Transportasi ala Kapitalis, Jaminan Keamanan Dipertaruhkan?

"Karut-marutnya dunia transportasi Indonesia tidak lepas dari paradigma kapitalisme, asas dasarnya adalah profit/ keuntungan"

Oleh. Trisna AB
(Aktivis Muslimah)

NarasiPost.Com-Duka dunia penerbangan kembali terulang. Di tengah musibah pandemi yang belum berkesudahan menelan ribuan korban jiwa, kini bertambah duka masyarakat dengan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak di perairan sekitar Kepulauan Seribu.

Pesawat SJ 182 diberitakan mengangkut 62 orang, yang terdiri dari 6 kru pesawat, 46 penumpang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi. Diketahui sebelumnya pesawat hilang kontak beberapa saat setelah lepas landas di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Sabtu, 9 Januari 2021.

Kecelakaan penerbangan ini tentu tak hanya membuat syok keluarga penumpang, tapi juga masyarakat umum khususnya pengguna maskapai penerbangan. Apalagi peristiwa ini semakin menambah daftar panjang kecelakaan penerbangan di Indonesia. Masih segar dalam ingatan, dua tahun yang lalu tragedi serupa terjadi pada pesawat Lion Air JT 610 yang menewaskan 189 penumpang dan awak kabin. Rasanya belum sembuh luka para keluarga korban dan sekarang luka yang sama dirasakan oleh keluarga korban pesawat SJ 182 (liputan6.com, 12/1/2020).

Apa yang penyebab kecelakaan pesawat menjadi tanda tanya besar publik. Di saat yang sama hal ini menyebabkan kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan penerbangan di Indonesia. Pasalnya dalam 10 tahun terakhir tercatat 7 kecelakaan fatal di Indonesia termasuk pesawat SJ 182 telah merenggut ratusan korban jiwa.

Banyak pihak mempertanyakan usia pesawat SJ 182 yang sudah 26 tahun apakah menjadi faktor kecelakaan pesawat. Menyoroti kelayakkan pesawat SJ 182 yang berumur lebih dari 26 tahun, Wakil Ketua Komisi V DPR, Ridwan Bae, mengatakan bahwa pihaknya akan mendalami lebih jauh jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182. Selain itu, Ridwan mengatakan Komisi V juga menyoroti penerbangan bertarif murah. Menurutnya jangan sampai karena tarif murah lantas melalaikan faktor keselamatan (investor.id, 11/1/2021).

Menanggapi hal tersebut, mayoritas pengamat penerbangan mengatakan bahwa usia pesawat tidak ada korelasinya dengan terjadinya kecelakaan, melainkan kelayakan kondisi pesawat tersebut. Faktor maintenance-lah (perawatan) yang turut menentukan keselamatan pesawat.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengatakan Presiden Jokowi meminta agar ada perbaikan dalam tata kelola di industri penerbangan. Harapannya agar kejadian seperti Sriwijaya Air tidak terulang kembali. Pengamat penerbangan Gerry Soejatmo pun menilai standar keselamatan terbilang “cukup baik tapi belum sangat baik” karena masih perlu pembenahan (bbc.com, 13/1/2021).

Meskipun jatuhnya pesawat SJ 182 sampai saat ini belum menunjukkan titik terang, namun tidak ada salahnya jika pemerintah memperhatikan lagi aturan-aturan yang menjamin keselamatan penumpang. Seperti yang diketahui, sejak juli 2020 Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencabut aturan tentang pembatasan usia pesawat, dan menggantinya dengan aturan baru yang mengembalikan batasan maksimal usia pesawat angkutan niaga sesuai aturan dari pabrikannya layak terbang. Menurutnya regulasi yang baru ini akan mendorong iklim investasi bagi operator tanpa mengurangi resiko keselamatan (bisnis.com, 10/7/2020).

Sekalipun telah disebutkan bahwa penyebab jatuhnya pesawat masih belum bisa dipastikan, namun tetap saja isu akan usia pesawat yang sudah tua dan faktor perawatan pesawat yang buruk harus menjadi perhatian aparat. Gerry Soejatmo kepada CNBC Indonesia (11/1/2021) menuturkan, “Usia pesawat tidak berpengaruh kepada kelayakan pesawat selama pemeliharaan sudah standar pabrik, dan regulator negara pembuat dan negara operator. Namun makin tua maintenance makin mahal, akan sampai ke titik tidak ekonomis lagi, sampai akhirnya tidak layak lagi dilanjutkan sehingga harus di-upgrade.

Memang benar, musibah tidak bisa dihindari. Kematian akan datang menghampiri di manapun berada. Namun sudah semestinya ikhtiar dilakukan? jaminan keselamatan para penumpang dalam hal ini dunia penerbangan harus secara maksimal diupayakan. Bukan semata-mata berorientasi pada profit tanpa memperhatikan lagi dampak keselamatan para penumpang.

Karut-marutnya dunia transportasi Indonesia tidak lepas dari paradigma kapitalisme, asas dasarnya adalah profit/ keuntungan. Layanan publik dalam hal ini transportasi yang seharusnya dikelola oleh negara dengan maksimal dan bertujuan untuk melayani publik justru diserahkan kepada perusahaan atau swasta. Tak heran, ketika kepemilikan fasilitas umum dijadikan sebagai sebuah industri, maka secara otomatis beralih menjadi fungsi bisnis, bukan pelayanan.

Jika berkaca pada pengelolaan fasilitas layanan publik dalam sistem kapitalis yang sarat akan keuntungan bukan pelayanan, lantas bagaimana Islam memandang layanan publik, dalam hal ini adalah transportasi?

Dalam Islam, transportasi merupakan fasilitas layanan publik yang diberikan oleh negara kepada rakyat. Hal ini sesuai dengan kewajiban seorang Khalifah yaitu mengurusi urusan rakyat, menjadi pelayan rakyat termasuk di dalamnya penyediaan transportasi sebagaimana yang disampaikan dalam sebuah hadist. Nabi Saw bersabda,

Imam adalah (laksana) pelayan dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya
(HR. Imam Bukhari).

Teringat kisah ketakutan Khalifah Umar Ibn Khattab ra. tentang jalan berlubang di Irak. Amirul mukminin sangat terpukul ketika mendengar peristiwa keledai tergelincir akibat jalan yang dilewati rusak dan berlubang. Melihat kesedihannya, sang ajudan bertanya, “ Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?”. Dengan wajah yang serius dan menahan marah beliau menjawab, “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”

Dari sini kita dapat melihat bagaimana permasalahan jalan berlubang yang menelan korban seekor keledai saja mendapat perhatian besar di dalam Islam. Apalagi dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas umum lainnya dan penjaminan keamanan nyawa rakyat, sudah barang tentu menjadi prioritas dan tidak akan disepelekan oleh khalifah.

Dikutip dari tulisan Dr. Fahmi Amhar, Islam mempunyai beberapa prinsip dalam pembangunan insfrastruktur transportasi. Pertama, prinsip pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, bukan karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu “rumit” dan “mahal” untuk diserahkan ke investor asing.

Kedua, Islam menggunakan prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Pembangunan Baghdad sebagai Ibu kota kekhilafahan Abbasiyah misalnya, direncanakan secara detail untuk dapat menampung sejumlah penduduk. Dengan perencanaan yang matang, kekhilafahan saat itu membangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Selain itu tak lupa pemakaman umum dan area pengelolaan sampah disiapkan. Dengan ini warga kemudian tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh untuk bekerja ataupun menuntut ilmu.

Ketiga, negara membangun insfrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasi itu sendiri. Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan apabila ada permasalahan bisa diselesaikan oleh pihak patroli khilafah. Untuk itulah kaum Muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina. Tidak hanya itu ratusan geografer Muslim melakukan penjelajahan seluruh dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang mereka kunjungi. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.

Sedangkan dalam hal sektor transportasi udara, ilmuwan Muslim sudah tidak asing dengannya. Abbas Ibnu Firnas (810-887M) dari spanyol misalnya, telah melakukan serangkaian percobaan untuk terbang bahkan seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara. Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attemp at flyng”.

Dengan prinsip pembangunan infrastruktur transportasi yang demikian sudah tentu keamanan rakyat akan terjamin. Insiden yang kerap terjadi pun dalam dunia transportasi termasuk penerbangan dengan sebab teknis akan terminimalkan. Ini dikarenakan negara berperan penuh terhadap fasilitas umum untuk pelayanan umat, bukan semata-mata demi keuntungan saja. Hal ini tentunya akan terwujud jika Islam menjadi landasan sistem negara, penguasa memimpin dengan ketakwaan dan ketakutan akan balasan dari Sang Pencipta. Waallahua'lam bishowab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Trisna AB Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kehidupan Yang Sempit
Next
Gedung Capitol Membara: Bukti Nyata Kerusakan Sistem Demokrasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram