Melejitnya harga kedelai impor menyebakan kelangkaan tempe dan tahu.
Pemerintah harus segera turun tangan mengatasinya melalui akar permasalahan tidak langsung menutup lapisan atasnya.
Oleh: Dian Salindri
(Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok)
NarasiPost.Com-Tahun 2021 diawali dengan menghilangnya tempe dan tahu dari peredaran. Bukan hal yang baru sebenarnya kasus langkanya panganan yang sangat digemari masyarakat Indonesia itu. Penyebabnya karena harga kedelai impor yang melejit mengakibatkan produsen tempe dan tahu melakukan mogok produksi.
Indonesia menjadi negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia nomor dua setelah Cina. Kebutuhan kedelai di Indonesia rata-rata mencapai 2 - 2,5 juta ton per tahun, sementara produksi kedelai lokal hanya mampu memenuhi komoditi sebanyak 320.000 ton di 2020 dan angka ini lebih rendah dibandingkan 2019. Demi memenuhi ‘defisit’ kedelai, pemerintah rela menggelontorkan anggaran sekitar 500 juta US Dolar atau setara dengan 7,52 triliun Rupiah di 2020. Sungguh angka yang fantastis!
Sayangnya dari tahun ke tahun produktivitas kedelai di negeri tempe ini semakin menurun. Ini diakibatkan banyak faktor, salah satunya tidak memadainta ketersediaan lahan khusus untuk menanam kedelai. Tidak bisa dipungkuri, bahwa kedelai adalah salah satu jenis tanaman yang tidak mudah dalam pengembangbiakannya.
Kedelai memerlukan lahan khusus, bukan lahan bekas tanaman lain yang biasa dilakukan oleh petani lokal. Kedelai dianggap kurang menguntungkan sehingga dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Petani lokal lebih memilih menanam padi atau jagung yang nilai jualnya lebih menguntungkan daripada kedelai. Selain itu kedelai juga merupakan tanaman sub-tropis, iklim Indonesia dengan curah hujan yang tinggi membuat kualitas kedelai tidak bagus. Seharusnya petani menanam kedelai di waktu yang sesuai, saat curah hujan tidak begitu tinggi. Sistem irigasi atau pengairan juga sangat berpengaruh dalam penanaman kedelai ini. Maka penting sekali adanya lahan khusus kedelai yang disertai dengan petani yang kompeten.
Faktor lainnya adalah kedelai impor lebih disukai oleh produsen tempe Indonesia. Meskipun kedelai lokal lebih unggul untuk pembuatan tahu, namun kedelai lokal kalah unggul dengan kedelai impor untuk produksi tempe. Ini dikarenakan kedelai lokal memliki biji yang lebih kecil dibanding kedelai impor, kulit ari-nya susah terkelupas saat proses pencucian dan proses peragiannya yang memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan kedelai impor.
Sungguh ironi memang, namun dengan segala problema ‘defisit’ kedelai yang terjadi di negeri penghasil temple ini, pemerintah harus lebih fokus untuk memberdayakan usaha lokal daripada menutupi defisit dengan impor kedelai yang justu menguntungkan negara lain. Indonesia impor kedelai, haruskah?
Sebenarnya Indonesia tidak harus impor kedelai sebagai bahan pembuatan tempe dan tahu, pemerintah cukup menyediakan fasilitas bagi para petani agar produktivitas pertanian kita meningkat. Salah satunya dengan medorong petani lokal untuk meningkatkan produktivitasnya dengan menyediakan lahan khusus untuk kedelai, menyediakan bibit unggul, pupuk, media tanam dan juga pelatihan bagi petani lokal agar mampu mengatasi kendala dalam menanam kedelai. Sehingga petani lokal tidak lagi menganggap kedelai hanya sebagai pekerjaan sampingan saja, tapi sebuah komoditas yang menguntungkan.
Tentunya dibutuhkan usaha yang ekstra dan waktu yang panjang untuk bisa merealisasikan hal tersebut.
Namun bukannya tidak mungkin, karena berabad silam telah dibuktikan oleh cendikiawan Islam di Andalusia. Saat itu Andalusia menjadi negeri yang makmur karena mampu panen sebanyak empat kali dalam setahun. Ini tak lepas dari jasa cendikiawan Muslim yang menuliskan kitab Al-Filaha. Kitab ini disusun oleh Ibnu Al-Awwam yang membahas secara rinci tentang ilmu pertanian, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal ilmu ini.
Dalam kitab Al-Filaha dijelaskan secara rinci dimulai dari mengenali jenis tanah, air dan memahami tentang iklim, teknik menyuburkan tanah bahkan teknik untuk menghidupkan tanaman yang telah mati semua dijabarkan secara detail dan lengkap. Kitab berisi 1500 halaman ini juga merupakan kumpulan dan akumulasi dari tulisan ulama sebelumnya selama dua abad yang disempurnakan oleh Al-Awwam. Yang sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam ilmu agrikultural.
Tengok saja pohon zaitun yang dibawa dari negeri Syam ratusan tahun silam yang ditanam di Andalusia, mampu mendongkrak perekonomian di Andalusia kala itu. Bahkan setelah 500 ratus tahun Islam meninggalkan Andalusia, mampu menjadikan Spanyol sampai saat ini sebagai negara penghasil minyak zaitun terbesar di dunia bersama dengan 5 negara lainnya yaitu, Turki, Maroko, Italia, Tunisia dan Yunani.
Jadi bagaimana mungkin Indonesia yang kata orang sebagai tanah surga, bahkan diumpamakan tongkat kayu dan batu jadi tanaman, tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri? Ironis tentunya.
Indonesia impor kedelai, haruskah? Padahal jika pemerintah berkaca pada sejarah tentu tidak ada ceritanya Indonesia impor kedelai. Maukah pemerintah kita berkaca pada sejarah?[]