Oh, my GERD. Pikiran kembali semrawut tak menentu. Aku imbangi lagi dengan istigfar, selepas istigfar, pikiran buruk justru kembali menyapa.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Oh, My GERD! Aku tak pernah menduga akan menjadi salah satu penyintas GERD Anxiety. Penyakit yang cukup unik, karena tak hanya sekadar menyerang fisik, tapi juga psikis. Fisik dan mental benar-benar diuji selama sakit. Diri seperti bertarung dengan diri sendiri melawan keruwetan berpikir. Isi kepala terasa penuh seperti benang kusut, segala hal yang tidak harus dipikirkan, entah mengapa saat itu menjadi hal yang paling menakutkan.
Istilahnya me vs my anxiety. Setiap hari 1001 sensasi fisik selalu menyapa. Mulai dari kepala keliyengan, pandangan mata mengabur, hidung tersumbat, kepala bagian belakang kesemutan, tengkuk leher sakit. Bahkan, tenggorokan terasa mengganjal, dada panas, dada kiri terasa ditusuk, sekaligus terasa dingin sampai tembus ke seluruh punggung belakang, ulu hati nyeri, perut kembung, begah, tangan kesemutan, kaki kesemutan, dan sangat tekor energi.
Jangankan menjalankan akitivitas harian, hanya untuk memasak pun, energi sudah benar-benar terkuras. Itu masih dari sisi fisik. Sisi psikis jauh lebih menyiksa. Anxiety juga selalu datang menyapa tak kenal waktu. Pikiran tidak pernah tenang, penuh ketakutan, kecemasan, dan kepanikan.
Yang paling mengerikan adalah perasaan seperti diintai oleh seseorang dan perasaan takut mati yang terus hinggap setiap saat. Dunia mendadak menjadi horor. Sekadar menatap dunia dengan mengangkat wajah pun, aku tak sanggup. Semua terasa gelap, aku seperti terjerembap ke lembah paling dalam di hidupku.
Mulai Kehilangan Jati Diri
Gerd Anxiety, penyakit yang juga cukup membingungkan, karena mampu membuat si penyintas seperti kehilangan jati diri, kehilangan arah, dan kehilangan semangat hidup. Waktu itu, aku yang biasanya selalu semangat, berubah menjadi pribadi yang sangat mudah putus asa. Aku yang periang, berubah menjadi sangat pemurung.
Bahkan, aku yang dulunya sangat optimis dalam menjalani kehidupan, berubah menjadi super pesimis. Aku yang selalu membuka diri dengan orang-orang baru, berubah menjadi sangat tertutup dan membatasi diri. Oh, my GERD! Kamu benar-benar membuat aku bertanya pada diri sendiri, Who am i? Ya, aku tak tahu siapa diriku saat itu.
Tahu tidak? Dulu, aku dikenal dengan sebutan “si panjang kaki”. Aku suka sekali dengan travelling, berpetualang dari satu tempat ke tempat lain. Aku pernah mendaki gunung yang memilki medan lumayan curam sejauh 19 km. Aku pernah mengendarai sepeda motor melewati jalan lintas selama 4 jam, ditemani dengan truk-truk dan bus-bus besar di sepanjang perjalanan.
Aku juga sering nekat berpetualang kemana-mana hanya sekadar untuk memenuhi kegemaran.Tapi, saat GERD anxiety datang melanda. Jangankan mendaki gunung, berjalan keluar rumah untuk menyapu halaman saja, ketakutan langsung datang menghampiri, menguliti habis segala keberanian yang pernah aku punya.
Jangankan juga mengendarai sepeda motor melewati jalan lintas, hanya sekadar memandang sepeda motornya saja, sukses membuatku bergidik ketakutan. Jangankan juga nekat untuk pergi ke suatu tempat, melihat keramaian pun, aku sudah ketakutan.
Perjalanan Panjang Dimulai
Ramadan 2022, perjalanan panjang pun dimulai. Keluhan awal yang ada hanya badan yang pegal luar biasa saat menjelang tidur dan saat bangun tidur di pagi hari. Awalnya aku masih bersugesti positif pada diri, kelelahan mengurus rumah, suami, anak, dan amanah-amanah dakwah menjadi pembenaranku atas kondisi saat itu.
Sering aku memanggil jasa ‘tukang kusuk’ ke rumah untuk mengatasi keluhan. Tapi tak pernah ada perubahan berarti. Semakin hari aku semakin mudah kelelahan, sering mengantuk tidak jelas, sering merasa lapar, sulit berpikir, dan sulit untuk fokus. Lagi dan lagi, amanah dan aktivitas yang bertumpuk menjadi pembenaran atas segala kondisi yang aku rasa.
Perlahan tapi pasti. Keluhan mulai merambah ke wilayah psikis. Aku sering ketakutan tak menentu akibat pikiran buruk yang terus muncul. Anxiety sering menyolek tak kenal waktu. Contohnya, saat kami sekeluarga akan pergi keluar kota untuk mengantar teman yang hendak akad nikah. Malam sebelum hari H, pikiranku kacau. Dalam kepalaku terlintas sebuah tanya, bagaimana jika mobil rombongan akad nikah malah mengalami kecelakaan dan kami semua tak tertolong?
Pikiran buruk terus mendominasi kepala. Di satu sisi, akalku masih berusaha menetralkan isi kepala dengan beristigfar lalu memohon ampun kepada Allah. Tapi tetap saja, detik selanjutnya, pikiran buruk kembali merajai kepala, hingga aku mulai bertanya, apakah ini memang pertanda akhir dari perjalanan hidupku?
Gerd
Pikiran kembali semrawut tak menentu. Aku imbangi lagi dengan istigfar, selepas istigfar, pikiran buruk justru kembali menyapa. Begitu terus berulang sampai aku merasa muak sendiri. Aku sudah mencoba untuk mengalihkan pikiran, tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa. Dan itu sungguh-sungguh melelahkan.
Esok paginya, saat waktu keberangkatan sudah tiba, ketakutan kembali menyapa. Pandangan mataku sempat mengabur, badan gemetaran, dan linglung. Tapi aku coba menguatkan dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Walau sepanjang perjalanan diliputi rasa waswas, alhamdulillah, perjalanan waktu itu lancar. Ada sedikit kelegaan dalam diri, aku masih berusaha meyakinkan diri bahwa semua permasalahan hanya bersumber dari pikiran.
Selepas kejadian itu, aku kembali optimis bisa menghapus segala pikiran buruk, tapi ternyata tidak semudah itu, Guys. Semua malah makin parah. Setiap aku keluar rumah dan melihat lalu lalang di jalanan, yang terpikir hanyalah kecelakaan dan kematian. Oh, My GERD!
Gerd Membuatku Panik
Awal Agustus 2022, saat tengah malam. Mata tak kunjung ingin tertidur, padahal badan sudah lelah luar biasa. Aku putuskan untuk mengambil gawai, berselancar di media sosial, membaca berita-berita ter-update, barangkali aku bisa dapat ide untuk menulis opini.
Lain harapan, lain pula kenyataan. Serangan panik datang menyapa. Tiba-tiba dada sebelah kiri terasa sakit seperti ditusuk, tangan gemetaran, jantung berdebar-debar tak menentu, kaki kesemutan, dan sekujur tubuh mendadak kedinginan. Tahukah apa yang aku rasa saat itu? Ya, aku berpikir malaikat maut sudah dekat dan siap melakukan tugasnya.
Ketakutan dan kepanikan pun datang menyelimuti. Aku mencoba membangunkan suami. Tapi, mungkin karena kelelahan setelah seharian bekerja, suami tak kunjung bangun. Kondisi badan semakin menjadi-jadi, ketakutan dan kepanikan makin mendera, tapi tetap tak bisa berbuat apa-apa. Dini hari itu, semua benar-benar terasa sangat mencekam.
Tiga puluh menit kemudian, keluhan mulai mereda. Aku pun memutuskan untuk mengambil air wudu dan bermunajat kepada Allah. Memohon ampun dan berdoa kepada-Nya, mungkin terlalu banyak dosa yang aku lakukan hingga kecemasan dan kepanikan selalu menghantui. Dan aku hanya ingin bisa membersamai anak-anak dan suami sampai usia senja.
Esok paginya, aku dan suami pergi melakukan check up, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, apakah mungkin serangan jantung? Serangkaian proses pemeriksaan aku lakukan, tapi hasil pemeriksaan menunjukkan jantung dalam kondisi sehat dan normal. Lalu sebenarnya, aku kenapa ya Allah?
Serangan Panik Kedua
13 September 2022. Serangan panik kedua dimulai. Siang hari itu, aku masih ingat sekali menu makan siang kami : ikan nila goreng tepung, lalapan, dan sambal bawang kesukaanku. Aku makan bersama anak-anak, kami makan dengan sangat lahap sambil diiringi canda tawa seperti biasa. Setelah makan, aku pun menidurkan anak-anak.
Niat hati ingin ‘me time’ sejenak sambil scrolling sosial media, tapi tiba-tiba … Buugghh. Ada sesuatu yang menghantam dada kiri, kuat dan begitu keras, aku langsung bangkit. Sekujur tubuh langsung gemetaran, jantung kembali berdetak tak karuan, wajahku pucat, bibir juga memucat, kepala terasa panas, tengkuk leher sakit luar biasa, dan sekujur tubuh kedinginan.
Pikiranku kembali menyangka bahwa saat itu pasti malaikat maut tengah menjalankan tugas menjemputku. Bayangan kematian yang semakin dekat, membuatku semakin kacau dan panik. Aku segera menyambar jilbab dan kerudung, lalu membangunkan anak-anak. Kemudian, aku berlari tergesa-gesa keluar rumah. Sampai di halaman, aku makin bingung, segala keluhan fisik makin menjadi. Anak-anak heran menatapku. Tak ada yang bisa aku katakan kepada mereka, kecuali deraian air mata.
Aku berlari ke rumah tetangga diikuti anak-anak. Sampai di sana, tetangga mencoba menenangkan dan memberikan minum air hangat. Ada hampir 45 menit kejadian itu berlangsung, lelahnya luar biasa. Aku mengambil gawai lalu menghubungi suami, memintanya untuk segera izin pulang, karena yang ada di pikiranku hanya : IGD.
Selang satu jam, aku dan suami sudah tiba di tempat pemeriksaan. Seorang perawat yang dulu juga melayaniku terlihat keheranan karena aku datang kembali dengan keluhan yang sama. Pemeriksaan kembali dilakukan. Kondisi gula, kolesterol, asam urat, dan jantung, semua hasil tetap dinyatakan normal. Aku dinyatakan sehat, tapi hatiku menolak kenyataan itu, karena aku merasa ada yang tidak beres di tubuhku.
Pemeriksaan dilanjutkan ke bagian perut dan sekitarnya. Sebuah kesimpulan didapat, aku didiagnosis asam lambung tinggi dan diingatkan tidak boleh telat makan. Segala gejala psikis yang ada juga sudah aku ungkapkan. “Jangan stres, pergilah ke psikolog jika perlu!”, nasihat yang aku dapat waktu itu. Nasihat yang membuatku bertekad kuat untuk ke dokter jiwa. Nasihat yang membuatku berpikir : “Mungkin, ini gejala sakit jiwa!”. (Lanjut Chapter 2) []
Penyakit yang membuat kita tak berdaya...
Teman saya yang kena Gerd juga pernah dianggap punya masalah mental. Karena Gerd ternyata juga bisa mempengaruhi psikis.