 21 April senantiasa diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini digelari pahlawan yang memperjuangkan emansipasi bagi perempuan pribumi. Kaum feminisme sering menjadikan Kartini sebagai tameng bagi mereka untuk mengusung ide emansipasi. Padahal, Kartini adalah sosok yang juga mendalami Islam. Hal ini tertera dengan jelas pada surat-surat beliau yang ditulis kepada para sahabatnya.
Surat Kartini tertanggal 1 Agustus 1903 kepada Ny. Abandanon, tertulis di dalamnya:
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah (Abdullah).” (ejournal2.undip.ac.id)
Surat beliau sebelumnya pada tanggal 27 Oktober 1902, tertulis:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di dalam masyarakat yang indah itu terdapat banyak hal-hal yang tak layak disebut sebuah peradaban?”
Kemudian surat Kartini kepada Ny. Van Kol pada tanggal 21 Juli 1902, juga tertulis:
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Surat Kartini kepada Profesor Anton pada tanggal 4 Oktober 1902 juga dengan gamblang mengatakan:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Di dalam surat-surat yang ditulis oleh Kartini selanjutnya banyak tertulis kata-kata “Dari Gelap Kepada Cahaya”, yang terinspirasi dari surah Al-Baqarah ayat 257 pada kata مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ yang dalam Bahasa Belanda menjadi “Door Duisternis Tot Licht”, kalimat ini kehilangan maknanya saat diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi “Habis Gelap Terbirlah Terang”. (ejournal2.undip.ac.id)
Emansipasi Berujung Eksploitasi
Kaum feminisme yang menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan atau emansipasi dan kesetaraan gender dalam segala hal justru membawa mereka ke lembah kenestapaan. Pasalnya, ide ini justru menggerus habis fitrah seorang perempuan.
Kaum feminisme sering menuding Islam sebagai agama yang tidak adil terhadap wanita, seperti syariat kebolehan poligami dan keharaman poliandri, kebolehan lelaki menjadi kepala negara dan keharaman posisi itu jika diduduki oleh perempuan, kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja dan kewajiban wanita adalah mengatur rumah tangga, syariat yang berbeda dalam berpakaian, pembagian waris di mana bagian laki-laki lebih banyak ketimbang kaum perempuan, dan berbagai hukum Islam lain yang sering dituduh menjadi penyebab keterbelakangan kaum perempuan.
Kaum feminisme pun menarik wanita dari fitrahnya. Mereka dipaksa untuk bersaing dengan pria dalam hal apa pun. Jika lelaki bisa menjadi kepala negara, maka perempuan juga dituntut untuk bisa. Jika laki-laki bisa bekerja secara penuh, maka mereka juga harus bisa. Emansipasi yang katanya untuk kemajuan, justru menjadi eksploitasi bagi kaum perempuan. Tak sedikit dari mereka yang rela mengumbar aurat hanya karena tuntutan pekerjaan, bahkan mereka rela menampakkan aurat mereka hanya demi “cuan”.
Kapitalisme Biang Kemunduran Perempuan
Sistem hidup kapitalisme yang bersandar kepada materi telah mengakibatkan kerusakan sistem kehidupan. Kapitalisme telah menjadikan wanita sebagai mesin pemberi keuntungan yang sangat besar. Dengan berbagai propaganda di tengah masyakarat, kapitalisme telah berhasil membuat para perempuan meninggalkan peran utama mereka.
Para perempuan dirusak lewat standar hidup kapitalisme yang hedonis. Perempuan-perempuan muslim disuguhi dengan pemandangan wanita sukses yang bergelimang harta, kemudahan, dan kenyamanan hidup hingga membuat kaum muslimah lupa siapa sebenarnya yang layak mereka jadikan teladan.
Islam Memuliakan Perempuan
Ketika Islam datang dan membawa taklif bagi manusia, baik perempuan maupun laki-laki dan ketika Islam menetapkan solusi atas permasalahan yang muncul dari aktivitas mereka, Islam sama sekali tidak memandang kesetaraan atau keunggulan dari keduanya. Kata kesetaraan gender juga tidak ada sama sekali dalam khazanah perundang-undangan Islam, sebab Islam menilai bahwa keduanya adalah makhluk Allah yang memiliki peran masing-masing dalam menjalani kehidupan. Keduanya berjalan di jalur yang berbeda yang sama-sama bertujuan untuk meraih rida Allah.
Istilah keadilan dan kesetaraan gender justru hadir di tengah umat Islam saat mereka mulai bersentuhan dengan peradaban asing. Oleh karena itu, ihwal emansipasi atau kesetaraan gender bukanlah suatu hal yang harus dibahas di dalam Islam. Islam telah menetapkan sistem pergaulan berdasarkan landasan yang kokoh, yang akan menjamin keutuhan dan ketinggian komunitas baik bagi laki-laki maupun perempuan. Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ
Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak Adam.”
Allah Swt. telah mensyariatkan berbagai hak dan kewajiban bagi seorang perempuan serta menetapkan hak dan kewajiban bagi seorang pria. Jika hak dan kewajiban itu bersifat manusiawi seperti salat, zakat, puasa, haji, dakwah, jual beli, ijarah, dan aktivitas kemanusiaan lain, maka akan kita temui adanya kesatuan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.
Namun, ada kalanya Allah menetapkan hak dan kewajiban bagi manusia dengan melihat predikat mereka sebagai perempuan dan laki-laki, seperti kewajiban berpakaian yang berbeda antara mereka, bahkan Islam melarang kaum perempuan untuk menyerupai laki-laki dan begitu pun sebaliknya. Islam telah menetapkan kewajiban utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta menetapkan kewajiban laki-laki sebagai kepala keluarga. Islam juga menetapkan hukum bekerja bagi seorang perempuan adalah mubah, sedangkan bekerja untuk mencari nafkah bagi laki-laki adalah sebuah kewajiban.
Demikianlah hukum Islam datang untuk mengatur kehidupan, baik hal yang berkaitan dengan ihwal kemanusiaan maupun yang berkaitan dengan predikat sebagai perempuan dan laki-laki. Islam melarang keduanya untuk saling iri, dengki, dan menganggap Allah melebihkan salah satu di antara mereka, sebab di antara keduanya telah terdapat kebaikan di jalurnya masing-masing.
Khatimah
Emansipasi yang berujung eksploitasi hanya terjadi ketika negeri-negeri kaum muslimin hidup di bawah sistem kapitalisme liberal yang mengagungkan kebebasan. Kondisi kaum perempuan tetap akan hina selama sistem ini masih menjadi bagian dari kehidupan manusia.
https://narasipost.com/opini/04/2021/kartini-dan-emansipasi-dalam-persektif-islam/
Kemuliaan perempuan hanya akan terwujud ketika umat manusia mau menerapkan hukum Islam secara kaffah, sebagaimana dulu saat Islam datang dan berhasil mengangkat derajat kaum perempuan. Para perempuan dimuliakan Allah dengan berbagai syariat yang telah ditetapkan atas mereka. Kemajuan seorang perempuan tidaklah dilihat dari keberhasilannya mengumpulkan harta duniawi, tapi saat perempuan itu mampu menjadikan dirinya tunduk terhadap segala perintah Allah Swt.
Wallahu’alam bishowab []
Pasti kerusakan yg di timbulkan saat menyalahi fitrah dan itu benar terjadi adanya..d kondisi sistem saat ini dan banyak fakta membuktikan..
Pada intinya, syariat Islam memiliki aturan yang tepat bagi laki-laki dan perempuan. Ada aturan yang sama untuk keduanya, ada pula yang berbeda untuk keduanya.
Yang aneh adalah ketika laki-laki dan perempuan harus menyalahi fitrah masing-masing sebagaimana yang diperjuangkan para feminis..
Emansipasi wanita dalam sistem kapitalisme hanyalah jebakan yang justru membuat wanita makin sengsara.
Masyaallah betapa terjaganya keberadaan wanita dalam Islam. Funsi utamanya sebagai pengurus rumah tangganya berjalan dgn baik. Ia tdk perlu banting tulang keluar rumah, fitrahnya benar2 terlindungi. Duh jadi rindu sistem Islam segera tegak.
Ma syaa Allah.. mmglah.. Hanya Islam yang melindungi fitrah seorang wanita.