Buktinya, Arya Wedakarna sampai melakukan tindakan rasis dan diskriminasi berulang-ulang kali, tetapi ia tidak mendapatkan hukuman yang bisa membuatnya jera. Anehnya, justru ia bisa terpilih menjadi wakil rakyat.
Oleh. Nur Hajrah MS
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia adalah negara yang terkenal akan keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan atau SARA. Di Indonesia sendiri, perkataan dan perbuatan yang berkaitan dengan SARA adalah hal yang sangat sensitif di kalangan masyarakat. Namun pada kenyataannya, walaupun Indonesia terkenal dengan rasa toleransi yang tinggi, tidak dapat dimungkiri perilaku rasis dan diskriminasi terhadap kelompok atau individu, yang berkaitan dengan SARA masih sangat sering terjadi di negeri ini.
Seperti yang sedang viral saat ini, perkataan rasis terlontar dari seorang senator asal Bali yang bernama Arya Wedakarna. Dalam suatu rapat bersama pihak bandara Arya menyatakan pernyataannya bahwa, para penyambut tamu di Bandara I Gusti Ngurah Rai seharusnya adalah gadis Bali yang terlihat rambutnya. Bukan wanita yang memakai penutup kepala yang tidak jelas, menurut Arya. Walaupun tidak menyebutkan kata hijab secara detail, tetapi pernyataan Arya ini seolah-olah tertuju kepada wanita muslim. Ia menolak jika para penyambut tamu di bandara adalah wanita yang berhijab.
Agus Samijaya, selaku Ketua Harian Bidang Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, menanggapi pernyataan tersebut. Ia merasa prihatin dan kecewa terhadap pernyataan Arya, karena menurutnya pernyataan tersebut mengandung perkataan rasis dan penistaan agama. Selain itu Agus juga mengatakan, tidak ada satu pun aturan dari instansi pemerintahan yang menyatakan bahwa, penyambut tamu di bandara haruslah gadis Bali dan tidak memakai penutup kepala ataupun hijab. (DetikBali.com, 2/4/2024)
Pernyataan rasis Arya Wedakarna seharusnya tidaklah terlontar, apalagi ia adalah seorang tokoh publik dan wakil rakyat yang seharusnya berhati-hati dalam bersikap dan berbicara. Bukan malah memantik api yang bisa merusak kerukunan umat beragama, khususnya di daerah Bali. Namun faktanya, salah satu senator Bali ini kerap kali membuat kegaduhan dan penistaan agama, bahkan terhadap agamanya sendiri. Contohnya saja pada Desember 2020, ia dilaporkan oleh Masyarakat Peduli Bali (MPB), ia dianggap telah melakukan pelecehan terhadap Sulinggih (pendeta Hindu) dan pemalsuan identitas karena Arya mengaku sebagai Raja Majapahit Bali.
Sebelumnya pada Desember 2017, Lukman Eddy selaku Wakil Ketua Komisi ll DPR, melaporkan Arya ke Badan Kehormatan (BK) DPD Bali. Arya dianggap sebagai provokator dan dalang atas persekusi yang dialami UAS yang hendak berdakwah di Bali.
Lalu pada Oktober 2020, ia juga pernah dilaporkan ke Polda Bali oleh Tetua Perguruan Sandhi Murti, atas dugaan penistaan agama Hindu. Dan di awal 2024 ini, ia kembali dilaporkan ke Polda Bali atas pernyataannya yang rasis terhadap wanita muslim.
Menjunjung Tinggi HAM, namun Rasis Marak
Kasus terkait rasis dan diskriminasi terhadap individu maupun kelompok tertentu, khususnya umat muslim memang kerap kali terjadi di negeri ini. Bahkan, tidak sedikit kasus para pelakunya adalah para pemangku kekuasaan atau wakil rakyat. Mereka yang seharusnya memberikan contoh dan teladan bagi masyarakatnya justru mengajak pada sikap tidak terpuji atau melakukan diskriminasi. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat merusak kerukunan umat beragama di negeri yang terkenal akan toleransi beragamanya.
Sungguh sangat disayangkan, rasis dan diskriminasi justru marak terjadi di negeri yang terkenal menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sendiri begitu dilindungi dan diatur dalam UU di negeri ini. Namun pada kenyataannya, walaupun dilindungi oleh hukum kasus rasis dan diskriminasi terkait SARA atau pelanggaran HAM, masih menjadi masalah yang tak pernah terselesaikan di negeri ini, juga di beberapa negara yang begitu menjunjung tinggi HAM. Bahkan tidak sedikit kasus, akibat rasis sampai berujung maut.
Rasisme Buah dari Sekularisme
Rasis dan diskriminasi sering dialami oleh kelompok minoritas yang mendiami suatu wilayah. Dan yang sering terjadi di negeri ini adalah kasus diskriminasi dan atau pelanggaran HAM yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Sehingga tidak heran, jika ada suatu daerah yang melarang pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas di lingkungan mayoritas. Bahkan, dalam ranah pendidikan pun begitu sering terjadi kasus rasis dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Walaupun sekolah atau universitas tersebut berstatus negeri tetapi itu tidak menjamin HAM bagi kelompok minoritas akan dilindungi. Sehingga tidak heran sering terdengar pemberitaan ada sekolah yang melarang memakai hijab bagi siswi ataupun sebaliknya.
Beginilah penampakan ketika paham sekularisme telah meracuni suatu negeri. Paham di mana agama dijauhkan dari segala lini kehidupan. Dan paham rasisme sendiri adalah buah dari sekularisme. Ketika agama hanya dianggap sebagai status dan ritual bagi individu dan agama tidak diberikan andil dalam mengatur ranah politik, pemerintahan, pendidikan, hukum, dan lain-lain. Maka tidaklah heran, jika pelaku rasis dan diskriminasi dilakukan oleh mereka yang seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik bagi masyarakatnya. Sebagai masyarakat pun mereka bagaikan rumput kering yang begitu mudah terbakar atau terprovokasi, ketika mendengar pernyataan-pernyataan yang bisa merusak kerukunan umat beragama. Lalu begitu mudahnya mereka melakukan kekerasan atau bersikap rasis dan diskriminasi terhadap sesamanya yang juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Melihat maraknya terjadi kekerasan terkait pelanggaran HAM di negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, termasuk di negeri ini. Bahkan, setiap 10 Desember diperingati sebagai hari HAM sedunia, tetapi itu semua tidak menjamin bahwa hak setiap masyarakat khususnya terkait HAM akan terlindungi secara adil. Ya, inilah buah dari sekularisme liberal, paham yang melahirkan pemimpin diktator, pemimpin yang bersifat obsesif dalam membuat aturan yang semena-mena dan tidak adil terhadap rakyatnya.
Paham yang tak mampu menyelesaikan maraknya kasus rasis dan diskriminasi yang berujung pada pelanggaran HAM. Lihatlah, bagaimana kasus rasis dan diskriminasi terhadap warga Palestina, warga Rohingya, dan Uighur yang bertahun-tahun tak mampu diselesaikan para petinggi PBB. Atau kasus rasis yang begitu banyak di negeri ini, yang tak mampu diselesaikan para penguasa. Buktinya, Arya Wedakarna sampai melakukan tindakan rasis dan diskriminasi berulang-ulang kali, tetapi ia tidak mendapatkan hukuman yang bisa membuatnya jera. Anehnya, justru ia bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Sungguh miris negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM ini.
Islam Antirasisme
Dalam Islam sendiri sangat menolak paham rasisme ini. Justru Allah Swt. memerintahkan umatnya untuk saling mengenal satu sama lain, walaupun ia berbeda suku maupun bangsa, firman Allah Swt. yang artinya, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (TQS. Al-Hujurat : 13)
Pada masa Arab jahiliah, Rasulullah saw. hadir membawa risalah Islam. Baginda Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin memberikan contoh dan teladan yang baik bagi para pengikutnya, khususnya dalam menyikapi pelaku rasis. Rasulullah saw. menentang segala bentuk penindasan atas dasar perbedaan suku, warna kulit maupun strata sosial khususnya bagi perempuan dan para budak. Rasulullah saw. mengajarkan bahwa yang membedakan manusia di mata Allah hanyalah ketakwaannya. Ini artinya, manusia tidak boleh mengelompokkan dirinya atau membuat sekat pembatas baik secara individu maupun kelompok. Apalagi sampai bersikap rasis dan berkuasa terhadap kelompok minoritas.
Ada sebuah kisah pada zaman Rasulullah saw. merujuk pada buku, "Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim", (Abdul Mun'im Al-Hasyimi,2018). Ketika pembebasan kota Makkah, Rasulullah saw. menunjuk Bilal Bin Rabah untuk mengumandangkan azan. Namun, beberapa sahabat tidak suka akan hal itu dan mengeluarkan kata-kata rasis. Mereka tidak menerima jika Bilal Bin Rabah seorang yang berkulit hitam dan mantan budak ditunjuk untuk mengumandangkan azan. Setelah kejadian ini Allah Swt. pun langsung menegur mereka, dengan menurunkan QS. Al-Hujurat ayat 13. Dengan turunnya ayat ini, membuktikan bahwa Islam sangat menolak segala bentuk rasisme. Maka sebagai umat Islam sangatlah tidak pantas jika menjadi pelaku rasis dan diskriminasi terhadap sesama umat muslim maupun terhadap yang berbeda keyakinan.
Maka sesungguhnya, paham rasisme di dunia ini hanya bisa dihapuskan dengan menerapkan Islam secara kaffah. Dan sebagai umat manusia sungguh tidak pantas untuk melakukan rasisme, karena hanyalah ketakwaan yang membedakan manusia di mata Allah Swt.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]
Miris sekali di negeri yang katanya toleransi justru membiarkan rasisme dan ucapan yang mendiskreditkan Islam
Hanyalah orang yang mengenal HAM dan menjunjung tinggi kebebasan yang berani berbuat rasis. Benar, sekularisme penyebabnya.
Aneh memang negeri ini kalau bicara tentang toleransi. Di daerah yang minoritas muslim, umat Islam yang harus ikut aturan daerah tersebut. Di daerah yang mayoritas muslim, umat muslim pula yang harus menoleransi semuanya.
Sering kali, mereka yang berkoar-koar teriak HAM, malah melakukan rasisme, tidak toleran, dan diskriminasi