Jembatan Amerika

Jembatan Amerika

Jembatan Amerika cukup panjang. Berbentuk huruf T. Kini jembatan yang menjadi saksi bisu perang dunia itu tinggal puing-puing batu.

Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Dulu, dari cerita torang pu orang tua-tua. Numfor ini jadi markas tentara Amerika saat Perang Dunia ke-2. Dan di pante yang dong bilang Jembatan Amerika itu. Di sana dorang pu kapal-kapal perang berlabuh. Anak-anak biasa dong main di sana. Biasa dorang masih dapat sisa-sisa amunisi seperti peluru. Torang ambil dan kasih pak Babinsa"

Demikianlah penuturan warga di kampung Rawar tempat kami menjalani masa Kuliah Kerja Nyata, terkait salah satu situs bersejarah yang ada di kampung mereka.

Pada suatu hari, di jembatan ini juga menyisakan sebuah kisah yang juga pantang untuk dilupakan. Kisah lucu dari anak-anak di pedalaman Papua. Yang sebenarnya di balik semua itu menyisakan sebuah renungan bagi kita semua.

"Kakak, dong bisa berenang?" tanya Mano kepadaku.
"Iya, bisa!" jawabku segera.
"Nanti tong pergi mandi di Jembatan Amerika e, Kakak?"
"Oh iya boleh. Nanti tong pergi rame-rame!" sahutku penuh semangat.

Beberapa hari kemudian setelah percakapan singkat itu. Tepat pukul 15.00 WIT. Anak-anak sudah ramai di depan posko kami. Dan lantas memanggil-manggil kami yang berada di atas rumah. Salah satu rekan saya melihat ke jendela. Dan terang saja di sana anak-anak sudah berkumpul.

"Mamayo, anak-anak su rame di depan sana. Ada kegiatan deng dorang kah?" tanya salah satu rekanku yang bernama, Wardah.

"Oh iya! Sa lupa. Tong mau mandi-mandi ke Jembatan Amerika!"

"Ya Allah, Kak Ros, kenapa tara bilang-bilang. Biar tong ada persiapan!" sela Sondang dengan nada sedikit kecewa.

"Ah, sudah. Tong langsung kasih penyuluhan tentang cuci tangan saja. Habis itu, tong mandi-mandi," jelasku.

"Oke. Tong siap-siap sudah. Bilang anak-anak tunggu!" sambung Sondang.

Kami pun lekas bersiap-siap. Saya mulai meraih catatan kecil yang sudah kusiapkan. Di sana berisi tulisan tentang apa yang akan disampaikan nanti. Sondang dan Wardah juga sibuk menyiapkan perlengkapan mandi. Seperti sikat gigi, pasta gigi, sampo, sabun, dan lainnya.

Saya baru ingat kalau anak-anak pernah bilang, di sana ada air salobar. Di mana selain mandi, tentu juga bisa mencuci pakaian. Saya pun segera mengemasi beberapa lembar pakaian kotor ke dalam kresek (kantong plastik). Saya akan mencucinya setelah kegiatan bersama anak-anak selesai.

Setelah perlengkapan telah disiapkan. Kami pun meminta izin kepada Mama. Sosok wanita tua yang menjadi tuan rumah di mana kami tinggal. Orang Papua memanggil sosok seorang wanita yang sudah menikah baik yang dikenal maupun tidak dengan sebutan Mama.

"Kak Ros, dorang mau ke mana. Anak-anak juga dong su rame di depan!" tanya Mama.

"Ini, Mama torang mau pergi mandi-mandi ke Jembatan Amerika."

"Oh begitu! Iya, sudah. Nanti hati-hati saja." Pesan Mama kepada kami.

Setelah mengiakan. Kami pun beranjak ke depan rumah. Seraya bersiap-siap untuk jalan ke lokasi di mana Jembatan Amerika itu berada.

Namun, kami harus menunda keberangkatan karena Mama memanggil kami kembali. Ternyata, Bapak, suami Mama tak mengizinkan kami ke sana tanpa ada orang yang lebih tua. Bapak menyuruh sang istri untuk ikut bersama kami ke pantai. Alhasil, Mama pun menemani kami. Anak-anak pun bersorak gembira. Pasalnya, Mama juga turut bersama kami.

Kami pun memulai perjalanan. Pertama-tama kami harus berjalan melewati jalan raya. Berdasarkan cerita dari penduduk sekitar, jalan raya ini dibuat saat Amerika menjadikan pulau ini sebagai basis pertahanannya. Berarti sudah cukup lama, ya! Tapi, masih bagus. Mungkin karena minimnya kendaraan yang melintas di pulau ini membuat aspal ini tahan lama.

Ya, pulau ini tak begitu besar. Jika kita ingin mengelilinginya dengan kendaraan roda dua atau empat, hanya akan menghabiskan waktu beberapa jam saja. Sangat kecil!

Di sini pula, saking minimnya kendaraan, anak-anak sampai tak dilarang bermain di jalan raya. Kalau di desa kita masing-masing sudah pasti dilarang, ya! Karena ramainya aktivitas lalu lintas.

Baik. Setelah berjalan kurang lebih 250 meter di jalan raya. Kami pun berbelok ke dalam hutan belukar untuk menuju pantai. Rupanya, telah ada jalan di sana. Kata Mama, jalan ini juga sudah ada seiring dengan hadirnya sang jembatan. Berarti tidak menutup kemungkinan serdadu-serdadu Amerika dahulu menginjakkan kaki di tanah yang sore itu kami lewati pula.

Kami pun terus berjalan sekitar kurang lebih 250 meter lagi. Dan tibalah kami di pantai. Suasana pun sudah menjelang sore hari. Jembatan Amerika cukup panjang. Berbentuk huruf T. Kini jembatan yang menjadi saksi bisu perang dunia itu tinggal puing-puing batu.

Namun, masih bisa dikenali bentuk jembatannya. Ketika angin kencang, gelombang akan pecah di atas tumpukan batunya. Pulau kecil ini memang sangat strategis. Ia berada menghadap ke Laut Pasifik. Jauh meninggalkan kepala burung Pulau Papua jika dilihat dari peta. Wajar, jika Amerika memanfaatkannya.

Kami tak akan mandi di atas puing-puing batu yang tersisa ini. Kami berbelok ke kiri beberapa meter. Tepat di bawah tebing di sana air salobar berada. Air salobar umumnya digunakan penduduk pesisir sebagai sarana air bersih untuk memenuhi kebutuhan mandi, mencuci, dan lainnya. Air ini akan tawar ketika air laut surut. Itulah mengapa, ketika air laut surut warga berduyun-duyun datang untuk memenuhi kebutuhannya.

https://narasipost.com/challenge-np/04/2021/tinggal-di-rumah-pelayan-tuhan/

Mama pun berpesan agar kami jangan berlama-lama. Mengingat waktu sudah sore. Khawatir nanti pada perjalanan pulang, matahari sudah kembali ke peraduan.

Anak-anak pun mulai kami arahkan untuk duduk. Dan saya pun akhirnya tak lagi mencuci. Karena harus mendahulukan kegiatan bersama anak-anak yang telah menjadi bagian dari program kami selama berada di kampung ini.

Kami pun memulai penyuluhan. Mulai dari cara mencuci tangan hingga cara menggosok gigi yang baik dan benar.

Tak lupa pula kami menyampaikan tentang pentingnya menjaga kebersihan badan. Jika dalam Islam tentu ya, menjaga kebersihan itu adalah bagian dari Iman (HR. Tirmidzi). Di mana Allah Swt. menyukai segala yang suci. Dia yang menyukai kebersihan lagi keindahan. Itulah mengapa kita wajib hidup bersih.

Nah, setelah memberikan pengarahan kami bertiga memandikan anak-anak dengan memakaikan sampo dan sabun satu persatu. Tak lupa kami menyuruh untuk menyikat beberapa bagian tubuh seperti jari tangan, kukuh hingga kaki.

Senyum dan tawa menghias bibir anak-anak ini. Ada yang malu-malu saat kami bersihkan rambutnya. Ada juga yang santai saja bahkan menyuruh kami berlama-lama membersihkannya. Anak-anak yang saat itu ikut bersama kami baik laki-laki maupun perempuan sangat antusias.

Ada yang tiada henti memuji aroma wangi dari sampo salah satu teman saya. Ia berulang kali berkata, kalau itu sangat harum. Mungkin karena mereka belum pernah mencium aroma demikian sebelumnya.

Terdapat pemandangan lucu sekaligus pilu. Kala salah satu anak perempuan menolak untuk kami bilas rambutnya dengan air. Ia malah berkata kalau ia akan kembali ke rumah dengan busa sampo di kepalanya. Dia ingin memberitahu itu pada ibunya di rumah. Kalau itu harus sekali.

Kami bertiga senyum namun di dalam hati ada rasa haru. Betapa tidak, mereka amat asing dengan benda yang kami bawa ini.

Apakah ini yang dinamakan dengan ketimpangan dan ketidakmerataan? Atau karena terlampauinya jarak? Ah, bukankah tanah ini amat kaya?

Lihatlah ke arah puing-puing batu itu. Negara yang membuat jembatan itu mengeruk habis kekayaan tanah ini. Hingga ia mampu membangun negerinya. Sementara, warga lokal sang pemilik kekayaan, aroma sampo saja asing. Inilah, ironi di tanah sendiri yang kaya raya.

Kami pun berusaha menjelaskan kalau busa sampo itu harus dibersihkan. Lama kelamaan sang anak pun mau. Saat itu, saya pun lantas teringat dengan kisah perjalanan dakwah Ustaz Fadlan Garamatan dalam mengislamkan masyarakat asli Papua di pedalaman. Di mana ada warga yang juga enggan untuk dibilas busa sampo dirambutnya karena mengaku aromanya sangat harum. Ia ingin berlama-lama bersamanya.

Kini saya sendiri mengalaminya langsung. Walau bukan dalam hal mengislamkan, melainkan hanya melakukan sebuah penyuluhan. Kami pun terus memandikan mereka. Yang laki-laki tentu mandi sendiri dengan komando dari kami. Sementara itu, Mama sibuk menangkap ikan yang terjebak ke dalam genangan air salobar.

Setelah kegiatan penyuluhan berakhir dan anak-anak sudah puas mandi. Kami pun bergegas kembali dengan kondisi matahari yang sudah menguning dan sedikit lagi akan hilang dari balik ufuk.

"Adoh, anak. Sudah mau gelap. Ayo, jalan cepat!" ujar Mama dengan khawatir

Dan kami pun segera berjalan dengan perasaan sedikit cemas. Pasalnya, di antara kami tak ada yang membawa senter. Sementara, kami harus melewati semak belukar tadi. Di mana kondisinya sudah gelap. Saya pun berjalan dengan menenteng kresek yang berisi pakaian kotor yang gagal dicuci.

Kami membiarkan Mama berjalan lebih dulu. Lalu kemudian anak-anak mengikut di belakangnya. Kulihat Mama berkomat-kamit. Mungkin saja beliau tengah berdoa. Tak lama, baru beberapa meter berjalan. Langkah kami tiba-tiba terhenti. Kami pun semua menjadi bertanya-tanya.

Seketika pikiranku pun berubah menjadi tak karuan. Padahal, kita tidak boleh berprasangka buruk bagaimanapun itu kondisinya.
Sudut mataku pun mulai melihat ke sekeliling. Kutengadahkan kepala ke atas. Tapi, seketika kupalingkan.

"Kak Ros!"
"Iya, Mama!" panggilan Mama ini mengagetkanku.

"Pimpin jalan ke depan!" pinta Mama.
"Tara usah. Mama yang di depan sudah!" jawabku menolak.

"Sudah. Kakak Ros sudah di depan. Biar Mama berjalan di belakang Kak Ros saja!"

Karena Mama memaksa. Saya pun akhirnya mengiakan. Kami pun berjalan dan akhirnya tiba di rumah dengan selamat. Bapak, suami dari sang Mama rupanya sudah menunggu kami di depan rumah dengan raut wajah yang cemas. Beliau terlihat marah kepada Mama karena telah membawa kami kembali dalam keadaan gelap.

Beliau khawatir jangan sampai terjadi apa-apa dengan kami di jalan. Tetapi, Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat. Dari posko, anak-anak pun berpencar kembali ke rumah masing-masing. Dan akan kembali lagi ke posko untuk kegiatan belajar malam bersama kami.

Sekian cerita ini. Semoga bermanfaat! []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Safar di Dua Tanah Suci (Part 2)
Next
Ekuador dan Meksiko Putus Hubungan, Ada Apa?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
7 months ago

Suka dengan kisah-kisah dari penulis. Ditunggu tulisan selanjutnya. Barakallah

angesti widadi
7 months ago

Ada dua kesedihan saat membaca cerita ini. Pertama ga ngerti bahasanya. Kedua, sedih karena sudah dari lama sekali ternyata Indonesia menjadi sasaran empuk bagi orang² yang rakus bin zalim

Maya Rohmah
Maya Rohmah
7 months ago

Setahu saya Kak Ros ini orang Buton.
KKN nya sampai ke Papua.
Wah, jauh sekali yaa.
Btw, kisahnya menarik, Kak.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram