Teruslah berada dalam barisan penolong agama-Nya. Agar jika saatnya tiba, kita telah memiliki hujjah di hadapan Allah untuk mendapat tempat terbaik di surga-Nya.
Oleh. Anita Nur Oktavianty S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tahun ini seakan Allah mengirimkan pesan terindahnya lewat tragedi di Palestina, bumi para syuhada, kawasan yang menjadi kiblat pertama berada. Kaum muslimin di sana, dengan iman yang terus menyala, tak mengenal kata padam dan menyerah. Meski banyak bangunan yang luluh lantak, insan yang terluka, jiwa-jiwa yang meregang nyawa, namun ketegaran mereka telah mengentakkan dan membuka mata seluruh dunia. Bahwa para manusia dengan kekuatan iman setegar karang di lautan itu masih ada, meski periode akhir zaman telah berada di pelupuk mata.
Kaum muslimin di sana, dengan segala keterbatasan yang melingkupi, tak membuat mereka menyerah hingga berpasrah diri. Bahkan senyum keceriaan sesekali tergambar jelas di wajah-wajah mereka kala mendapati satu per satu keluarganya yang lebih dulu meninggalkan dunia. Sungguh, tiket surga bertebaran di sana. Gelar syuhada, impian bagi seluruh muslimin di dunia tak hanya dimiliki oleh orang-orang dewasa saja, bahkan anak-anak kecil pun berlomba-lomba meraihnya. Lantas, muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah tak bisa menjadi seperti mereka? Bukankah kita dan mereka didesain sama?
Sesungguhnya, Allah Yang Maha Pencipta tidak mendesain manusia untuk sebuah kesia-siaan, tetapi manusia sendirilah yang menyia-nyiakan semua perangkat yang telah diciptakan Allah untuknya. Potensi hidup (khasiatul hayat) ada pada seluruh makhluk-Nya serta naluri dan kebutuhan jasmani kita tak ada yang beda, akal pun demikian. Satu-satunya perangkat yang dimiliki oleh makhluk bernama manusia. Seberapa besar potensi akal itu digunakan, maka seperti itu pula level yang bisa digapai.
Kaum muslimin di Palestina ternyata telah menunjukkannya secara nyata. Ketajaman akalnya mampu membuat mereka bangkit meski dilingkupi oleh berbagai keterpurukan. Iman setegar karang itu ada karena mereka telah selesai dengan tiga pertanyaan mendasar. Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Dan ke mana kita akan kembali?
1. Dari Mana Kita Berasal?
Hampir semua anak-anak maupun orang dewasa di sana telah memahami jawaban atas pertanyaan ini. Mereka tak lagi mempertanyakan asal muasal dirinya. Siapakah Tuhan? Dari mana asalnya alam semesta ini beserta isinya? Akan tetapi, sudah mencapai pada tahapan “Aku adalah milik Alla”. Tak sekadar terucap di lisan, tetapi juga terlihat jelas dalam sikap kepasrahan mereka pada jalan takdir-Nya.
Ya, semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya. Harta, keluarga, hingga nyawa sekalipun. Air mata yang sempat berderai, hanya mewakili kesedihan sesaat oleh sebuah kehilangan. Hal yang manusiawi sebagai wujud keberadaan potensi naluri. Setelah itu, mereka pun bangkit untuk menjawab pertanyaan berikutnya.
2. Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?
Sebuah pertanyaan yang bukan saja terlintas dalam benak manusia, tetapi malaikat pun ikut mempertanyakannya. Mengapa Allah hendak menciptakan makhluk bernama manusia yang akan merusak dan menumpahkan darah di dunia? Apakah tak cukup dengan kehadiran makhluk seperti mereka saja yang senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan nama-Nya? Dengan indah Allah Subhanahu wataala menjawabnya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (TQS. Al-Baqarah: 30)
Keberadaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, artinya manusia sebagai wakil atau pemimpin di bumi. Tugas ini tentunya sangat berat, sehingga setiap manusia harus memiliki kemampuan mengelola alam semesta sesuai amanat yang diemban, menjalankan roda kehidupan sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan-Nya. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, "Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)
Kaum muslimin di sana mampu merealisasikan tujuan hidup tersebut. Posisi sebagai hamba, levelnya tak lagi seperti kalangan manusia biasa yang hanya mencukupkan diri pada penunaian kewajiban semata, melainkan memaksimalkan diri pada amalan-amalan sunah hingga pada level menjauhkan diri dari hal-hal yang sia-sia. Tak akan kita temui pada mereka yang sedang terluka, menggugat Allah atau mempertanyakan keberadaan-Nya. Yang keluar dari lisan mereka adalah hafalan-hafalan ayat suci-Nya atau lafaz zikir berulang-ulang sebagai pengganti anastesi yang telah habis bersamaan dengan langkanya bahan obat-obatan lainnya.
Penguat iman agar tak mudah terkoyak, pemantik keharuan bagi siapa pun yang melihatnya. Mereka terus berlomba melayakkan diri meraih surga-Nya. Khatam dengan semboyan, "Siapa yang berleha-leha dalam berusaha, maka dia akan mendapatkan penyesalan saat pembagian upah."
3. Ke Mana Kita Akan Kembali?
Pertanyaan yang juga telah mereka jawab dengan sempurna. Kematian yang terus mengintai, tak lantas membuat mereka lari dari tanah airnya. Mereka ikhlas dan senantiasa bersiap-siaga kala ajal siap menjemput. Mereka telah mengazamkan diri untuk menjaga amanah rumah Allah (Masjid Al Aqsa) untuk saudara-saudara mereka, kaum muslimin di seluruh dunia. Inilah hujjah mereka saat pertemuan dengan-Nya tiba.
Wahai para perindu surga, kesempatan untuk menjadi seperti mereka senantiasa terbuka. Asal mau memaksimalkan diri, menggunakan apa yang telah Allah desain, berupa potensi hidup dengan sebaik-baiknya. Jika medan jihad mereka melawan Israel laknatullah, kita pun menghadapi medan jihad berupa serangan pemikiran-pemikiran kufur berupa sekularisme dan turunannya. Jika mereka mampu melayakkan diri, maka kita pun punya kesempatan yang sama. Tidak sekadar mencukupkan diri pada perkara wajib, tetapi juga memaksimalkan diri dalam perkara sunah dan menjauhi hal-hal yang sia-sia dan melenakan.
Bukan mampu atau tidak, tetapi mau atau enggan? Karena kita dan mereka punya kesempatan yang sama untuk meraih rida dan surga-Nya. Terus berjuang di jalan dakwah dan senantiasa berada dalam barisan penolong agama-Nya. Agar jika saatnya tiba, kita telah memiliki hujjah di hadapan Allah untuk mendapat tempat terbaik di surga-Nya bersama nabi tercinta dan para syuhada.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Ali Imran:133)
Wallahu a’lam bishawab.[]
Barakallah.. keren tulisannya mbak..
Masyaallah, tulisannya bertabur nasihat diri. Barokallahu fiik, Mbak
Wafiik barakallah, Mba ❤️
Masyaallah. Semoga bisa segera bergegas dalam mengambil amalan dakwah. Barakallah mba@Anita, naskahnya keren
Wafikk barakallah, Mba ❤️
Syukron
Betul, banyak pelajaran dan teladan yang bisa diambil dari kaum muslim Palestina, baik tentang kesabaran, keridaan, dan keyakinan pada Allah.
Betul, Mba. Mereka sukses membuat kita semua iri
Baraakallah Mbak Anita ❤️
Naskah menampar pembaca, khususnya saya. Semoga kita semua menjadi pribadi yang makin baik. Bisa menebarkan manfaat karena Allah.
Wafiik brakallah, Mba ❤️ Amin Ya Rabb
MasyaAllah iya mb, sudah saatnya semangat lagi dakwah nih guys..sudah saatnya Islam memimpin dunia..
Allahu Akbar