Penaklukan berbeda makna dengan pembebasan.Istilah ini terjawab hampir di setiap lembar buku yang menceritakan penaklukan muslim versi bangsa yang dikalahkan.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Saat sebuah buku terbit, ia harus mampu bersaing dengan buku-buku terbitan lainnya di etalase toko buku. Judul, kover, dan blurb menjadi senjata pertama untuk memikat calon pembeli. Harmonisasi ketiga hal ini harus mampu menyihir siapa pun hingga tidak tahan untuk membawanya pulang. Nah, buku Penaklukan Muslim di Mata Bangsa Taklukan adalah salah satu contohnya.
Warna kover yang lembut dan ilustrasinya betul-betul menggambarkan keperkasaan pasukan Islam. Betapa mereka dielu-elukan oleh rakyat dan disambut kedatangannya dengan bangga. Dominasi warna hijau dan terakota pada judul dan penulis memberi kesan tajam, tapi tidak membuat silau pandangan. Intinya, tampilan luar buku ini memang top. Demikian pula dengan blurb di sampul belakang. Isinya sangat menjanjikan. Buku itu akan memberikan wawasan baru seputar futuhat kaum muslimin dalam perspektif negeri-negeri yang dibebaskan sebagaimana judul tertera.
Buku ini menurut penulisnya, berupaya menuturkan kisah penaklukan kaum muslimin sebagaimana dilihat dan dituturkan para penulis Bizantium, Persia, Cina, Andalusia, dan lain-lain. Pertimbangannya bahwa selama ini kaum muslimin terperangkap pada narasi tunggal penaklukan versi pemenang. Oleh karena itu, penulis berusaha mencari berbagai pengaruh yang ditinggalkan oleh pasukan kaum muslimin dalam sejarah bangsa-bangsa yang dibebaskan. Jadi, penulis menawarkan perspektif baru yaitu sejarah penaklukan versi bangsa yang ditaklukkan.
Saat membaca judul dan blurb, sempat tebersit tanya, kenapa memilih penaklukan, bukan pembebasan yang lebih dekat pada makna futuhat? Kata penaklukan itu peyoratif karena bermakna upaya menaklukkan dan memperluas suatu wilayah melalui peperangan. Berbeda dengan diksi pembebasan yang mengesankan sebaliknya. Kaum muslimin di bawah komando tertinggi khalifah berusaha membebaskan umat manusia dari penghambaan kepada sesama. Itu sangatlah keren dan luar biasa.
https://narasipost.com/syiar/05/2021/jihad-tekad-pada-syariat-bukan-nekat/
Jawaban atas pertanyaan itu terjawab hampir di setiap lembar yang ada. Isi buku ini menceritakan futuhat versi negeri yang dibebaskan alias bangsa yang dikalahkan. Rasa sakit hati, tidak puas, dan kebencian niscaya masih ada. Catatan-catatan sejarah di buku ini menganggap futuhat kaum muslimin memang sebagai penaklukan; upaya merampas kemerdekaan; dan pemberlakuan tirani baru. Bagi yang paham sejarah Islam, tentu saja isi catatan itu membuat dongkol karena faktanya tidak demikian. Namun, inilah catatan dari bangsa yang dikalahkan, khususnya para orientalis.
Penaklukan Muslim
Henry Lammens menyebutkan bahwa penyebab penaklukan karena watak bangsa Arab yang suka berperang, menyerbu, dan hasrat untuk memperlihatkan kemampuan taktik militer yang mengungguli musuh. Carl Becker melukiskan penaklukan muslim dalam sebuah gambaran kompleks yang berujung pada upaya memperoleh harta rampasan perang dan kekuasaan atas wilayah yang subur. Orientalis lainnya, A.A. Vasiliev menegas bahwa orang-orang Badui yang merupakan bagian terbesar dari pasukan penaklukan, mereka tidak punya tujuan apa pun selain harta rampasan dan jarahan, sedangkan pengetahuan Islam mereka sangat minim. (hlm. 67-68)
Narasi-narasi sesat para orientalis selaras dengan firman Allah berikut ini.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba: 28)
Demikianlah, para penguasa, bangsawan, dan orientalis menutup hatinya dengan kebenaran dan kecemerlangan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka memberikan gambaran buruk tentang Islam dan kaum muslimin.
Akan tetapi, dari ratusan lembar buku ini, terdapat juga catatan objektif dan sangat mengharukan. Salah satunya dari seorang tawanan Cina yang ditahan di Kufah. Pada tahun 762 M, tawanan itu dikembalikan ke Cina. Ia kemudian bercerita, “Dunia telah berubah seluruhnya. Manusia mengikuti dakwah Islam seperti selokan mengikuti sungai. Hukum diterapkan dengan penuh kasih sayang dan jenazah dikuburkan dengan hati-hati. Orang-orang tidak mengurangi sedikit pun apa yang dihasilkan tanah, baik di dalam tembok-tembok kota besar atau di balik-balik pintu pedesaan. Di negeri mereka, semua orang berkumpul. Di sana terdapat barang dagangan yang melimpah, tak terhitung jumlahnya dan dijual dengan harga yang murah. Di antara barang yang tersebar di mana-mana ada pakaian-pakaian yang berhiaskan emas dan mutiara. Jalan-jalan dan lorong-lorong gaduh dengan kuda, unta, dan keledai. Tebu ditebang untuk membuat gubuk yang mirip dengan tandu di Cina. Ketika hari raya tiba, berbagai hadiah diberikan kepada para tokoh: gelas-gelas kaca, botol, dan wadah tembaga yang tak terhitung jumlahnya.” (hlm. 153)
Membaca buku tentang penaklukan ini harus memiliki bekal cukup tentang kecemerlangan akidah Islam; kejelasan fikrah dan thariqah-nya; ketinggian peradabannya selama belasan abad; sebab-sebab keruntuhannya; dan metode membangkitkannya. Dengan bekal keilmuan ini, pembaca dapat langsung menilai narasi yang benar dan salah tentang Islam. Jika tidak, bisa-bisa terjerumus pada narasi-narasi buruk orientalis yang bertebaran di buku ini.
Ya, walaupun buku ini hanya berisi catatan-catatan sejarah, bukan tidak mungkin ada orang yang menjadikannya sebagai sumber secara mutlak, padahal catatan sejarah tidak bisa dijadikan acuan. Setiap catatan sejarah selalu dipengaruhi oleh situasi politik di setiap masa. Selain itu, catatan sejarah rentan tercampur kepalsuan dari pihak-pihak yang berkonflik. Sumber sejarah yang bisa dijadikan referensi adalah periwayatan selama sumber-sumbernya benar. Idealnya, dengan cara inilah sejarah ditulis, bukan dengan merujuk pada catatan sejarah yang mengacu pada catatan sejarah lainnya.
Kelemahan lain buku ini adalah penggunaan beberapa istilah yang jarang dipakai dalam khazanah sejarah Islam. Istilah-istilah itu perlu dibaca berulang-ulang konteksnya agar paham maksudnya. Satu lagi, dari awal sampai akhir, pembaca akan disuguhi ratusan nama-nama pelaku sejarah yang sulit dilafalkan dan dihafalkan. Ini tentu cukup mengganggu juga sebab sejarah bukan semata soal peristiwa, tetapi juga nama pelakunya.
Sebagai penutup, meskipun visual buku ini sangat memanjakan pecinta buku dan penikmat sejarah, tetapi percayalah, masih ada banyak buku sejarah yang lebih penting dan mendesak untuk dibeli dan dibaca. Kecuali sudah tidak ada buku bacaan lagi di rumah, bolehlah buku sejarah penaklukan ini dibaca-baca.[]
Masyaallah ... ya sudah gak jadi ingin baca deh karena sarannya mbak Haifa begitu. Tapi keren resensinya, jadi nambah ilmu baru
Masya Allah barakallah mba Haifa atas pencerahannya. Semoga banyak para pembaca yang memahaminya
Saran yang bagus, Mbak. Saya juga pernah beberapa kali tertarik membeli buku yang ditulis oleh orang Barat. Pas dibaca isinya agak mengecewakan. Isinya malah justru menyudutkan Islam. Kasian jika dibaca oleh mereka yang belum punya maklumat tentang Islam. Bisa terkecoh dan ikut mencitraburukkan Islam itu sendiri.
Resensi yang penuh ilmu. Futuhat terkadang memang diartikan sebagai penaklukan, apakah secara damai atau perang. Futuhat sendiri jika kita mengkaji lebih dalam dengan dua metode saja dakwah dan jihad.
Sementara keberadaan sejarah sendiri memang bukan sumber hukum syarak. Keliru jika mengambil isi buku ini sebagai sumber rujukan secara mutlak.
Barokallahu fiik, Mbak
Saya juga cukup gemas ketika ada yang menarasikan pembebasan kaum muslim sebagai penaklukan, bahkan penyerangan. Benar, harus bermodal akidah yg kuat ketika membaca buku sejarah.
Barakallah Mbak..
Kita jadi makin mengerti mengapa sejarah tidak bisa menjadi referensi hukum syarak. Kecuali pada era khulafaur rasyidin dalam bentuk ijma sahabat. Terimakasih ulasan bukunya sebagai bahan pertimbangan memilih buku.