"Demokrasi dipahami sebagai sebuah konsep penyeimbang ataupun pengontrol kekuasaan agar tidak otoriter ataupun menindas"
Oleh. Miliani Ahmad
NarasiPost.Com-Dalam diskusi LP3ES bertajuk "Partai Politik, Politik Uang, dan Kemunduran Demokrasi", yang dilaksanakan Selasa (26/1) secara daring, Firman Noor selaku Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa demokrasi saat ini lebih diwarnai kepentingan personal dan kelompok. Hal ini bisa terjadi dengan mereka memanfaatkan celah melakukan praktik politik dan korupsi. Ia pun menyatakan bahwa partai politik tidak lagi memiliki idealisme, visi dan misi yang jelas karena kebanyakan partai dikelola secara perorangan.
Apa yang disampaikan oleh Firman Noor di atas secara fakta memang benar adanya. Demokrasi sebagai sebuah sistem yang dianggap sempurna, nyatanya semakin hari semakin tergerogoti perilaku culas yang dijalankan oleh para pengusungnya. Tak terkecuali di Indonesia.
Pada awalnya demokrasi dipahami sebagai sebuah konsep penyeimbang ataupun pengontrol kekuasaan agar tidak otoriter ataupun menindas. Maka diaturlah mekanisme kekuasaan tersebut melalui trias politica agar kekuasaan mampu menyerap segala aspirasi yang diinginkan masyarakat. Jika negara telah memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat dikatakan negara tersebut adalah negara demokratis.
Namun, demokratisasi yang berjalan di banyak negara justru menunjukkan tren angka korupsi yang meningkat, seperti India, Jamaica, dan Indonesia.
Lalu, mengapa demokrasi justru melahirkan perilaku culas seperti korupsi dan praktik politik kotor lainnya?
Pertama, demokrasi merupakan sebuah sistem yang berbiaya mahal. Siapa pun yang ingin mendapatkan singgasana kekuasaan harus merogoh kocek dalam-dalam agar bisa ikut kontes pemilihan. Ongkos pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) yang harus dikeluarkan pada tahun 2010-2014 saja mencapai Rp15 triliun dalam pehitungan Komisi Pemilihan Umum (kompas.com, 24/07/2010).
Ongkos ini belum termasuk pengeluaran para calon untuk mendapatkan perahu politik, biaya iklan, kampanye, konsultan bahkan paket serangan fajar yang mungkin dijalankan.
Melihat besarnya mahar yang harus dikeluarkan wajar saja jika ada politik kotor demi meraup pundi-pundi. Karena tak mungkin menutup semua ongkos yang telah dikeluarkan dengan hanya mengandalkan gaji ataupun tunjangan. Apalagi masa jabatan yang hanya lima tahun, makin mempersulit modal yang keluar untuk dikembalikan.
Kedua, demokrasi lebih memperkuat hubungan patron-klien. Sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara seseorang/kelompok yamg memiliki modal terhadap kelompok di bawahnya yang menghasilkan ketergantungan dan mengikat para pemangku kepentingan.
Para pemodal (patron) dalam politik demokrasi selalu berupaya mengakumulasi kekayaan mereka yang berimplikasi pada penguatan kekuasaan. Tak heran, mereka akan menebar jala terhadap para pemangku kebijakan atau elit politik (klien). Hal ini akan menyebabkan para elit akan sangat bergantung kepada para kapital/korporasi. Akan ada corporate funding bagi proses-proses politik yang berjalan. Hingga pada akhirnya demokrasi kian tersandera oleh kepentingan sempit para personal atau elit partai.
Ketiga, pada saat ini sistem kapitalisme yang berakar dari demokrasi memang banyak melahirkan stimulus kebijakan neoliberalisme. Privatisasi dan investasi kadangkala memunculkan intervensi para kapital dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan. Bisa dalam bentuk pembentukan undang-undang ataupun kebijakan lainnya. Tak ayal, kenyataan ini makin membuka lebar praktik penyuapan, gratifikasi, dan KKN demi memuluskan kepentingan para kapital yang ingin mendapatkan peruntungan.
Keempat, dalam meraih dukungan partai politik mesti mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar menggungguli dalam pemilihan. Hal ini mendorong para veto players cenderung bersikap agresif dengan mencari dan menumpuk pundi-pundi partai dengan bermain belakang dengan para kapital meskipun permainan sabun mereka meninggalkan the rule of law. Licik dan penuh intrik, yang pada akhirnya partai politik dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan kendali di bawah bayang-bayang para kapital.
Semua hal tersebut pada akhirnya menjadikan para pengusung demokrasi berjalan dengan penuh kecurangan, kotor, dan juga saling memakan. Halal haram dihantam. Tak peduli betapa kotornya tangan ataupun tumbal yang harus diserahkan. Semuanya demi syahwat kekuasan diri dan partai politik. Sementara itu, demokrasi sendiri berjalan dengan kesempoyongannya akibat kerusakan yang menjadikannya pesakitan dan semakin mendekati ajal kematiannya.
'Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely' (Lord Acton).
Wallahua'lam bish-showwab[]