Mengatasi Covid Tak Bisa Andalkan Vaksin

"Tidak ada vaksin yang sempurna mampu memberi perlindungan. Penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular COVID-19, hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah"

Oleh. Hanum Hanindita, S.Si
(Guru Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Kranggan)

NarasiPost.Com-Situasi pandemi Covid 19 di Indonesia saat ini dan dalam tiga sampai enam bulan ke depan akan memasuki masa kritis, mengingat semua indikator termasuk angka kematian meningkat. Begitulah kiranya yang disampaikan Dicky Budiman, Epidemiologi Grifftith Unversity. Dalam tiga bulan pertama ini situasi kritis akan sangat dipengaruhi oleh langkah yang diambil pemerintah dalam melakukan tes, lacak, dan isolasi. Selain itu, peran masyarakat dalam melakukan 5 M yaitu, menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, menjaga jarak di atas satu meter ketika berkomunikasi, menjauhi kerumunan, dan menjaga imun tubuh.

Dicky menambahkan bahwa tidak ada vaksin yang sempurna mampu memberi perlindungan. Penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular COVID-19, hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah, sebab berdasarkan data sejarah sejauh ini tidak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Contohnya pandemi cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Kemudian polio baru selesai dalam 50 tahun.

Apa yang dipaparkan beliau, menjadi indikasi bahwa kita tidak bisa menjadikan vaksin sebagai satu-satunya yang diandalkan untuk menghentikan penyebaran virus. Langkah yang diambil pemerintah ke depanya akan sangat menentukan nasib rakyat.

Lantas, jika tidak bisa bergantung pada vaksin, bagaimana solusi agar pandemi ini dapat dihentikan hingga tuntas. Adakah panduan yang dapat diadopsi untuk menghentikannya?

Vaksin Tidak Jadi Solusi, Justru Dikapitalisasi

Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini dunia tengah berlomba memproduksi vaksin Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah mengalokasikan dana yang sangat besar untuk pengadaan vaksin dan jika lolos uji klinis, makw 40 juta vaksin Bio Farma siap dipakai awal tahun 2021.

Berdasarkan estimasinya, diperlukan biaya sekitar USD4,5 miliar atau Rp65,9 triliun (asumsi kurs Rp14.671) untuk biaya pembelian vaksin, biaya jarum suntik hingga anggaran tenaga kerja. Nantinya vaksin Covid-19 di Indonesia akan tersedia dalam dua jenis, yakni yang bersubsidi dan nonsubsidi (mandiri). Untuk jenis mandiri, harga vaksin akan sangat bergantung kepada dinamika pasar. Adapun kisaran harga vaksin Covid-19 nonsubsidi belum bisa diperkirakan. Sebab, nantinya vaksin yang beredar di masyarakat tidak hanya dari satu produsen, sehingga harga tersebut akan bergantung kepada perusahaan dan negara terkait.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa tidak semua warga akan mendapatkan vaksin gratis. Hanya sebagian warga Indonesia yang akan mendapatkan vaksin gratis, yakni warga yang dipilih dengan mengacu pada data BPJS Kesehatan bagi yang paling membutuhkan. Sisanya diharapkan bisa ikut vaksin mandiri dan harus membeli dari yang ada di pasaran.

Dengan demikian, rencana pemerintah yang akan melepas vaksin untuk dibeli masyarakat dengan mekanisme pasar itu sangat berbahaya. Hal ini berpeluang menciptakan kenaikan harga yang gila-gilaan seperti pada masker dan hand sanitizer di awal-awal pandemi. Apalagi mekanisme pasar seperti ini selalu didukung oleh sistem kapitalisme yang selalu memandang aspek keuntungan materi semata , sehingga akan memberikan jalan bagi terbukanya peluang bisnis baru, yaitu bisnis vaksin Covid. Tak heran, negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk menemukan vaksin Covid. Bukan semata-mata demi keselamatan nyawa umat manusia, tetapi uang yang berbicara.

Seharusnya pemerintah juga mempertimbangkan efek lebih jauh dari dilepasnya vaksin mandiri secara bebas ke pasaran, karena kapitalisasi bisnis vaksin pasti tidak akan mungkin dapat dihindari. Bukannya menyelesaikan masalah, ini justru akan menambah masalah baru.

Di sisi lain, upaya pemerintah Indonesia mengatasi penyebaran Covid-19 belum bisa dikatakan maksimal. Upaya karantina, Test-Trace-Treatment (3T), sampai instruksi Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak (3M) belum dilaksanakan secara maksimal. Demikian pula dengan upaya pemberian bantuan sosial yang seringkali tidak layak belum bisa membuat masyarakat tenang dan patuh terhadap protokol kesehatan untuk melaksanakan pembatasan jarak. Oleh karena itu sumber penyebaran wabah pun belum bisa diminimalisasi, terbukti dari angka penderita yang masih terus bertambah.

Dalam kondisi seperti ini, tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan vaksin untuk menyelesaikan pandemi Covid-19, karena vaksin yang tengah diteliti beberapa negara termasuk Indonesia masih berproses dan belum ada yang terbukti bisa menghentikan pandemi secara total untuk kembali ke kehidupan normal. Menurut para pakar, idealnya keberhasilan vaksin lebih mudah terjadi apabila kondisi kurva pandemi yang sudah melandai. Sementara fakta yang terjadi di Indonesia, jangankan melandai, kurvanya malah masih terus naik. Hal ini dikhawatirkan menjadi tidak efektif atau butuh waktu lebih lama.

Sementara itu, kita juga mengetahui bahwa selama menunggu vaksin yang akan disuntikan secara bertahap, penyebaran virus yang sudah dalam kondisi tidak terkendali di Indonesia dapat menyebabkan kondisi memburuk. Akibat terburuk selain banyaknya kematian adalah timbulnya strain virus baru yang merugikan. Ditambah, dengan semakin banyak orang-orang yang positif di tengah masyarakat mengakibatkan orang berusia lanjut dan orang-orang yang memiliki penyakit bawaan semakin terancam jiwanya. Dengan pasien yang terus membludak dan hunian rumah sakit yang penuh, belum tentu mereka bisa terselamatkan. Inilah yang meningkatkan angka kematian di Indonesia.

Selain itu, tidak bergejala bukan berarti tidak sakit, karena riset membuktikan 50 persen di antaranya memiliki kerusakan organ, dan potensi masalah kesehatan jangka panjang. Kondisi ini makin diperparah dengan upaya untuk penekanan penyebaran wabahnya sendiri tidak serius. Terlihat sekali dengan dilepasnya vaksin dalam kondisi seperti ini tidak memperhatikan aspek keilmuwan dan kesehatan, hanya mangejar target keuntungan.

Panduan Islam dalam Menghentikan Wabah

Islam memberikan jaminan akan kesehatan karena merupakan kebutuhan pokok yang wajib diberikan oleh pemimpin kepada warganya. Meskipun vaksin akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penanganan wabah, namun vaksin tidak dianggap sebagai satu-satunya solusi. Namun, harus diselesaikan secara menyeluruh dari berbagi segi.

Islam memberi panduan agar wabah dihentikan dengan karantina virus, menghentikan penularan dan mengobati penderita.

Sejak awal masuknya wabah ke sebuah wilayah, maka Khalifah (pemimpin di dalam negara Islam/Khilafah) langsung melakukan upaya memutus rantai penyebaran virus seperti yang sudah dicontohkan pemimpin Islam di masa lalu dengan melakukan karantina wilayah pada daerah-daerah infeksius. Melarang seluruh pihak untuk masuk ke dalam wilayah tersebut melalui akses manapun. "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).

Sejak awal, pemimpin dalam sistem Khilafah akan melakukan serangkaian test di mana Khalifah akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Kemudian akan memberlakukan tes massal secara gratis bagi warganya. Bagi mereka yang terinfeksi, negara akan mengurus pengobatannya hingga sembuh. Khalifah berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak meluas dan daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi mereka secara normal tanpa takut tertular. Selain itu, upaya ini membuat penguasa fokus menyelesaikan kasus di daerah terdampak wabah.

Secara umum, Khalifah juga akan menyediakan fasilitas kesehatan terbaik dan gratis yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh warganya. Tidak cukup sampai di situ, tetapi segala kebutuhan pokok di wilayah yang terkena wabah akan ditanggung oleh negara, misalnya pemenuhan bahan makanan yang bergizi untuk menguatkan fisik, uang tunjangan kepada para pencari nafkah atau tulang punggung keluarga, atau pada masa kini misalnya kebutuhan pulsa bagi warga yang harus menjalankan aktivitas belajar atau bekerja dari rumah.

Spirit negara dalam menyelesaikan pandemi tentunya adalah spirit yang dibangun atas dasar keimanan kepada Allah sebagai bentuk tanggungjawab menjadi pengurus dan pelindung rakyat. Negara akan memberikan fasilitas kesehatan dan obat terbaik secara gratis bagi warga yang sakit, mensupport dana secara penuh dalam rangka melakukan penelitian untuk mencari vaksin halal untuk penyembuhan (jadi bukan memandang vaksin sebagai komoditas jualan) dan negara terus memberikan dukungan dalam menguatkan aspek ruhiah warganya. Pemimpin akan meyakinkan mereka bahwa Allah telah merencanakan hal yang baik dari semua ini. Insyaa Allah dengan ini masyarakat akan menjadi kuat fisik dan mentalnya.

Dengan ini maka Insyaa Allah rakyat pun akan patuh menjalankan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran wabah karena ada rasa kepercayaan kepada pemimpin yang mampu memberikan keamanan untuk mereka. Apalagi dengan kuatnya suasana keimanan yang dibangung di seluruh aspek kehidupan.

Saat ini dengan kondisi sistem Kapitalisme yang masih membelenggu kita, sikap pasrah pada keadaan juga bukanlah sikap yang tepat. Sebagai Muslimah pun, kita bisa memberikan peran yang berarti untuk mengubah keadaan. Muslimah sebagai bagian dari individu harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah sebagai asas utama menguatkan diri menghadapi efek pandemi yang bisa mencapai level keluarga. Sebagai ibu yang yang memiliki peran strategis memberikan pendidikan kepada anak di rumah untuk menjaga diri dari wabah sesuai dengan tuntunan syari’ah. Serta terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan pemahaman yang kaffah bahwa apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari dihilangkannya hukum-hukum Allah untuk mengatur kehidupan. Maka jika ingin terbebas dari wabah, harus kembali kepada tuntunan syariah dan mengadopsi sistem Islam untuk mengatur kehidupan.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Hanum Hanindita S.Si Kontributor NarasiPost.com
Previous
Keberkahan di Balik Sikap Murid Terhadap Guru
Next
Khilafah, Negara tanpa 'Gali Lubang, Tutup Lubang'
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram