Konflik agraria tidak akan pernah usai selama negara masih menerapkan kapitalisme demokrasi. Sudah saatnya umat sadar bahwa hanya Islam satu-satunya yang dapat memberikan solusi sempurna.
Oleh. Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Konflik agraria menjadi salah satu masalah yang makin sering terjadi, khususnya belakangan ini. Minimnya tanah tanpa sertifikat menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah tersebut, seperti yang terjadi di Rempang, Wadas, Pati, dan wilayah-wilayah lainnya.
Dikutip dari republika.co.id (27/12/23), Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa dari 126 juta bidang tanah, baru 46 juta bidang tanah yang sudah bersertifikat, dan masih ada 80 juta bidang tanah tanpa sertifikat sehingga masyarakat diharap maklum jika ada banyak konflik tanah dan agraria. Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian urusan sertifikat tanah milik masyarakat dengan target selesai pada tahun 2024.
Sementara itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62/2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. (Kontan.co.id, 29/12/23)
Kebijakan pemerintah tersebut menuai kritik keras dari lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dalam siaran persnya (20/12/23), WALHI menyampaikan peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, sedangkan kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN. Selain itu, dalam siaran persnya, WALHI juga memiliki beberapa catatan masalah fundamental yang ada dalam Perpres tersebut, beberapa di antaranya yaitu:
Dalam Perpres 78/2023, Presiden membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja dengan menambah hak baru pada tanah negara, yaitu tanah dalam pengelolaan pemerintah. Presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Pasal 4 huruf b Perpres 62/2018 memperlihatkan ketidakberpihakan negara pada rakyat di tengah meluasnya konflik agraria dengan ragam kompleksitas masalah. Perpres 78/2023 berpotensi mencerabut hak atas tanah rakyat.
Selain itu, WALHI juga menilai Perpres tersebut justru makin meneguhkan karakter kontradiktif presiden. Bagaimana tidak, di satu sisi presiden yang dikenal ingin menyelesaikan masalah konflik agraria melalui program Reforma Agraria, tetapi di sisi lain justru menerbitkan kebijakan lain yang menghambat programnya sendiri.
Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme Demokrasi
Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang menumbuhsuburkan politik oligarki. Penguasa negeri ini seolah seperti boneka yang dikendalikan oleh para pemilik modal, ini menjadi bukti bahwa penguasa saat ini tidak memiliki kedaulatannya sebagai seorang pemimpin. Padahal seharusnya pemimpin adalah seseorang yang mampu membuat kebijakan yang adil dan bisa menyejahterakan seluruh rakyatnya, bukan hanya membuat kebijakan yang menguntungkan para kapitalis.
Adapun narasi pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengatasnamakan kepentingan rakyat hanyalah lip service belaka. Yang ada, justru rakyatlah yang tergusur, faktanya lahan milik rakyat terampas oleh perusahaan-perusahaan swasta. Ini tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah seperti dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi legalitas perampasan lahan milik rakyat oleh para oligarki kapitalis. Mirisnya, hal ini adalah sesuatu yang amat wajar dalam sistem negara yang berasaskan sekularisme.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/10/2023/konflik-agraria-di-negara-agraris/
Vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) adalah ungkapan dalam demokrasi yang menyetarakan suara rakyat dengan suara ilahiah yang diwakilkan kepada para wakil rakyat sehingga dalam sistem ini atas nama perwakilan rakyat, manusia diberikan kebebasan dalam membuat aturannya sendiri. Namun, mengapa rakyat dalam sistem demokrasi saat ini justru tidak bisa menyuarakan pendapatnya? Mereka bahkan dibungkam dan dirampas haknya oleh penguasa melalui kebijakan yang memihak pada pemilik modal sebagaimana pada konflik lahan. Begitulah demokrasi, hanya melahirkan sikap hipokrit yang membuat kesengsaraan pada rakyat.
Demokrasi nyatanya berkelindan dengan sistem kapitalisme yang menjadikan para pengusaha pemilik modal mengendalikan sistem pemerintahan secara tidak langsung, mereka mendanai para penguasa sebelum menjadi pemimpin negeri. Ketika sudah menjadi pemimpin, para penguasa tersebut diatur dan dikendalikan oleh para kapitalis, atau dengan istilah lain dikatakan "politik balas budi" sehingga wajar jika kebijakan yang dilahirkan pun lebih berpihak kepada para pengusaha pemilik modal daripada rakyat.
Konsep Islam Solusi Masalah Lahan
Konflik lahan tidak akan terjadi jika negara memiliki konsep pengurusan umat yang sahih. Oleh karenanya, kita membutuhkan konsep sahih tersebut, yakni konsep yang berasal dari sistem Islam dengan Daulah Khilafahnya. Fungsi Khilafah yaitu riayah suunil ummah (mengurus seluruh urusan umat), Khilafah akan berperan penuh sebagai penanggung jawab atas rakyatnya sebagaimana hadis Rasulullah saw. riwayat Al-Bukhari,
"Kepala negara (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus."
Khilafah akan menerapkan hukum Islam secara sempurna. Selain itu, sumber hukum dan kedaulatan tertinggi ada pada hukum syarak, bukan pada pemikiran manusia. Dalam Islam tidak ada kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Hal ini bertolak belakang dengan konsep kapitalisme demokrasi.
Islam juga memiliki konsep yang jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk pelindung kepemilikan lahan. Ada tiga status kepemilikan tanah dalam Islam, yakni tanah yang dimiliki oleh individu, tanah yang dimiliki oleh negara, dan tanah yang dimiliki oleh umum. Masing-masing sudah diatur oleh syariat Islam.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/12/2021/gurita-mafia-tanah-berantas-tuntas-dengan-syariat-kaffah/
Adapun tanah milik individu berupa perkebunan, pertanian, kolam, dan lain-lain, ini semua bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh individu, bisa diwariskan dan dihibahkan. Sementara itu, tanah milik umum adalah yang terkandung harta milik umum seperti hutan, tanah yang mengandung tambang dengan deposit yang besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta api, dan lain-lain. Tanah milik umum haram dikuasai oleh swasta ataupun individu. Yang berikutnya adalah tanah milik negara, berupa tanah yang tidak berpemilik atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum dan lain-lain.
Selain itu, proyek pembangunan apa pun dalam negara Khilafah dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan didukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan rakyat. Sebagaimana kisah goresan pedang Umar bin Khaththab di sebuah tulang yang diberikan kepada seorang Yahudi tua yang menolak lahannya digunakan dalam proyek pembangunan masjid di bawah kepemimpinan Gubernur Amr bin Ash. Kisah tersebut menjadi saksi adilnya Islam dalam menyelesaikan permasalahan lahan di tengah umat.
Konflik agraria atau perampasan lahan tidak akan pernah usai selama negara masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Sudah saatnya umat sadar bahwa hanya Islam satu-satunya yang dapat memberikan solusi sempurna dalam semua permasalahan umat, termasuk konflik agraria. Wallahu a'lam bishawab.[]
Konflik lahan terus terjadi karena aturan yang diberlakukan lebih memihak pada para pemilik modal
Byk konflik dlm sistem kapitalisme
Demokrasi rusak karena menjadikan suara manusia untuk mengganti kedaulatan Tuhan,, Akhirnya siapa yg memiliki modal, akan memiliki kuasa untuk menindas yg lemah.
Hidup dalam sistem rusak seperti saat ini membuat kita menjadi tidak tenang. Yang kuat akan selalu menang. Sedangkan rakyat yang lemah, hanya mampu meratapi nasibnya.
Jangankan yang tidak memiliki sertifikat. Yang punya sertifikat saja kadang masih bermasalah dalam kepemilikan lahan. Karena pernah ditemukan ada lahan yang sama namun sertifikat tanahnya dipegang oleh dua orang atau lebih yang berbeda.
Konflik agraria akan terus terjadi selama bukan Islam yang mengurusi.