"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(TQS. Al Ahzab : 59)
Oleh. Ita Harmi
(Pengamat Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Mencengangkan! Permasalahan di negeri Bhineka Tunggal Ika ini seperti tidak pernah ada habis-habisnya. Bak sinema elektronik, problematika yang terjadi dirangkai secara apik terus-menerus dalam panggung sandiwara kekuasaan. Setiap konspirasi selalu merangkai peristiwa satu dengan peristiwa lainnya.
Kali ini permasalahan yang tengah hangat untuk diperdebatkan adalah munculnya isu paksaan pada siswa non-Muslim untuk mengenakan seragam dengan memakai kerudung ke sekolah. Peristiwa ini terjadi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, sebagaimana berita yang disarikan dari Detiknews pada 23/1/2021.
Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa di sekolah kejuruan tersebut terdapat 40 siswa non-Muslim. Mereka semua mengenakan kerudung saat di sekolah, tapi tidak dengan salah satu siswa yang orangtuanya keberatan dengan kebijakan tersebut. Orangtua siswa ini mendatangi pihak sekolah untuk menyampaikan keberatannya, namun pihak sekolah dalam hal ini yang diwakili oleh salah satu wakil kepala sekolah menyatakan bahwa hal tersebut sudah menjadi aturan sekolah.
Kebijakan ini sebenarnya sudah ada sejak kesepakatan awal antara pihak sekolah dan wali murid. Buktinya Kepala Sekolah SMKN 2 Padang menyatakan bahwa siswa non-Muslim lainnya tidak ada yang keberatan bila memakai kerudung sebagai seragam sekolah. Justru mereka senang memakainya karena merasa sama dengan siswa yang lainnya.
Jadi dalam hal ini sebenarnya tidak ada paksaan sama sekali. Bila memang benar orangtua atau wali murid yang berbeda keyakinan tidak setuju dengan hal tersebut, seharusnya dari awal mereka tidak mendaftarkan anak mereka menjadi siswa di sekolah tersebut. Dengan begitu, masalah seperti ini tidak akan menjadi panas seperti saat ini.
Namun setidaknya, dengan adanya kejadian ini, menjadikannya sebagai sebuah cerminan yang bertolak belakang apabila dikorelasikan dengan problematika lain yang sejenis.
Kasus yang terjadi di Bali justru sebaliknya. Pada 24/2/2014 yang lalu, terjadi pelarangan siswa Muslimah untuk mengenakan kerudung di sekolah, bahkan hampir merata di seluruh wilayah Provinsi Bali. Setidaknya terdapat 40 sekolah yang melarang pemakaian kerudung untuk siswa Muslimah. Data ini tercatat dalam pendataan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) Wilayah Bali. Pelarangan bisa dalam berbagai bentuk, seperti larangan tertulis, ancaman dan tekanan terhadap siswa, bahkan sampai pembiaran bullying antarsiswa (Republika).
Miris, di negeri yang dengan bangganya mengusung slogan Bhineka Tunggal Ika di lambang negaranya, ternyata hanya sekadar gambar dan teori saja, sebagai pemanis bibir. Faktanya justru jauh panggang dari api. Apalagi kalau sudah bicara tentang Islam dan kaum Muslim. Meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun keberadaan mayoritas Muslim tidak serta merta menjadikan suara mereka adalah suara tuhan seperti yang digaungkan oleh demokrasi. Bahkan terkadang tirani minoritas lebih berkuku terhadap mayoritas.
Di sinilah letak hipokritnya demokrasi. Wajah asli demokrasi justru nampak jelas bila dihadapkan pada hal-hal berlabel Islam. Di mana kebebasan beragama yang dijamin oleh demokrasi? Bahkan ketetapannya tertuang dalam undang-undang yang sah di negara ini. Bahwasanya setiap warga negara memiliki hak untuk menjalankan ajaran agamanya.
Dan yang lebih ironis lagi adalah di mana letak HAM? Bukankah undang-undang saja menetapkannya sebagai hak, yang apabila terjadi pelanggaran akan dikenai sanksi hukuman dari negara? Tidakkah setiap ibadah umat beragama memiliki hak yang sama?
Keadaan ini diperburuk dengan ketidakpedulian negara. Karena negara hanya peduli bila syariat menguntungkan secara ekonomi, misalnya mengenai zakat, wakaf, haji, hibah, dan sejenisnya. Abainya negara pada masalah yang sebenarnya tidak bisa dipandang remeh ini, akan menjurus pada perselisihan dan pertikaian antarwarga negara. Hal inilah yang akan mengancam stabilitas keamanan dan kedamaian negara. Buktinya, KPAI mendesak agar SMKN 2 Padang segera diberi sanksi tegas karena diduga telah melanggar UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No 39/1999 tentang HAM (Detiknews, 23/1/2021).
Namun mirisnya, para pejuang HAM tidak mendesak sekolah manapun di Bali agar dikenai sanksi serupa saat adanya pelarangan penggunaan kerudung sebagai seragam sekolah.
Inilah perilaku dari dampak diembannya sekulerisme berbalut kapitalisme. Daya rusaknya sungguh sempurna. Mulai dari penguasanya hingga sampai ke benak tiap-tiap warganya.
Sekulerisme dan kapitalisme yang mengenakan jubah demokrasi bukanlah "rumah" bagi Islam dan kaum Muslim. Tidak akan pernah ada tempat bagi Islam dan kaumnya. Sebagaimana tidak akan pernah ada keadilan untuk mereka, bukan hanya skala nasional, tapi juga global. Selama demokrasi sekuler kapitalisme yang menjadi sendi kehidupan manusia, maka selama itu pulalah kerusakan ini akan terus dipertontonkan.
Padahal Islam mengatur kehidupan manusia dengan manusiawi, sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia yang telah dianugerahi oleh Ilahi. Bahkan tak hanya bagi orang yang meyakini Islam itu sendiri, namun juga bagi para non-Muslim yang menjadi warga negara dalam daulah Islam.
Dalam Islam, pakaian wajib bagi para Muslimah adalah jilbab dan kerudung. Jilbab adalah baju panjang yang menyerupai terowongan yang tidak terputus dari leher hingga telapak kaki. Sebagaimana yang termaktub dalam surah Al Ahzab ayat 59:
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(TQS. Al Ahzab : 59)
Sedangkan perintah memakai kerudung terdapat dalam surat yang berbeda, yakni surat An Nuur ayat 31;
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya (kerudung),"
Kedua perintah ini sifatnya wajib untuk diamalkan oleh para Muslimah saat mereka keluar dari zona ruang pribadinya, yaitu rumah. Tak terkecuali saat hendak ke sekolah. Di saat para wanita berada di lingkungan kehidupan umum, maka dua pakaian tersebutlah yang wajib untuk dikenakan. Inilah yang menjadi landasan kuat bahwasanya kerudung bukanlah aksesoris pakaian semata, melainkan kewajiban dalam rangka taat dan meraih rida Allah.
Perintah ini dilaksanakan dengan penyertaan illat (sebab) dalam dalilnya, yaitu agar mereka tidak diganggu dan mudah dikenali. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam ayat Al Ahzab tadi. Maka oleh karena itu, tidak ada alasan bagi para Muslimah untuk meninggalkan kewajiban ini.
Lalu bagaimana dengan wanita non-Muslim? Apakah mereka wajib juga berpakaian sebagaimana Muslimah berpakaian bila mereka menjadi warga negara dalam daulah Islam?
Maka terdapat dua batasan terhadap para perempuan non-Muslim. Dua batasan tersebut adalah, pertama, batasan sesuai agama mereka. Diperbolehkan bagi mereka untuk memakai pakaian sesuai dengan agama mereka. Dan yang sesuai dengan agama mereka adalah pakaian yang disetujui oleh agamanya, yaitu pakaian rahib laki-laki dan rahib perempuan.
Sedangkan batasan yang kedua adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Dalam hal ini adalah menyangkut aspek hukum kehidupan umum untuk seluruh rakyat baik Muslim ataupun non-Muslim. Selain pakaian yang sesuai dengan agama mereka, maka pakaian lain yang diperbolehkan adalah pakaian sesuai syariat Islam dalam kehidupan umum. Adapun jilbab dan kerudung adalah pakaian yang memenuhi hukum syariat saat wanita berada di kehidupan umum. Selain itu juga tidak bertabbaruj (mencolok dan berlebih-lebihan) dan juga tidak memakai celana panjang, sebab celana panjang terkategori sebagai tabbaruj meski mampu menutupi aurat. Hal ini sebagaimana yang dikutip dari penjelasan Syaikh Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam akun media sosial beliau (18/8/2014).
Dalam sejarahnya, saat Islam menguasai dua pertiga wilayah dunia, wanita nonml-Muslim memang memakai pakaian layaknya Muslimah dalam kehidupan umum. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Wanita Yahudi Ortodoks di Palestina justru memakai jilbab dan kerundung serba hitam. Seperti halnya yang biasa dipakai oleh Muslimah di tanah Arab. Dan pemandangan ini memang sudah biasa di sana. Dalam kitab mereka, yaitu Talmud disebutkan bahwa wanita yang saleh akan menggunakan selendang atau penutup kepala ketika mereka akan meninggalkan rumah (Wikipedia).
Demikianlah Islam memberikan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Lalu dimana letak ketidakadilan Islam? Justru dengan mencampakkan Islam, hilanglah keadilan tadi, seperti yang terjadi hari ini.
Maka tak lain solusi sahih adalah kembali ke dalam pangkuan Islam agar keadilan bisa dirasakan oleh setiap elemen masyarakat. Menjauhkan Islam dari kehidupan sama saja dengan merusak kehidupan itu sendiri. Islam itu sempurna dan kesempurnaannya datang dari Dzat Penciptanya, Allah Azza wa Jalla. Maka tak akan mungkin Allah sendiri yang akan merusak kehidupan ciptaanNya.
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
(TQS. Al Maaidah : 5)
Wallahu a'lam bishowab.[]