“Ada sebuah negeri yang rajanya tak akan menzalimi. Negeri itu juga aman. Habasyah namanya. Bagaimana jika kalian berhijrah ke sana. Sampai Allah Swt. memberi solusi pada kalian.” (HR. Ibnu Ishaq)
Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hari itu suasana di gurun pasir sangat menyengat. Membuat setiap orang yang lewat mengucurkan keringat. Arruna menatap ke langit biru. Di sana sang surya juga tengah bersinar hebat.
Udara yang mengalir pun tak ketinggalan, mengangkat ribuan butir pasir gurun yang kerontang ke seluruh arah. Arruna hampir kekurangan cairan. Sedari tadi ia berusaha menahan napas agar tak menghirup udara yang membawa butiran pasir halus yang bisa mengganggu saluran pernapasannya. Gadis belia itu harus segera mempercepat langkahnya agar sampai ke istana raja.
Hati Arruna menjadi tak karuan sejak bunga tidur menghampirinya pada malam lalu. Itulah mengapa, ia ingin mencurahkan semua pada sang bibi yang bekerja sebagai tukang masak di istana Raja Najasyi.
Arruna pun terus memacu langkah. Hingga sayup terlihat istana raja dari manik matanya yang hitam. Di sanalah tempat di mana saudara ibunya bekerja.
Namun, ada yang membuat hati Arruna bergetar. Kala kedua sorot matanya menangkap sebuah pemandangan yang tak asing baginya. Rasa-rasanya ia amat dekat dengan pemandangan ini. Tapi kapan dan di mana? Arruna masih tak percaya. Ia berdiri mematung dari jarak beberapa puluh meter.
Arruna mengangkat jarinya lalu menggosok-gosok kedua indra penglihatannya. Sayang, kuatnya badai pasir di gurun Afrika tersebut membuat sesekali pandangan mata gadis belia itu terganggu. Akan tetapi, hati kecilnya membisikkan sebuah keyakinan, jika mereka adalah rombongan yang semalam ia lihat dalam mimpi yang kini seolah menjadi nyata adanya.
Arruna pun masih terpaku dalam hening. Kakinya menjadi urung untuk bergerak. Ia seolah tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Maka terpatunglah ia di depan kediaman Raja Habasyah yang bijak itu. Meski begitu, sorot matanya tiada henti mengindra ke mana rombongan itu akan beranjak.
Tak lama berselang.
Seorang lelaki berkulit hitam legam, berbadan kekar, dengan sorot mata yang tajam menarik gerbang. Tak ada seutas senyuman di bibirnya. Namun, lelaki bersorot mata tajam itu tak juga melarang rombongan untuk masuk. Itu pertanda mereka telah mendapat izin dari pemilik istana.
Arruna pun kian bertanya-tanya. Sesekali ia memperbaiki penutup kepala dan wajahnya yang lagi-lagi tersingkap oleh angin gurun pasir yang tandus itu.
Ia pun lantas tak membuang waktu. Dipilihnya pintu dari jalan yang berbeda. Yakni, jalan di mana para budak dan pekerja di istana biasa lewat. Arruna sudah merekam semua dalam memorinya. Mengingat sejak kecil ia sudah sering membersamai sang bibi untuk sekadar membantu memotong sayuran dan membuat roti. Sang bibi sudah bekerja sejak ia masih kanak-kanak.
Kebaikan hati Raja Najasyi membuatnya betah untuk berada di dalam istana raja. Arruna bahkan bisa bermain dengan anak-anak para rahib di dalam istana ini. Itulah mengapa, hingga dewasa ia dengan bebas keluar masuk selama ia mau.
Arruna terus berjalan menyusuri lorong demi lorong istana. Dan betapa terkejutnya ia, kala para pengawal membawa para rombongan tadi menuju singgasana raja.
"Mau apa, mereka?" tanya Arruna dalam hati.
Orang-orang ini telah mengingatkannya pada mimpinya. Walau ia pernah mendengar kabar raja telah memberi keleluasaan pada mereka untuk tinggal di negeri ini. Namun, mengapa hari ini orang-orang itu ke istana lagi.
"Mengapa mereka harus bertemu raja?"
Arruna menepi sejenak. Tak lama berselang orang-orang yang dekat dengan raja mulai bersuara.
“Wahai, Yang Mulia. Tanpa kau sadari telah masuk dan menyelinap ke negerimu ini anak-anak muda kami yang linglung. Mereka itu telah murtad dari agama sebelumnya. Namun, mereka juga tak masuk ke dalam agamamu. Mereka memeluk agama yang kami sendiri pun tak kenal agama itu. Kedatangan kami ke sini atas utusan orang tua mereka dan paman-paman mereka agar segera mengembalikan mereka ke negeri asalnya. Sebab hanya merekalah yang memahami” ujar salah satu utusan yang tampaknya tak suka dengan kehadiran para rombong itu.
Arruna masih terus memasang indranya. Tak lama beberapa pendeta pun berujar.
“Kami pikir ada benarnya juga perkataan mereka, Yang Mulia. Mengingat mereka berasal dari negeri yang sama. Dan sudah barang tentu, merekalah orang-orang yang paling tahu dan memahami mereka. Maka ada baiknya jika yang mulia kembalikan saja mereka kepada kedua utusan yang datang ini.”
Abdullah bin Abu Rabiah dan Amr bin Al-Ash selaku dua utusan yang dimaksud tersenyum puas. Tak sia-sia hadiah yang sudah mereka suguhkan pada para pendeta. Rupanya orang terdekat raja itu dapat memahami apa yang tengah mereka rencanakan.
Suasana ruang singgasana raja pun mulai rusuh. Tak sedikit yang mengiyakan. Namun, tidak dengan sang raja.
Bukannya senang dengan perkataan pendetanya. Raja Najasyi itu justru murka. Ia tak suka bila mendengar sesuatu dari satu pihak dan lantas membenarkannya.
“Tidak! Demi Allah, tidak akan aku berikan mereka kepada kalian berdua. Sebelum aku mendengar dari mereka tentang apa yang dikatakan oleh kedua orang ini. Mengingat mereka telah hidup berdampingan denganku. Bahkan mereka pun telah memilihku daripada orang selain aku. Jika memang pada akhirnya apa yang dikatakan kedua orang ini benar. Maka aku akan mengembalikan mereka. Akan tetapi, jika tidak maka aku akan melindungi mereka tinggal di negeriku selama mereka mau!” tegas sang raja. Sontak seisi ruangan pun terdiam. Tak terkecuali dua utusan petinggi Quraisy itu. Mereka antara senang dan juga takut.
Para rombongan utusan Nabi itu pun mendekat. Tak menunggu waktu lama. Raja yang berhati bijaksana itu pun lantas bertanya.
“Wahai kalian, mengapa agama yang kalian anut ini membuat kalian lari dan memisahkan diri dari kaum kalian?” tanya sang raja.
“Mengapa pula kalian tidak masuk ke dalam agamaku. Dan agama-agama yang telah ada?” ungkapnya lanjut bertanya.
Sontak para sahabat pun saling bertatapan. Menunggu keputusan siapa yang akan berbicara pada raja. Dan akhirnya Jafar bin Abu Talib pun memberanikan diri berbicara kepada raja yang mulia itu.
“Wahai raja yang mulia, ketahuilah olehmu bahwa kami adalah orang-orang yang jahil sebelum mengenal agama ini. Kami telah melakukan semua keburukan sebelum ini. Kami menyembah patung, saling membunuh, berzina, merampok, memutus hubungan persaudaraan dan menyakiti siapa pun. Bahkan orang yang lemah sekalipun. Namun, semua itu berubah saat agama ini datang melalui seseorang dari jenis kami sendiri. Di situlah, kami berubah dan melihat kebaikan. Ia pun mengenalkan kami tentang ketauhidan. Hingga kami menyembah sesuatu yang benar. Bukan lagi patung-patung yang kami pahat sendiri. Ia pula mengajarkan kami sebuah kebenaran dan kejujuran. Menyuruh kami menyambung tali silaturahmi. Melarang kami saling membunuh, berzina, dan segala hal buruk lainnya. Sungguh itu dilarangnya.” terang Jafar sontak membuat istana sejenak menjadi redup.
Jafar melihat sekeliling lalu kembali melanjutkan perkataannya yang belum selesai.
“Wahai raja yang mulia, sungguh ia adalah Rasul yang kami telah benarkan ucapannya dan meyakini apa yang telah dibawanya. Yakni, beriman kepada Allah Swt. hanya kepada-Nya kami beribadah. Dan hanya kepada-Nya kelak kami akan kembali. Maka bersamaan dengan hal itu, kami pun mengharamkan apa yang sudah diharamkan agama ini. Dan membenarkan apa yang dibenarkan dalam agama ini. Dan setelah itu, karena kami mulai berbeda dari kebiasaan kebanyakan kaum kami di masa jahiliah. Mulailah kami dibenci, diteror, dan diancam. Bahkan ruang gerak kami menjadi diperkecil. Segala persekusi pun kami alami. Hingga mereka dengan berani ingin memisahkan kami dari agama kami. Itulah mengapa, wahai yang mulia, kami melarikan diri ke negerimu, mencari tempat aman di sini. Dengan harapan engkau tak menyiksa kami sebagaimana kami di negeri asal kami.”
Raja Najasyi pun segera menimpali. “Tunjukkan padaku, engkau punya bukti apa dari sisi Allah?”
“Ada! Tentu kami memiliki bukti itu.” sambut Jafar.
“Katakanlah padaku, segera!” pinta sang raja tak mau berlama-lama.
Orang-orang pun saling bertatapan. Arruna yang di luar pun memasang gendang telinganya dalam-dalam. Entahlah, kini jantungnya semakin cepat memompa darah. Hingga debaran itu tiada henti ia rasakan.
Jafar pun membacakan permulaan surah Mariyam.
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kitab ini bercerita tentang Mariam bagaimana dia diasingkan dari keluarganya ke timur. Dan Malaikat Jibril dikirim Allah untuknya. Dan mengatakan 'Aku adalah utusan dari Tuhanmu.' Mariam pun bertanya, 'Bagaimana aku memiliki seorang anak sedang tak ada seorang pun lelaki yang menyentuhku?' Jibril lantas menjawab dengan firman Allah Swt. 'Itu amat mudah. Kami akan menjadikan dia tanda bagi manusia. Sekaligus rahmat bagi Kami."
Maka sang raja pun terdiam.
Sama dengan Arruna yang juga terpatung dengan linangan air mata tiada henti.
Ia teringat mimpinya. Sungguh, ia pun meyakini akan hadirnya sang nabi terakhir. Sebagaimana cerita pemuka rahib di gereja-gereja. Hanya, ke mana ia harus mencari kebenaran itu.
Arruna segera menyeka air matanya dan mencari sang bibi. Dan terang saja sang bibi pun tengah berdiri sesenggukan. Ia pun tak kuasa menahan tangis. Kala mendengar untaian demi untain kata dari Jafar bin Abi Talib. Sungguh, ini angin segar bagi penduduk setempat yang meyakini akan hadirnya nabi terakhir.
Arruna dan bibinya berasal dari keluarga Nasrani yang taat beribadah. Sekaligus meyakini akan hadirnya nabi terakhir yang akan menjadi penutup dan penyempurna risalah langit atas umat manusia di bumi.
Orang-orang pun tertunduk dengan menitikkan air mata. Betapa mereka pun telah mendengar hal itu sebelumnya lewat kitab suci mereka.
Arruna pun memeluk tubuh bibinya dengan penuh haru. Kini tak ada lagi penghalang bagi mereka untuk beriman kepada ajaran Muhammad, seorang yang dikabarkan gila oleh orang-orang Quraisy yang membenci dakwah dan risalah yang dibawanya.
Tak hanya Arruna dan sang bibi yang mengharu biru saat itu, semua penggawa istana pun larut dalam keharuan. Tak terkecuali Raja Najasyi yang hanif itu.
Ia pun lantas mengizinkan mereka untuk tinggal di negerinya selama mereka mau. Raja sendiri akan menjamin keamanan dan keselamatan mereka selama berada di wilayah kekuasaannya.
***
Hari pun berganti, rombongan dakwah yang dikirim Nabi Saw. itu pun tiada lelah menebar risalah agung dari Rasul mulia. Arruna dan bibinya juga kian bersemangat menuntut ilmu. Apalagi sejak kabar sang raja agung mereka telah memeluk Islam. Sungguh, ini menjadi angin segar bagi perluasan dakwah Nabi saw.
Orang-orang Quraisy yang membenci dakwah Nabi saw. sejak pertama kali naik pitam kala mendengar hal ini. Maka tak ayal, mereka pun tiada henti mengirim mata-mata sekaligus mengganggu jalannya dakwah para sahabat di sana.
***
"Mau ke mana kau pagi-pagi begini, Arruna?"
"Aku akan berangkat untuk belajar bersama bibiku ke rumah sahabatnya," jawab Arruna.
"Apa kau akan mengikuti ajaran orang Arab itu?"
"Tapi—"
"Apa sekarang kau sudah lupa dengan ajaran leluhurmu wahai cucuku!" timpal sang kakek sembari memukul tongkat yang membantunya dalam berjalan ke tanah.
Arruna terkesiap. Selama besar baru kali ini ia melihat sang kakek marah padanya.
"Kau tak boleh pergi! Kau akan menjadi penerus ajaran nenek moyang kita!"
"Ta—"
"Kau tak bisa pergi!" cegah sang kakek. Dengan tatapan nanar.
Arruna pun diam tak bergeming. Matanya yang berbinar seolah berubah menjadi layu. Tak lama lagi sebuah buliran bening akan mengucur dari kedua sudut matanya. Sementara, lelaki tua yang sudah membesarkannya itu pun berlalu pergi meninggalkannya.
Arruna melihat dari balik jendela. Di sana orang-orang sudah ramai menuju majelis ilmu. Sedang ia tak bisa berbuat banyak. Gadis itu hanya bisa meronta di dalam hati. Tak kuasa melawan kakek yang sudah menjadi pengganti kedua orang tuanya sejak balita.
***
Sementara itu, orang-orang utusan para musuh Nabi saw. dari Makkah juga tiada henti membuat tipu daya. Mereka mendatangi orang-orang yang berwatak sebagaimana kakek Arruna. Yang kukuh memegang keyakinan ajaran nenek moyang mereka.
Mereka-mereka ini didekati dan terus dihasut agar membenci dakwah yang disampaikan oleh Jafar dan para rekan-rekan. Tak jarang mereka harus membayar para bandit dan perampok untuk meneror orang-orang yang telah mengenal Islam agar segera kembali ke ajaran leluhur mereka yang sebelumnya.
Namun, sayang rencana mereka tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena orang-orang yang telah menyatakan keislamannya itu, berislam karena keyakinan yang kukuh bukan karena paksaan atau sekedar mengikut raja mereka. Namun, akibat kepuasan akal yang mereka temui saat bersama ajaran mulia yang Nabi saw. bawakan. Itulah mengapa, usaha orang-orang kafir Quraisy nyaris menemui keputusasaan.
***
(Beberapa hari kemudian)
Bibi Arruna mulai tak tenang. Kala keponakannya itu sudah tak datang untuk belajar bersamanya. Maka setelah seluruh pekerjaan di istana telah selesai. Ia menyambangi Arruna di rumah kakeknya.
Tak sengaja, wanita paruh baya yang sudah ditinggal mati suaminya itu mengucapkan salam. Dan terang saja suara itu semakin menambah kemurkaan ayahnya.
"Rupanya kini kau telah menjadi pengikut setia ajaran Muhammad, Arrima," ketus sang ayah dengan sinis.
Bibi Arruna itu terdiam. Arruna pun membuka tirai kamarnya dan memberi tanda dengan bahasa isyarat jika kakeknya marah dan tak terima dengan aktivitas baru mereka.
"Kau telah mengkhianati apa yang telah aku ajarkan padamu selama ini, Arrima. Apa kau sadar itu! Kau lebih percaya ajaran orang yang bahkan tak pernah kau temui daripada orangtua yang telah melahirkanmu!"
"Wahai, Ayahku. Percayalah, tak ada yang berubah dariku bahkan sejak aku mengenal agama ini. Aku—aku akan tetap menjadi anak dan berbakti padamu setiap wak—"
"Apalah artinya pengabdian tapi kau tak lagi mempercayai Tuhanku sebagai Tuhanmu?!" sela sang ayah. Yang masih tak terima dengan keputusan anaknya itu.
"Wahai Ayahku, percayalah. Ajaran Muhammad adalah jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Coba lihat raja kita bahkan dia sudah mengatakan keislamannya."
"Hentikan Arrima. Prinsip hidupku tak mengikut kepada siapa-siapa. Apalagi seorang raja yang telah berkhianat itu!"
"Ayah, dia tidak berkhianat. Hanya saja—"
"Hanya kenapa? Mengapa kau tak melanjutkan ucapanmu?"
"Kita memiliki kesamaan dengan mereka Ayah. Mereka tidak membawa ajaran yang baru. Mereka datang hanya menyampaikan risalah yang menjadi pelengkap atas kitab sebelumnya. Yakni, kitab kita umat Nasrani."
"Cuih, kau masih saja coba mengajariku, Arrima!" sungut lelaki tua itu. Ia lantas pergi meninggalkan putri semata wayangnya itu.
Arrima pun kini tak bergeming. Ia tak menjawab sepatah kata dari ayahnya. Ia sadar betul baqaayahnya amat begitu mendominasi. Hingga membuatnya sulit menerima kebenaran. Ditambah lagi, sang ayah amat berpegang teguh dengan ajaran leluhur mereka.
Setelah ayahnya berlalu. Bibi Arruna itu segera membuka tirai kamar keponakannya. Ia tak lagi bertanya pasal ketidakhadirannya beberapa hari ini. Ia lantas menyerahkan sebuah rangkaian kata pada sebuah pelepah kurma yang dibawanya dari istana. Tulisan tersebut tak lain dan tak bukan adalah penguat bagi mereka dalam menapaki jalan hijrah.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka ikuti ajaran kami dan tinggalkanlah ajaran orang-orang yang tidak beriman di antara kamu. Mereka orang-orang kafir akan menjawab. Apakah kami akan meninggalkan ajaran nenek moyang kami!"
Seketika kalimat indah itu merobohkan dinding pertahanan hati Arruna yang berhari-hari ini nyaris ambruk dengan perkataan pedas dari kakeknya.
"Ayahku akan terus berkata demikian selama ia masih berpegang teguh pada ajaran nenek moyangnya. Maka, kita harus kuat setegar karang di lautan. Jalan ini tidak mudah wahai anak saudara perempuanku tapi tidak berarti jalan ini tak bisa kita lalui. Percayalah Allah Swt. siapkan jalan ini karena kita bisa melaluinya" ujar Arrima pada keponakannya.
Arruna pun menangis penuh haru. Betapa tidak, hatinya amat terenyuh kala menyaksikan kehadiran para rombongan dakwah nabi itu. Ditambah lagi, pada malam-malam sebelumnya. Arruna kerap bermimpi hal serupa. Maka betapa terkejutnya ia kala mimpi itu menjadi nyata.
"Aku akan kembali. Bila ayahku tak mengizinkankanmu keluar. Maka aku akan selalu datang menyampaikan apa yang aku dapatkan dalam halqoh bersama para utusan itu. Tenanglah!"
Arruna menganggukkan kepala sembari mengusap air matanya.
"Aku akan kembali!"
Sang bibi pun kembali ke rumahnya. Walau pertemuan mereka tak lama, tapi seutas kata dari baitan indah kalam Allah telah ia sampaikan pada keponakannya sebagai penguat mereka di tengah terpaan ujian dalam jalan hijrah.
***
Arrima pun keluar dari rumah ayahnya dengan meninggalkan sebuah doa mulia agar sang ayah akan bersamanya menapaki jalan hijrah. Tak lagi terjebak pada ajaran nenek moyang mereka dahulu.
"Aku akan selalu berdoa. Semoga pintu hatimu terbuka untuk menerima kebenaran wahai, Ayahku."ucap Arrima.
Wanita itu pun pergi meninggalkan rumah ayahnya. Hari-hari mereka pun dilalui dengan perjuangan. Sedang sang ayah masih berpegang pada ajaran leluhurnya. Walau raja di negerinya berada, telah berislam seutuhnya.
"“Ada sebuah negeri yang rajanya tak akan menzalimi. Negeri itu juga aman. Habasyah namanya. Bagaimana jika kalian berhijrah ke sana. Sampai Allah Swt. memberi solusi pada kalian.” (HR. Ibnu Ishaq)
Selesai. []
Masyaallah, membaca sejarah tentang dakwah Rasul saja sudah seperti membaca cerita, apalagi ini disajikan dalam bentuk fiksi sepenuhnya. Keren. Barakallah
Belajar sejarah lewat cerpen
Kereeen ih. Masyaallah...Baarakallahu fiik mb
Keren tulisannya ka ros
Sejarah menginspirasi menjadi cerpen. Bariokallohu fiik
MasyaAllah negeri Najasy barakallah, pengen bisa begini
Masya Allah cakep Mba
Semoga banyak yang tercerahkan
Masyaallah barokallahu fiik, Kak Rose
Mastahnya cerpen nuansa sejarah. I love as always