Alih-alih wakil Betawi yang terpilih sebagai pemimpin, yang ada justru oligarki makin mendominasi.
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di tengah riuhnya suasana politik menjelang Pemilu 2024, muncul usulan agar Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta ditunjuk langsung oleh presiden. Usulan tersebut masuk dalam RUU DKJ. Sejumlah kalangan menilainya tidak demokratis.
DPR sendiri juga terkesan plin-plan mengenai usulan ini. Pada awalnya, mayoritas fraksi DPR, kecuali PKS, menerima klausul tentang pengangkatan gubernur oleh presiden. Namun, setelah disahkan untuk menjadi pembahasan di DPR, mereka kemudian menolaknya.
Lha, terus kenapa disetujui jika kemudian ditolak? Ada kepentingan siapakah di balik RUU DKJ? Apakah rakyat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan? Lalu, bagaimana mekanisme pemilihan pejabat negara dalam Islam?
Perubahan Status Jakarta
Munculnya usulan agar gubernur dan wakilnya diangkat oleh presiden merupakan perkembangan dari status Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota. Seperti yang diketahui bahwa ibu kota negara rencananya akan pindah ke IKN di Pulau Borneo. Hal ini mengubah status Jakarta dari sebelumnya sebagai Daerah Khusus Ibu Kota menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Namun demikian, Jakarta tetap memegang peranan penting karena menjadi pusat ekonomi dan sebagai kota global.
RUU DKJ merupakan konsekuensi atas UU Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Pasal 41 UU tersebut mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI. RUU DKJ secara umum mengatur tata kelola, bentuk, dan susunan pemerintahan Jakarta setelah status ibu kota negara berpindah ke IKN. Pada Pasal 2 ayat 1 RUU DKJ menyebutkan bahwa Jakarta tidak lagi sebagai Daerah Khusus Ibu Kota melainkan Daerah Khusus Jakarta. Kota Jakarta nantinya akan menjadi daerah otonomi khusus dengan ibu kota provinsi yang akan ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Selanjutnya, Jakarta akan menjadi pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional dan global sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) RUU tersebut. (bbc.com, 8/12/2023)
Memicu Polemik
Adapun yang memicu polemik dari RUU DKJ tersebut ada pada Pasal 10 ayat (2). Pasal ini menyebutkan bahwa penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ adalah wewenang presiden. Banyak yang tidak setuju dengan itu. Apalagi rakyat Jakarta yang terancam tereliminasi penyaluran hak konstitusinya.
Rupanya, usulan tersebut berasal dari Ketua Badan Musyawarah atau Bamus Suku Betawi 1982, Zainuddin alias Haji Oding. Usulan itu disampaikannya pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 9 November 2023 lalu. Haji Oding membantah jika usulan tersebut akan mengebiri demokrasi. Justru, itu masih sejalan dengan demokrasi. Ia kemudian menyinggung soal Daerah Istimewa Yogyakarta yang jabatan gubernurnya dilakukan dengan penetapan, sedangkan untuk DPRD, bupati, dan wali kota dengan sistem pemilihan langsung. Menurutnya, jika Yogyakarta bisa, maka Jakarta seharusnya juga bisa seperti itu. Ia juga mengusulkan agar gubernur memiliki dua wakil. Di mana salah satu wakilnya harus merepresentasikan masyarakat Betawi. (metro.tempo.co, 8/12/2023)
Usulan tersebut dikritisi karena dapat mencederai hak berdemokrasi warga Jakarta. Selain itu juga bisa memunculkan kecemburuan di antara daerah-daerah jika ada hak istimewa diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu tanpa melalui kontestasi.
Menanggapi usulan tersebut, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dirinya lebih setuju jika melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Jokowi mengaku belum membaca langsung draf RUU tersebut dan menegaskan bahwa itu merupakan inisiatif DPR sehingga biarkan berproses dahulu di DPR. Sementara itu, Mendagri, Tito Karnavian, menjelaskan bahwa posisi pemerintah adalah menolak usulan tersebut. Ia juga mempertanyakan alasan atau ide penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta oleh presiden. (cnbc.com, 11/12/2023)
DPR Serius Menolak?
Sikap DPR sendiri patut dipertanyakan. Sebab, merekalah yang mengesahkan RUU DKJ dengan adanya klausul pengangkatan gubernur secara langsung oleh presiden menjadi RUU Inisiatif DPR pada 5 Desember 2023 lalu. Namun, anehnya belakangan fraksi-fraksi di DPR, malah ramai-ramai menolak usulan tersebut, kecuali PKS yang memang menolak sejak awal. Jika memang tidak setuju dengan usulan tersebut harusnya dilakukan pada saat proses penyusunan draf dan proses sinkronisasi di Baleg. Kenapa justru setelah disahkan baru menolaknya? Bukankah ini menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak masalah dengan klausul penunjukan gubernur oleh presiden?
Tak heran jika publik menilainya sebagai basa-basi politik menjelang pemilu. Sudah biasa jika di masa-masa kampanye seperti saat ini, ramai pencitraan demi menarik hati rakyat. Partai-partai sibuk memoles citra diri sebagai yang paling peduli terhadap rakyat.
Mereka yang setuju dengan klausul pengangkatan gubernur tadi akan dianggap tidak pro kepada rakyat. Akibatnya, mereka bisa ditinggalkan pemilihnya. Ini bisa menjadi bencana bagi partai yang sekarang sedang bersaing memperebutkan suara rakyat.
Pasalnya, berbagai kalangan menilai bahwa pengangkatan gubernur oleh presiden tidak sesuai dengan spirit demokrasi dan amanah reformasi. Hal itu akan mengebiri aspirasi rakyat dalam memilih pemimpinnya secara langsung. Hak berdemokrasi rakyat Jakarta menjadi hilang karenanya. Ini sebuah kemunduran demokrasi. Apalagi Jakarta dianggap sebagai barometer demokrasi Indonesia.
Oligarki Mendominasi
Penunjukan langsung oleh presiden juga memunculkan kekhawatiran bahwa ini ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang. Bisa saja presiden terpilih nanti akan mengangkat gubernur yang sejalan dengan kepentingan kelompok tertentu alias para pemilik modal.
Kita tahu bahwa sistem demokrasi kapitalisme yang berlangsung di negeri ini sejatinya memberikan kekuasaan kepada para kapitalis. Merekalah yang sejatinya berkuasa. Alih-alih wakil Betawi yang terpilih sebagai pemimpin, yang ada justru oligarki makin mendominasi. Jika oligarki yang bermain, maka jangan harap kepentingan rakyat akan diperhatikan.
Adanya klausul pengangkatan gubernur oleh presiden dalam RUU DKJ ini bisa menghasilkan pemimpin yang sejalan dan akan melanjutkan kepentingan rezim. Termasuk menjadikannya jalan untuk untuk menyelamatkan proyek strategis yang belum rampung seperti IKN.
Apalagi Jakarta memiliki aset pemerintah pusat berupa Barang Milik Negara (BMN) yang banyak jumlahnya seperti gedung-gedung pemerintahan, tanah, mesin, bangunan, jalan, jaringan, aset bersejarah, dll. Itu semua milik negara yang totalnya sangat besar. Jika digunakan untuk mendanai proyek IKN tentu sangat lumayan.
Kelihatan sekali rezim berusaha untuk mengamankan kepentingan oligarki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat banyak yang menolak proyek IKN. Namun, pemerintah tetap ngotot menjalankannya. Jika rakyat menolak proyek tersebut, maka untuk siapakah kalau bukan demi oligarki? Pembiayaan IKN yang sebagian besar dari private sectoralias investasi menjadi bukti berkuasanya kepentingan pemilik modal.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme ini, penguasa membuat aturan untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha. Sementara itu, pengusaha mendukung penguasa dengan dananya untuk meraih kekuasaan. Keduanya saling bekerja sama dan saling menguntungkan. Jika sudah begitu, tentu kepentingan rakyat tidak masuk perhitungan.
Inilah konsekuensi penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang memberikan jalan bagi oligarki untuk mengendalikan kekuasaan. Sistem ini menghasilkan beragam permasalahan yang menyengsarakan rakyat.
Mengangkat Pejabat dalam Islam
Jika dalam demokrasi biaya pemilihannya sangat mahal dan hasilnya jauh dari harapan, maka berbeda dalam Islam. Sistem pemilihan dalam Islam berlangsung sederhana, tidak ribet, tidak mahal, dan hasilnya sangat memuaskan. Pemimpin/penguasa yang dihasilkan pun adalah yang berkualitas dan terbaik. Pemimpin yang dia bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan oligarki.
Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah, disebutkan syarat menjadi penguasa/pemimpin. Yakni, muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan dalam urusan pemerintahan. Jadi, tidak sembarang orang bisa menjadi penguasa. Namun, siapa saja bisa menjadi penguasa selama mampu memenuhi syarat tersebut.
Dengan mengikuti syarat tersebut, kepala negara atau khalifah dipilih dalam waktu yang singkat, yakni 3 hari 3 malam. Tidak boleh lebih dari itu. Jabatan khalifah adalah seumur hidup. Selama khalifah tidak melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam, maka selama itu pula ia tetap dalam posisinya. Jadi, tidak perlu berulang kali melakukan pemilihan setiap jangka waktu tertentu.
Khalifah menjadi wakil umat yang menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Ia boleh memilih wakil-wakilnya dalam berbagai urusan, termasuk juga wali (mungkin hampir sama dengan gurbernur di sistem demokrasi). Khalifah mengangkat wali berdasarkan kelayakannya dalam urusan pemerintahan, memiliki ilmu, dan bertakwa. Sebagaimana dahulu Rasulullah yang memilih para walinya dari orang-orang yang dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan dapat mengairi hati rakyatnya dengan keimanan dan kemuliaan negara.
Wali memiliki wewenang pemerintahan sehingga ia termasuk sebagai penguasa. Dengan kata lain, wali adalah orang yang diangkat khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (provinsi) dan menjadi pemimpin di wilayah tersebut.
Tanggung jawab wali langsung kepada khalifah. Khalifah pun wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para walinya. Khalifah juga berhak memberhentikan wali meskipun tidak ada sebab apa pun. Walaupun sang wali tidak melakukan kesalahan dan menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi khalifah bisa memecatnya hanya karena rakyat tidak menyukai wali tersebut. Khalifah wajib memberhentikan wali ketika ada masyarakat yang mengadukannya.
Rasulullah pernah memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadhrami menjadi amil beliau di Bahrain karena utusan Abd Qays mengadukannya. Rasulullah juga pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan sebagai wali di Yaman tanpa sebab apa pun. Begitu pula Umar bin Khaththab yang pernah memberhentikan Ziyad bin Abu Sufyan dan tidak menentukan sebabnya. Khalifah Umar juga pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash karena masyarakat mengadukannya.
Kekuasaan dalam Islam
Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah. Setiap pemimpin, penguasa, pejabat, dan siapa saja yang berada dalam kekuasaan sejatinya mendapatkan amanah yang berat. Jabatan tersebut bukanlah suatu kebanggaan, tetapi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Menjadi pemimpin atau penguasa adalah amanah yang tidak mudah dan bisa mendatangkan penyesalan jika tidak hati-hati, sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Rasulullah
أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَل
Artinya: “Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada hari kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.”(HR. Ath-Thabarani)
Kekuasaan dibangun di atas fondasi akidah Islam untuk menjaga syariat Islam dan memelihara urusan umat. Penguasa dalam Islam akan memerintah rakyatnya dengan kasih sayang. Ia akan menjauhi segala bentuk kezaliman. Penguasa tidak akan membuat rakyatnya mengalami kesulitan. Sebaliknya, ia akan berusaha memudahkan rakyat dengan mengatur segala urusannya secara baik.
Sementara, sikap adil penguasa ditunjukkan dengan penerapan syariat Islam. Sebab, hanya dengan aturan Allah saja yang mampu mewujudkan keadilan hakiki. Mereka yang memegang kekuasaan akan bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut dilakukan dalam kerangka ketakwaan kepada Allah Swt. Bukan untuk mengejar pujian atau materi. Paham betul bahwa kekuasaan sebenarnya adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi sebagaimana surah Al-Maidah ayat 45:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: “Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni Al-Qur'an), maka mereka itulah kaum yang zalim.”
Sistem pemerintahan yang dijalankan berdiri di atas asas-asas bahwa hukum hanya milik Allah, kedaulatan ada di tangan syarak, kekuasaan (pemerintahan) berada di tangan rakyat, dan pengangkatan khalifah yang satu untuk seluruh umat Islam. Maka, jelaslah bahwa kekuasaan yang baik itu hanya bisa terwujud dalam bingkai Khilafah.
Khatimah
Hanya dengan penerapan Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, keadilan akan benar-benar terwujud. Penguasa dalam Khilafah mencintai rakyatnya dan bekerja untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Demikian pula rakyat akan mencintai dan patuh pada pemimpinnya yang melayani dalam balutan takwa kepada Allah taala.
Wallahu a’lam bishshawab.[]
Leres Mbak. Demokrasi justru yang membawa kita pada keterpurukan
Setuju, demokrasi terus mengalami kemunduran, dan semoga saja akan mengalami kehancuran. Rakyat harusnya sadar, adanya pengangkatan gubernur oleh presiden, jelas tidak sesuai dengan spirit demokrasi. Ini Bukti paradoksnya hukum demokrasi...
Sistem demokrasi jelas berbeda dengan sistem Islam (kgilafah). Bahkan perbedaannya sangat mendasar. Kalau demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Sistem Islam menempatkan kedailatan ada dalam hukum syarak. Namun praktek demokrasi sesungguhnya bukan rakyat yang berdaulat tapi para oligarki/ pemilik modal. Jelas semua kebijakan dari pemerintah lewat rumusan undang-undang hanyalah untuk kepentingan oligarki atau, pemilik modal.
Segala sesuatu yang berbau demokrasi pasti condong kepada segelintir orang. Kebijakan yang dibuat pun sering kali berubah-ubah. Semua itu disesuaikan kira-kira mana yang bisa memberikan keuntungan. Kepentingan rakyat auto disingkirkan.
Aroma busuk kepentingan selalu saja tercium dalam setiap kebijakan penguasa. Kebijakan selalu saja condong pada para oligarki. Ya ... rakyat pasti yang gigit jari.
Sistem kapitalisme kebijakannya tentu memihak para pemilik modal. Sementara rakyat harus gulung Koming cari usaha sendiri demi menghidupi keluarganya.
So ya bener banget lah apapun rumusnya hanya Islam solusinya, yang akan menghasilkan kebijakan yang adil bagi seluruh umatnya.
Keren naskahnya Mba semoga para penguasa negara ikut membacanya dsn pembaca lainnya terbuka wawasannya
Islam selayaknya digunakan dalam pemerintahan dan sistem bernegara, sehingga dapat merubah persekongkolan pengusaha dan penguasa, dan rakyat pun sejahtera.
Betul.. rindu pada pemimpin yang peduli dan melayani rakyatnya seperti yang ada dalam Islam..
Gonjang ganjing mulai terasa, rakyat jelantah hanya bisa pasrah
Nasibe wong cilik..