"Lagi-lagi politik adu domba merasuki berbagai UU di negara demokrasi ini. Polarisasi pembelahan dalam masyarakat yang berujung disintegrasi dipicu oleh bermunculannya UU yang diskriminatif. HAM berstandar ganda, tidak ada ruang bagi kaum Muslimin."
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I
NarasiPost.Com-Para punggawa negeri ini sungguh 'luar biasa'. Pandemi yang tak berkesudahan ini tak menyurutkan mereka untuk menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Alih-alih sigap mengatasi pandemi dan krisis, mereka justru sibuk mewacanakan merevisi UU Pemilu.
UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu hendak direvisi. Salah satunya menyatakan bahwa eks anggota HTI dan FPI dilarang mencalonkan diri dalam pemilu di Indonesia. Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, menilai hal tersebut berlawanan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi (republika.co.id, 28/01/2021).
Lagi-lagi politik adu domba merasuki berbagai UU di negara demokrasi ini. Polarisasi pembelahan dalam masyarakat yang berujung disintegrasi dipicu oleh bermunculannya UU yang diskriminatif. HAM berstandar ganda, tidak ada ruang bagi kaum Muslimin.
Partai yang kader-kadernya korup dan terbukti merugikan negara dibiarkan melenggang di panggung kekuasaan. Sementara kelompok Islam yang lurus dan anggotanya tidak pernah tersandung kasus korupsi, kriminalisme, separatisme dll hendak dicabut hak politiknya.
Tidak aneh, memang inilah wajah asli demokrasi. Buruk dan mengidap cacat bawaan. Karena sumber aturannya bukan dari wahyu, melainkan ambisi syahwat manusia. Maka gerombolan manusia jumawa inilah yang melahirkan aturan yang sejalan dengan kepentingannya dan mengenyahkan siapapun yang berseberangan apalagi mengganggu eksistensi kekuasaannya. Aturan setiap saat bisa direvisi sesuai kepentingan mereka, dengan dalih mendesak.
Berbeda halnya dengan Islam. Ketika mengatur urusan kehidupan maka bukan egosentris penguasa yang diagungkan. Melainkan wahyu Allah yang dibawa Rasulullah dalam Al-Qur'an dan hadits. Termasuk urusan pemilu, Islam punya cara tersendiri.
Pemilu adalah salah satu cara untuk memilih pemimpin yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah dan mengemban misi dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Sudah jelas aturan yang diterapkan itu aturan Islam, bukan aturan buatan manusia.
Pilar-pilar negara Khilafah ada empat yaitu kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat. Kekuasaan di tangan umat, maka wajib mengangkat satu Khalifah atas seluruh kaum Muslimin dan hanya Khalifah saja yang berhak mengadopsi hukum-hukum syariah.
Pemilu diselenggarakan hanya untuk memilih seorang Khalifah. Tenggat waktu ketiadaan Khalifah hanya dibatasi maksimal 3 hari saja. Persyaratan yang harus dipenuhi ada tujuh yaitu Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, mampu (kafa'ah). Umat diberikan hak untuk memilih siapapun yang hendak diserahkan kekuasaan padanya untuk mengurusi urusan umat dengan aturan Islam. Setelah terpilih dan diangkatnya seorang Khalifah. Maka Khalifah yang akan memilih orang-orang yang amanah dan kompeten dalam mengisi jabatan struktur negara dari tingkat pusat hingga daerah. Mereka harus berkomitmen untuk menjalankan seluruh supremasi syariah dan siap diberhentikan kapan saja dari jabatannya.
Demikianlah efektivitas pemilihan pemimpin dalam Islam. Tidak memakan waktu dan biaya yang besar ala-ala demokrasi saat ini. Masihkan kita bertahan dengan demokrasi yang cacat dan selalu bikin ribet ini? Tidakkah kita merindukan sistem Islam yang adil, tidak diskriminatif dan anti ribet ini?[]