Hikmah pasca khitbah yang mendatangkan maslahat bagi kedua belah pihak, karena kedua belah pihak telah melaksanakan langkah-langkah sesuai arahan syariat. Serta memahami bahwasanya hukum syariat itu sendiri tujuannya menghindarkan manusia dari bibit-bibit permusuhan, perselisihan dan kedengkian hingga putusnya silah ukhuwah.
Oleh: Adibah NF
NarasiPost.com - Menurut syariat, khitbah merupakan pendahuluan menuju gerbang pernikahan sebagai wahana bagi kedua belah pihak untuk melakukan ta’aruf satu sama lain. Sehingga bisa saling mengenal dan memahami kepribadian masing-masing secara garis besar. Apakah berkepribadian Islam atau tidak, sejauh mana kepribadian dan kualitasnya. Dengan kata lain, mengetahui bagaimana pola pikir dan pola sikapnya.
Demikian pula, masing-masing perlu mengetahui akhlaknya, karakter, adat atau kebiasaan dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Melalui jalan inilah kedua keluarga yang sudah sepakat dalam khitbah bisa mempertimbangkan untuk mengambil keputusan dalam melanjutkan pada tujuan utama yaitu pernikahan atau berhenti.
Adapun hal-hal yang harus diketahui dan diperhatikan adalah apapun yang akan mempengaruhi jalannya pernikahan yang akan dijalani. Termasuk bagaimana kualitas ibadahnya, visi-misi hidup, pandangan terhadap kehidupan, cara bepikirnya, standar hidup yang digunakan dan lain-lain. Jadi, hal apapun yang bisa berpengaruh terhadap bangunan dan pola atau corak keluarga yang akan dibentuk. Semua itu akan bisa diketahui melalui diskusi dua pihak tersebut.
Diskusi yang akan dilakukan bisa berkomunikasi melalui telepon, whatsApp, sms, email dan sebagainya dengan materi yang dibolehkan, tidak mengandung syahwat semisal saling merayu dan bermanja-manja dengan suara yang menampakkan gairah jinsiyyah.
Boleh juga dengan pertemuan langsung, tentu saja bukan dilakukan oleh kedua calon mempelai saja, karena tetap dianggap sebagai orang asing dan belum sah menjadi pasangan, tetap tidak boleh bepergian berdua, berkhalwat, menjaga pandangan dan senantiasa didampingi oleh wali masing-masing, bisa dengan ayah, ibu, kakak ataupun saudara yang menjadi bagian garis mahram terutama bagi calon dari pihak perempuan. Sehingga terjaga kesucian hubungan yang sudah diawali dengan khitbah.
Tak kalah penting sebelum memutuskan lanjut ke pernikahan, perhatikan juga bagaimana sifat-sifatnya yang dimiliki, gaya hidup (life style), bepakaian dan interaksi/berkomunikasi dengan orang lain, sebab semua itu akan mempengaruhi keutuhan dalam kehidupan rumahtangga nanti. Maka harus betul-betul matang pertimbangannya, jangan sampai terburu-buru tanpa pertimbangan yang jelas.
Dalam melakukan khitbah, sejatinya banyak hikmah yang bisa didapat yakni, siapa saja dari wanita yang sedang berada dalam masa khitbah, yaitu sedang dalam khitbah pria lain maka tidak boleh ada pria yang mengkhitbahnya atau seorang wanita dengan mudahnya menerima khitbahan pria lain sebelum membatalkan khitbah pria pertama.
“Janganlah seseorang mengkhitbah diatas khitbahan saudaranya, hingga saudaranya itu menikahi atau meninggalkan” (HR. Ahmad, Bukhari dan an-Nasa’i).
Larangan ini jelas menunjukkan atas pengharaman mengajukan khitbah kepada seorang perempuan yang telah sempurna khitbahnya.
Apabila sudah sepakat kedua belah pihak untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka keduanya segera mendiskusikan persiapan yang diperlukan dalam pernikahan, persiapan fisik, pemikiran/ilmu tentang kewajiban masing-masing (mengikuti kajian pra pernikahan) agar keduanya benar-benar sudah siap dan paham amanah masing-masing.
Karena khitbah merupakan janji antara dua belah pihak, maka ketika terjadi pemutusan ikatan khitbah, misalnya saat khitbah pihak laki-laki sudah memberikan sesuatu (cincin emas) pada pihak wanita. Karena saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat melakukan dengan istilah tukar cincin pertunangan saat khitbah. Yang menunjukkan keseriusan niatnya untuk menikahi wanita yang dikhitbahnya. Sekaligus untuk mencegah agar si wanita tidak berpikir untuk membatalkan ikatan khitbahnya.
Maka pemberian itu belum mutlak menjadi miliknya, karena tujuannya sebagai mahar. Dan harus dikembalikan karena statusnya hanya titipan untuk mahar saat akad nikah nanti. Dan pihak pemberi boleh meminta lagi pemberianya. Tetapi jika pihak tidak diminta untuk dikembalikan, bisa saja dianggap bahwa pemberi telah merelakan untuk dimiliki penerima.
Namun, jika tujuannya hanya hadiah saja bukan berniat dijadikan mahar saat menikah nanti, barang apapun yang diberikan menjadi hak penerima tanpa harus mengembalikan. Sementara pihak pemberi tidak boleh menarik atau meminta dikembalikan lagi.
“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah lalu ia menariknya kembali kecuali orang tua dalam apa-apa yang diberikannya kepada anaknya, dan permisalan orang yang memberikan suatu pemberian kemudian memintanya kembali adalah seperti seekor anjing yang memakan sesuatu lalu ia memuntahkannya, dan kembali memakan muntahannya itu” (HR Abu Dawud, an-nas’I, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).
Maka perlu kehati-hatian dari masing-masing calon atau kedua belah pihak dalam memberikan sesuatu harus disertai niat/akad yang jelas. Agar tidak terjadi hal yang menghantarkan pada perselisihan saat adanya pembatalan akad khitbah dari kedua belah pihak.
Inilah hikmah pasca khitbah yang mendatangkan maslahat bagi kedua belah pihak, karena kedua belah pihak telah melaksanakan langkah-langkah sesuai arahan syariat. Serta memahami bahwasanya hukum syariat itu sendiri tujuannya menghindarkan manusia dari bibit-bibit permusuhan, perselisihan dan kedengkian hingga putusnya silah ukhuwah.
Alhasil, semua yang dilakukan Muslim saat ini bisa terealisasi dengan sempurna dalam memilih pasangan dan menghantarkan ke pintu pernikahan yang sesuai perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw, jika aturan yang diterapkan sesuai dengan landasan yaitu bersandar hanya pada Alquran dan As Sunnah, tidak lain hanya ada dalam sistem Khilafah Islamiyah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya.
Wallahu a’lam bishawab.
Picture Source by Google