Demokrasi akan mati manakala orang yang berkuasa berusaha membungkam para oposisi. Mereka berusaha menguasai media dan menindak tegas orang-orang yang mengkritiknya. Berbagai kebijakan yang lahir seakan memaksa, serta memanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang, menghakimi dan memfitnah kelompok oposisi/lawannya.
Oleh: Henyk Widaryanti
NarasiPost.com - Guncangan dahsyat menghantam kuil sakral demokrasi. Capitol Hill, sebuah tempat penghambaan bagi para pengusung demokrasi. Di hari itu, Kamis 6 Januari 2021 merupakan peristiwa besar dalam catatan sejarah. Massa pendukung Trump datang, menyerbu dan memaksa masuk gedung keramat itu. Mereka kelihatan marah atas keputusan kemenangan Biden atas Trump. Pasalnya, pihak Trump sendiri tak menerima kekalahannya. Para pendukungnya auto terpengaruh dengan ucapan Trump. Walhasil kerusuhan pun tak dapat dielakkan, rapat penetapan kemenangan Biden pun ditunda beberapa jam. Dari kisruh itu dinyatakan 4 orang tewas (inet.detik.com, 7/1/21).
Protes kekalahan itu tak berakhir sampai di sini. Peringatan besar dilakukan oleh FBI pada 11 Januari 2021. Setelah peristiwa Capitol Hill pada 6 Januari 2021, para pendukung Trump disinyalir akan melakukan pemberontakan bersenjata. Oleh karena itu, Walikota Washington DC melakukan pengamanan ketat hingga 24 Januari 2021 mendatang (cnbcindonesia.com, 12/1/21).
//Menyadarkan Mata Dunia//
Kerusuhan di AS harusnya membuka mata dunia bahwa demokrasi ideal tak lagi ada. Meski demikian banyak pihak yang kecewa dengan kerusuhan ini. Mike Pompeo sendiri, sebagai Menteri Luar Negeri AS mengungkapkan kerusuhan di Capitol Hill itu tidak benar. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson pun menilai kejadian itu sungguh memalukan. Menlu Irlandia, Simon Coveney, menganggap kerusuhan Capitol Hill menyerang demokrasi. Bahkan Presiden Perancis Emmanuel Macron pun mengatakan bahwa kerusuhan itu tak mencerminkan Amerika (beritasatu, 7/1/21).
Selama ini AS dinilai sebagai tolak ukur penerapan demokrasi. Setiap negara harus mencontoh demokrasi AS jika mereka ingin menerapkan demokrasi ideal. Tapi kenyataannya demokrasi justru menyebabkan kerusuhan yang luar biasa. Tanpa disadari demokrasi telah melanggengkan kekuasaan korporasi. Memang demokrasi berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi itu secara filosofi saja. Nyatanya rakyat sesungguhnya hanya jadi sumber suara. Sedang pelakunya adalah orang-orang pilihan para kapital. Mereka sengaja ditanam untuk meraih keuntungan besar. Begitu pun kebijakan, hanya sebagai sarana memperlancar aksi para korporat. Hal itu pun terjadi di AS.
Saat para petahana ingin selamanya berkuasa, mereka akan menghalalkan segala cara. Bisa jadi cara seperti ini juga terjadi di negeri lainnya. Jalan terakhir dengan memanfaatkan para pendukung untuk melakukan aksi mosi tak percaya. Jika kekacauan terjadi, kondisi semakin ricuh, peluang menjadi pemimpin akan terbuka. Karena presiden terpilih ternyata melahirkan huru-hara. Hal demikian bisa saja terjadi. Seperti serial-serial film laga yang memperebutkan kekuasaan. Aturan dibuat dan dilanggar sendiri. Siapa yang kuat, dia yang menang. Apa ini yang disebut hukum rimba? Ujung-ujungnya justru melahirkan negara tiran. Apa benar seperti ini adanya? Jika benar, dunia harus membuka mata. Bahwa demokrasi tak layak lagi dipercaya.
Demokrasi Rusak Sejak Kelahirannya
Mau atau tidak nyatanya demokrasi memang telah cacat sejak lahirnya. Karena dari awal sudah cacat, jika dipakai tak dapat jalan dengan sempurna. Ibarat kursi, kursi yang cacat jika dipakai di awal, masih terasa enak. Tapi lama-kelamaan akan rusak. Apalagi jika yang memakai ikut merusak juga, kursinya akan cepat bobrok.
Kerusakan demokrasi terletak pada landasannya. Sistem ini menyerahkan kedaulatan di tangan manusia. Manusia mengandalkan akal untuk memutuskan kebijakan. Alhasil aturan yang lahir sesuai siapa yang memimpin. Sebagaimana di awal telah disebutkan, sistem ini kebanyakan dikuasai oleh para kapital. Jadi kebijakan yang lahir pun sesuai kepentingan. Bukan kepentingan rakyat, tapi kepentingan para konglomerat. Jadi wajar saja jika terjadi perseteruan dalam pemilihan. Karena standar kebenaran masing-masing calon berbeda.
Sebuah buku yang sempat viral karena dibaca Pak Anies mengisyaratkan sebuah pertanda. Ternyata demokrasi dapat hancur dari dalam. Buku itu berjudul "How Democracies Die" karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka menulis buku ini karena peduli dengan AS. Mereka menilai AS hampir mengikuti kondisi negara-negara yang memasung demokrasi.
Demokrasi akan mati manakala orang yang berkuasa berusaha membungkam para oposisi. Mereka berusaha menguasai media dan menindak tegas orang-orang yang mengkritiknya. Berbagai kebijakan yang lahir seakan memaksa, serta memanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang, menghakimi dan memfitnah kelompok oposisi/lawannya. Bagaimana di AS? Peristiwa Capitol Hill telah menunjukkan tanda-tandanya.
Khilafah Pemutus Hukum Rimba
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam memiliki keunikan. Dengan berlandaskan hukum syara', khilafah menjadikan segala aturan bersandar pada Kalamullah. Sehingga khilafah akan menutup kemungkinan terjadinya perebutan kekuasaan. Karena setiap Muslim dijaga keimanannya. Jikalau dulu pernah ada pertikaian atau perebutan kekuasaan, tak lain itu karena jauh dari Allah Swt. Adanya kesalahan dalam penerapan, bukan berarti aturannya yang salah. Tapi karena manusianya yang salah mengambil kebijakan dan keputusan. Jika kita mengembalikan semua masalah kepada Al- Qur'an dan Sunnah, niscaya tak akan ada pertikaian atau hukum rimba.
"Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari negeri habasyah (Ethiopia). Dan barang siapa yang hidup lebih lama diantara kalian, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Al-Khalifah Ar-Rasyid yang diberi petunjuk oleh Allah. Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru (dalam agama). Karena setiap perkara baru dalam agama sesat.” [HR. An-Nasai dan At-Tirmidzi].
Wallahua'lam bishowab.
Picture Source by Google