Pemilu Demokrasi Mengorbankan Manusia

Pemilu Demokrasi

Pemilu 2024 menjadi pilu yang mendalam bagi keluarga 35 orang petugas yang meninggal dunia dan 3.909 orang petugas yang sakit.

Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masih ingatkah Anda tentang meninggalnya petugas Pemilu 2019? Kini fenomena memilukan itu terulang lagi.

Sebagaimana diberitakan oleh detik.com (16/02/2024), Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menyebutkan bahwa ada 35 orang petugas penghitungan suara pemilu yang meninggal. Angka ini diambil pada hari ke dua pelaksanaan pemilu 2024 dan di-update tanggal 16 Februari 2024.

Selain itu, KPU juga mencatat ada 3.909 petugas pemilu yang jatuh sakit. Di antaranya adalah Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) 119 orang, Panitia Pemungutan Suara (PPS) 596 orang, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 2.878 orang, dan perlindungan masyarakat (Linmas) 316 orang. Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik menyebutkan bahwa kejadian tersebut disebabkan faktor kelelahan.

Pemilu Demokrasi Pemicu Kelelahan dan Kematian

Pemilu demokrasi disebut sebagai pesta rakyat, tetapi faktanya banyak yang justru mengalami duka. Pemilu 2024 menjadi pilu yang mendalam bagi keluarga 35 orang petugas yang meninggal dunia dan 3.909 orang petugas yang sakit. Itu baru hari ke dua, padahal penghitungan masih banyak dan masih terus berjalan, tentu jumlahnya akan bertambah.

Masih kental dalam ingatan kita tentang Pemilu 2019 yang menyebabkan setidaknya 894 orang meninggal dan belasan ribu lainnya mengalami sakit. Tidak hanya itu, pemilihan pemimpin ala demokrasi ini juga menyisakan kekecewaan baik bagi pendukung kontestan yang kalah, maupun warga yang golput karena tiadanya kepercayaan pada demokrasi.

Berbagai pihak menyebutkan bahwa para petugas bekerja hingga tidak ada waktu istirahat. Beban kerja yang berat, apalagi tidak diselingi dengan istirahat, tentu memicu kelelahan. Dampaknya, penyakit-penyakit yang diderita para petugas akan muncul.

Para petugas bukan tidak mungkin memang sudah memiliki masalah kesehatan seperti darah tinggi, diabetes, atau jantung. Namun, penyakit itu tidak akan muncul jika tidak ada tekanan kerja yang berlebihan. Di samping itu, berita-berita hoaks selama pemilu juga memicu stres sejumlah petugas.

Risiko Kematian Petugas Pemilu, Bisa Dicegah

Sebenarnya risiko kematian petugas pemilu ini bisa dicegah, seperti dengan lebih ketat menyeleksi para calon petugas. Hal Ini karena begitu beratnya tugas persiapan dan penghitungan suara pemilu ala demokrasi. Jadi, harusnya yang direkrut menjadi petugas hanya orang-orang yang memiliki kesehatan prima saja.

Selain itu, cek kesehatan umum untuk seluruh calon petugas pemilu juga harus dilakukan, tetapi tentu akan memakan biaya yang lebih besar lagi. Tidak adanya kepedulian pada semua hal tersebut menunjukkan betapa abainya pemerintah terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa warganya.

Nyawa Manusia Berharga

Padahal dalam Islam, nyawa sangat berharga, bahkan lebih berharga dari dunia. Namun, inilah kebobrokan dan kekejaman pemilu demokrasi. Nyawa manusia seolah tidak berarti, yang penting ambisi terpenuhi.

Tampak sekali sistem kerja yang diterapkan penguasa, seperti tidak memanusiakan manusia.  Manusia yang secara fitrah memiliki rasa lelah dan membutuhkan waktu untuk istirahat, tetapi semua itu diabaikan. Rasulullah saw. bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan Al-Albani).

Pemilu Demokrasi Tidak Efektif

Dalam sistem demokrasi, pemilu diklaim sebagai satu-satunya jalan untuk mengangkat atau mengganti pemimpin. Cara ini dianggap adil karena melibatkan seluruh individu rakyat secara langsung. Hal ini sesuai dengan slogan demokrasi, yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat. Padahal sejatinya, dari korporasi, oleh korporasi, dan untuk korporasi.

Pelibatan seluruh warga dengan memilih atau mencoblos hanya untuk mendapat legitimasi semata. Kenyataannya, praktik pemilu demokrasi menjadi alat bagi para kapitalis atau oligarki untuk mengendalikan kekuasaan, menguasai sumber daya alam, dan memanfaatkan sumber daya manusianya.

Pemilu dengan sistem demokrasi akhirnya menjadi jauh dari kata efektif. Dalam pelaksanaannya, sistem ini membutuhkan waktu yang lama. Data dari Pemilu.go.id menginformasikan bahwa pemilu serentak tahun 2024 sudah dimulai persiapannya sejak 2022. Dengan waktu yang lama ini, memungkinkan setiap partai atau calon kontestan melakukan lobi-lobi untuk mencari dukungan. Berita bohong alias hoaks pun akan berseliweran. Antarpendukung partai atau calon juga acap kali terjadi perseteruan dan bentrokan hingga saling bermusuhan hanya karena beda dukungan. Dampaknya, rakyat pun mudah dipecah belah.

Dengan persiapan yang lama, Pemilu ala sistem demokrasi akan menghabiskan banyak biaya untuk kampanye. Kemenkeu.go.id menyebutkan bahwa Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran hingga Rp71,3 triliun untuk pemilu 2024. Biaya ini belum termasuk biaya pribadi dari partai maupun calon kontestan. Jumlah yang super besar ini tentu sangat rawan pada penyalahgunaan anggaran.

Hal ini hanya akan menjadi ajang adu kekuatan antara partai atau calon kontestan. Untuk mendapatkan modal sebesar-besarnya, mereka akan kongkalikong dengan para cukong, oligarki, maupun pemegang kekuasaan. Tidak ada yang gratis, semua itu akan dibayar dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka, para kapitalis. Pada akhirnya pemilu hanya menjadi ladang bisnis.

Selain itu, pemilu demokrasi juga memakan banyak tenaga. Dikutip dari tempo.co (26/01/2024), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melantik 5,7 juta atau tepatnya sebanyak 5.741.127 orang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Mereka dikontrak satu bulan, dari 25 Januari hingga 25 Februari. Walaupun sudah sebanyak itu, nyatanya masih kewalahan. Mereka menyelesaikan penghitungan dan penyaluran hingga begadang, bahkan tidak tidur. Itulah yang menyebabkan mereka banyak yang jatuh sakit dan meninggal.

Meskipun sudah sedemikian repot dan mahal proses pemilihannya, pemimpin yang dihasilkannya pun acap kali jauh dari harapan. Segala problematika masyarakat bukannya selesai atau berkurang, tetapi justru makin pelik.

Hukum Syariat Pemilu Demokrasi

Di dalam Islam, pemilihan pemimpin secara langsung pada dasarnya boleh atau mubah, tetapi hanya sebagai alternatif, karena metode bakunya adalah dengan baiat. Metode baiat ini bisa dilakukan dengan cara menunjuk, seperti pada saat penunjukan Umar bin Khaththab. Selain itu, metode baiat juga bisa dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, sebagaimana saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Waktu itu, perwakilan rakyat tersebut berjumlah 6 orang.

Panitia yang sedikit itu tentu tidak memerlukan biaya yang banyak sebagaimana jika dilakukan pemilihan secara langsung ala demokrasi. Namun, walaupun hanya 6 orang, tetapi mereka adalah representasi suara rakyat. Mereka adalah orang-orang terbaik, tepercaya, dan tokoh masyarakat. Sumbernya adalah ijmak sahabat, yaitu ketika pembaiatan Khalifah Abu Bakar radiyallahu anhu yang selesai pada hari ketiga wafatnya Rasulullah saw.

Demikian juga ketetapan Umar yang membatasi waktu tiga hari saja pada ahlul halli wal aqdi untuk bermusyawarah. Inilah yang menjadi landasan cara memilih pemimpin. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati para sahabat radiyallahu ‘anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42).

Pemilu Efektif Hanya dengan Sistem Islam

Kita bisa menyaksikan betapa rumit dan repotnya sistem demokrasi dalam memilih pemimpin. Praktik ini sangat berbeda dengan cara Islam dalam memilih pemimpin, yaitu simpel dan efektif. Hal ini telah dipraktikkan di sepanjang sejarah Islam sejak wafatnya Rasulullah saw. yang digantikan Abu Bakar ash-Shidik, dan para khulafaurasyidin, juga dilanjutkan para khalifah setelahnya.

Keefektifan ini bisa kita lihat sejarah ketika Rasulullah saw. wafat. Saat itu para sahabat berkumpul. Kaum Muhajirin, kaum Anshar, serta bani Saidah pun ada di sana. Hari Senin, sesaat setelah  Rasul saw. wafat, mereka bermusyawarah.  Hari itu pula mereka sepakat mengangkat Abu Bakar ash-Shidiq dan dilakukan baiat in'iqad, yaitu baiat pengangkatan pertanda telah memenuhi syarat sebagai khalifah.

Hari berikutnya, kaum muslim berkumpul di Masjid Nabawi untuk melakukan baiat taat kepada Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq. Mereka melakukan baiat taat untuk memberikan ketaatan pada pemimpin yang menerapkan syariat. Demikian juga setelahnya, tiga bulan sebelum Abu Bakar mangkat, beliau pun melakukan hal serupa, yaitu dengan berkeliling di kota Makkah untuk menanyakan pada masyarakat, orang yang layak menggantikan sepeninggalnya. Hingga akhirnya, rakyat menghendaki Umar bin Khaththab.

Selain caranya simpel, masa jabatan pemimpin dalam Islam pun tidak ada jangka waktu tertentu, tetapi selamanya. Selama pemimpin tidak melanggar hukum-hukum syariat maka ia masih bisa terus menjabat hingga wafat. Dengan waktu pemilihan yang singkat dan kepemimpinan yang lama maka menjadi simpel dan tidak boros, tidak memakan banyak biaya dan tenaga.

Sungguh, betapa berbedanya antara sistem demokrasi dengan sistem Islam dalam melakukan perhelatan memilih pemimpin. Sistem Islam bisa menyelenggarakan dengan sederhana dan efektif, tetapi menghasilkan pemimpin pilihan, terbaik di antara yang baik. Sebaliknya, pemilu ala sistem demokrasi sangat bertele-tele, boros biaya maupun tenaga, bahkan nyawa rakyat menjadi taruhannya. Dengan demikian, sampai kapan bobroknya sistem demokrasi ini akan dipertahankan?

Wallahua’lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Erdiya Indrarini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mengurus Lansia, Meraih Pahala
Next
Petis, Bumbu Serbaguna
5 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
8 months ago

Petugas KPPS itu memang banyak yang all out menyiapkan hajat politik oligarki. Mereka menyiapkan sejak dua hari sebelumnya bahkan. Malamnya begadang, pas hari H sampai dini hari lagi baru pulang. Ah, memang tidak efektif.

Barokallahu fiik, Mbak

Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Sistem pemilu dalam demokrasi memang tidak efektif dan efisien. Waktu, biaya, dan tenaga yang dibutuhkan sangat besar. Mirisnya lagi membawa korban pula. Beda banget dalam sistem pemilihan dalam Islam.

Haifa
Haifa
8 months ago

Halaman rumah tetangga saya dijadikan TPS. Sejak tanggal 13 suasana sudah ramai, ada musik-musik, dan bapak-bapaknya begadang. Subuh tgl 14 para petugas sudah bersiap dan tugas mereka baru selesai pagi di tanggal 15. Itu pun honornya hingga sekarang belum keluar (informasi dari teman).

Ya Allah. Benar2 rakyat menjadi korban bahkan ditumbalkan.

Sartinah
Sartinah
8 months ago

Kasihan rakyat jadi tumbal pemilu demokrasi. Iming-iming gaji besar terkadang membuat banyak orang rela lelah demi menjadi anggota KPPS.

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
8 months ago

Wah miris ya? Sudahlah biayanya mahal pasca pemilu karena gagal stres pula. Tak bisa menerima kenyataan atas usahanya

Wd Mila
Wd Mila
8 months ago

Pesta Demokrasi yang katanya untuk rakyat, justru rakyatlah yang menjadi tumbal demokrasi itu sendiri..

Novianti
Novianti
8 months ago

Setiap pemilu berulang tetapi rakyat masih belum sadar. Pemilu bukan pesta ralyat melainkan pesta politisi dan oligarki. Suasananya saja sudah jauh berbeda dengan saat pemilihan di era khulafaur rasyidin. Saat ini sarat intrik, muslihat, manipulatif, dan kebohongan. Nasib rakyat jadi mainan.

Last edited 8 months ago by Novianti
Desi Nurjanah
Desi Nurjanah
8 months ago

Sangat di sayangkan, ketika ada cara efektif terbaik dan sudah terbukti keberhasilannya. Justru negara ini memilih demokrasi yang mahal biayanya dan tidak memuaskan hasilnya... Astaghfirullah, kesalahan selalu berulang karna cara yang salah tetap di lakukan.

Turut berduka atas wafatnya para petugas yg tulus ikhlas mengurusi negri ini, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa sendiri.

Semoga sistem di negri ini lekas berganti.
Hingga tak ada lagi korban jiwa dalam pesta demokrasi.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram