Sudah hampir sepekan Bu Maimunah tak mengajak anak muridnya masuk kelas. Sebab, kabar terakhir yang didapatnya adalah seluruh anak muridnya telah kembali ke surga
Oleh. Fitriade Septika
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Desing peluru bersahutan. Bangunan rusak sepanjang mata memandang. Sirene tanda bahaya meraung-raung. Ambulans hilir mudik. Rudal berjatuhan tanpa jeda. Semua menjadi satu seolah menandakan kiamat.
“Anak-anakku … akhir-akhir ini adalah masa tergenting kita. Ibu tahu bahwa satu persatu orang terdekat kita sudah syahid. Maka dari itu ….” Suara Bu Maimunah tercekat. Ia tak mampu meneruskan ucapannya.
Tinggal dua belas anak yang hadir di kelas. Bangunan yang tak dapat lagi dikatakan sekolah. Jangan bayangkan mereka bersekolah di ruangan megah dan memiliki fasilitas AC atau kipas angin. Ya, di antara puing-puing bangunan inilah mereka duduk bersila menatap satu sama lain teman yang tersisa tanpa alas kaki dan alas duduk. Hanya pakaian yang melekat di tubuh. Isakan tangis terdengar bersahutan. Tak ayal, seisi kelas meneteskan air mata.
"Allaah … Allaah … Laailaahailallaahu.”
Kalimat tauhid terucap bergantian dari mulut mereka.
“Bu, aku sudah kehilangan ayah dan ibuku. Bagaimana mungkin aku bisa terus sekolah menimba ilmu?” tanya seorang anak perempuan bernama Aisyah.
Bu Maimunah menarik napas. Ia tampak berpikir keras untuk memberi jawaban pada anak berusia sembilan tahun itu.
“Anak-anak, menuntut ilmu itu hukumnya adalah wajib sesuai sabda Rasulullaah Sholallaahu Alaihi Wasallam. Bahkan saking istimewanya menuntut ilmu itu, Allah Subhanahu Wa Taala menurunkan wahyu yang pertama kali pada baginda Nabi berupa surah Al-Alaq ayat satu yang isi ayatnya adalah Iqra, yang berarti bacalah,” terang Bu Maimunah.
“Pahala menuntut ilmu adalah syahid,” lanjut perempuan berusia seperempat abad itu.
“Syahid seperti ayah dan ibuku?” Aisyah kembali menyela.
Bu Maimunah menelan ludahnya. “Iya, Nak. Ayah dan Ibu kamu sudah kembali ke surga”
“Siapa pun dari kita yang wafat di tanah mulia ini, di bumi Allah yang diberkahi, buminya para nabi, karena mempertahankan hak kita adalah syahid. Kembali ke surga,” sambung Bu Maimunah.
Terdengar lagi suara tangisan. Bu Maimunah menyapu pandangan ke sekelilingnya. Tiada satu pun bangunan yang utuh akibat serangan Zionis yang tanpa henti. Rudal-rudal yang menghantam seolah tahu di mana bau darah. Benda itu memangsa manusia, seperti binatang buas.
https://narasipost.com/cerpen-cerbung/02/2024/mimpi-arruna-di-negeri-habasyah/
Kali ini mata Bu Maimunah menemukan pemilik suara tangisan yang berasal dari seorang anak lelaki yang bernama Khalid.
“Khalid. Ada apa, Nak?” tanya Bu Maimunah mendatangi Khalid dan mengelus lembut kepala anak lelaki kurus itu.
“Ta-tadi usai salat Subuh, saat akan kembali ke tenda pengungsian … usai meninggalkan mas-jid, a-yahku … wafat, Bu,” ungkap Khalid terbata. Isaknya semakin terdengar pilu.
“Innalillaahi wainna ilaihi roji’un. Berbahagialah, Nak. Ayahmu sudah kembali ke surga.”
Bu Maimunah menatap mata seluruh murid yang hanya tersisa dua belas itu sembari menghapus air matanya. Setiap masuk sekolah, jumlah mereka selalu berkurang, padahal pertemuan tak setiap hari terlaksana. Ia harus menemukan celah agar bisa bertemu dengan anak muridnya. Biasanya ia akan mendatangi satu persatu tenda pengungsian dan mengajak mereka berkumpul di satu tempat dan satu waktu, selesai salat Zuhur, misalnya.
Pertemuan yang hanya beberapa jam itu pun terganggu karena dentuman bom yang bersahutan. Anak muridnya ada yang menggigil ketakutan, gemetar, menangis, dan menutup telinga kuat-kuat.
“Anak-anak ibu semua. Ibu tahu ini tak mudah bagi kita. Yakinlah, Nak. Pertolongan Allah amat dekat. Sebentar lagi, pertolongan Allah akan datang,” ucap Bu Maimunah menghibur hati anak muridnya.
“Benarkah, Bu? Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi di sini, kecuali Bu Maimunah, teman di sini, dan teman di tenda pengungsian. Aku rela menyusul ayah ibuku yang syahid, Bu. Kembali ke surga, seperti yang Ibu bilang. Aku takut begini terus,” ungkap Yasmin yang air matanya terus mengalir sedari tadi. Gadis berhidung bangir itu tampak mencoba menguasai dirinya agar suaranya tak tercekat.
Air mata Bu Maimunah kembali mengalir. “Sabar, ya, Nak. Allah bersama orang-orang yang sabar. Apakah ibu boleh bertanya pada kalian semua, Nak?”
Ditatapnya lagi satu persatu mata sayu yang lelah menangis itu. Semua kepala mengangguk setuju.
“Siapa yang masih memiliki orang tua?” tanya Bu Maimunah hati-hati.
Tak ada satu pun anak yang menjawab. Semua menundukkan kepala dan tersedu.
“Ma-maafkan ibu, Nak.”
Tebersit penyesalan di dada Bu Maimunah setelah melontarkan pertanyaan barusan. Rasa kesal, sedih, marah, dan kecewa, kumpul menjadi satu. Betapa kejamnya kaum Zionis yang tampak sengaja menghabisi populasi warga yang bernaung di sekitaran Baitulmaqdis, kawasan Masjidilaqsa. Mereka tak ingin ada generasi penerus yang terlahir dari rahim perempuan Gaza, sehingga para perempuan dan anak-anak tak luput dari serangan genosida.
Hanya satu ingin Zionis laknatullah, yaitu menguasai tanah Palestina seutuhnya. Tidak. Mereka tak menyerang Palestina keseluruhan, hanya menyerang warga yang tak melepaskan tanahnya pada mereka. Sungguh terkutuk mereka itu. Sudah ingin merebut hak mereka, menyakiti, dan menghabisi pula! Benar-benar penjajahan yang nyata!
Kelas pun selesai siang itu. Bu Maimunah berpesan pada seluruh anak muridnya agar tak henti berzikir dan berdoa pada Allah, selalu waspada dan hati-hati.
Sudah hampir sepekan Bu Maimunah tak mengajak anak muridnya masuk kelas. Sebab, kabar terakhir yang didapatnya adalah seluruh anak muridnya telah kembali ke surga. Kabar menyedihkan itu ia dapatkan tak lama setelah menerima berita bahwa Menteri Pendidikan Palestina mengumumkan kurikulum pendidikan sudah berakhir.
“Ya Allaah ….”
Tangisnya luruh di hamparan puing dekat tenda pengungsian tempat ia berlindung dan beristirahat. Perjuangannya belum berakhir. Ia yakin pertolongan Allah dekat, seperti yang pernah ia ucapkan pada murid-muridnya, yang terakhir kali.
“Aisyah, Khalid, Yasmin, dan anakku yang lain … berbahagialah karena kalian sudah berkumpul di surga. Kalian semua syahid, Nak,” ucapnya lirih sembari menyeka air mata.
Dentuman bom kembali bersahutan. Pekik ketakutan terngiang nyalang. Jerit kesakitan menyayat hati. Ia tahu tak ada lagi tempat aman di sini. Makan, salat, tidur, semua dipenuhi rasa takut dan was-was. Namun, ia takkan meninggalkan kota kelahirannya. Ia rela menyusul ayah juga ibunya, dan anak muridnya yang syahid terlebih dahulu.
Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya ingin Allah memberi rasa nyaman lagi di kotanya, saat ia balita dulu. Jika pun itu tak sempat ia rasakan, ia sudah rela jika tubuhnya rata dengan tanah, dan Malaikat Izrail mengambil ruhnya.
“Sesungguhnya kita hanya tinggal sementara di sini, kelak kita akan kembali ke surga, Nak.”
Ucapan itu yang terakhir ia dengar dari mulut ayahnya sebelum sang Ayah juga wafat di tangan Zionis. []
Ampuni kami semua ya Allah, yang belum bisa menolong saudara kami secara langsung di Palestina
Ya Allah ya Karim... sepedih itu suasana di sans belum membangkitkan umat Islam untuk bersatu. Dimana ukhuwah itu?
Ya rabb lindungi saudara kami di Palestina