"Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah? Para sahabat menjawab : Tentu Ya Rasulullah. Lalu Nabi bersabda : Hal tersebut adalah mendamaikan perselisihan, karena karakter perselisihan itu membinasakan."
(Hadits Riwayat at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Oleh : Sari Kurnia P.
(Pemerhati masalah sosial dan pegiat literasi)
NarasiPost.Com-Setelah beberapa bulan dalam situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, terpantau dari berbagai linimasa bahwa ternyata Covid-19 ini bukan sekadar penyakit yang mengancam nyawa, perekonomian, bahkan kebijakan politik suatu negara saja. Lebih daripada itu, pandemi ini juga mampu menciptakan masalah baru yakni konflik sosial
Dalam keadaan urgen pandemi seperti saat ini, umumnya muncul dua bentuk perilaku masyarakat, yakni perilaku mempertahankan hidup serta perilaku prasangka sosial. Kedua bentuk perilaku ini akan menjadi pendorong benturan cukup keras ketika ancaman pandemi masih besar serta tekanan kebutuhan ekonomi yang terus mendesak. Tak heran jika di media sosial banyak ditemui masyarakat Indonesia yang saling beradu argumen terkait Covid-19 ini. Sebagai contoh, ada masyarakat yang mati-matian tetap stay di rumah demi terhindar dari paparan virus. Di sisi yang lain, ada pula masyarakat yang sedikit mengabaikan protokol kesehatan yang berlaku. Alasannya, karena hal itu dapat menghambat pekerjaan mereka. Kedua masyarakat ini memiliki bentuk perilaku yang sama, yakni sama-sama mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Lain lagi dengan bentuk perilaku prasangka sosial. Banyak dari masyarakat kita yang hidup dalam prasangka atau asumsi ketika ada orang disekitarnya mendadak meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan yang timbul seringkali dikaitkan dengan keberadaan Covid-19. Padahal bisa saja orang yang meninggal tersebut sebelumnya memiliki riwayat penyakit lain yang mengakibatkan mereka harus tutup usia. Belum lagi ketika simpang siur media pemberitakan yang membuat masyarakat sedikit khawatir atau justru membuat masyarakat makin lengah.
Ketika pandemi ini nantinya berakhir, tugas pemerintah juga masyarakat Indonesia tidak lantas berhenti sampai di situ saja. Ada hal yang lebih urgen untuk diselesaikan lagi yakni bagaimana masyarakat kita mulai terbiasa dan mampu mengelola konflik yang ditimbulkan semenjak adanya Covid-19. Lalu bagaimana solusi Islam dalam menyikapi permasalahan ini? Sejatinya setiap manusia tidak pernah bisa dihindarkan dari yang namanya permasalahan atau konflik. Konflik ini juga yang akan menciptakan suatu keteraturan baru dalam masyarakat bila dikelola dengan benar.
Dalam pemahaman Islam, konflik merupakan suatu keniscayaan (ketentuan) dalam kehidupan bahkan sejak manusia pertama (Adam/Hawa) diciptakan oleh Allah Swt Setiap manusia dilahirkan dengan gharizahnya (naluri) masing-masing. Baik itu gharizah tadayyun (naluri beragama), gharizah baqa' (naluri mempertahankan eksistensi diri), dan gharizah nau' (naluri berkasih sayang). Gharizah inilah yang menjadi faktor pendorong timbulnya konflik termasuk salah satunya konflik manusia terhadap batinnya sendiri. Maka ketika Allah Swt. menciptakan itu dalam diri manusia, diciptakan pula solusi untuk menyelesaikannya sesuai dengan syariat yang berlaku. Dalam hal ini, Al-Qur'an dan As-Sunnah menawarkan spirit untuk mengelola konflik menuju sebuah keteraturan masyarakat.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S Al-Hujurat Ayat 6 yang berbunyi,
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Dari ayat tersebut, hal pertama yang harus dilakukan apabila kita menghadapi suatu pemberitaan hendaknya kita bertabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Dicari kebenaran dari setiap informasi yang diterima. Dalam hal ini segala pemberitaan yang ada sangkut pautnya dengan Covid-19. Sehingga kita tidak hanya hidup dalam prasangka-pransangka yang akan menggiring kita dalam sebuah konflik.
Kedua, adanya upaya mediasi dan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dimana hal ini harus ada penengah yang sifatnya netral (tidak memihak). Penengah ini bisa dari kalangan seorang pemimpin yang jujur dan adil, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. dan juga Umar Bin Khattab ketika keduanya menjadi Khalifah (pemimpin) bagi rakyatnya.
Ketiga ialah Al-Afwu (memaafkan) dan Al-Ishlah (berdamai). Suatu konflik terjadi apabila ada ego yang sama-sama dipertahankan antara pihak pertama dengan pihak kedua. Maka setelah melewati tabayyun dan mediasi, sikap memaafkan dan berdamai merupakan solusi pamungkas dari segalanya. Bertekad untuk tidak mengulangi dan menerapkan segala aturan yang Allah Swt perintahkan. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 208.
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."
Selain perintah Allah Swt. yang disampaikan dalam Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw. pernah bertanya kepada para sahabat :
"Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah? Para sahabat menjawab : Tentu Ya Rasulullah. Lalu Nabi bersabda : Hal tersebut adalah mendamaikan perselisihan, karena karakter perselisihan itu membinasakan."
(Hadits Riwayat at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dalam menghadapi konflik, Islam menawarkan suatu konsep yakni perdamaian yang dapat ditempuh dengan cara-cara di atas. Tentu damai dan keteraturan suatu masyakarat akan tercipta apabila didukung dengan sistem yang pedomannya tertuju pada hukum-hukum Allah Swt. Bahwa ketika sistem itu baik, maka akan terkondisikan sebuah masyarakat yang mencintai kedamaian sebab adanya keimanan di hati mereka.[]